man 3 bantul MAN 3 BANTUL

Cerpen

STUDY TOUR KE BALI
Karya: Itsna Maisaroturrosyidah

Matahari masih malu–malu untuk menampakkan diri, tetapi aku sudah menginjakkan kaki di Madrasah Aliyah Negeri 3 Bantul bersiap untuk mengikuti apel keberangkatan studytour ke Bali, dengan bersusah payah aku mulai mengangkat satu persatu barang bawaan, berharap tak ada barang yang tertinggal, setelah semua beres aku mulai menempatkan diri di dalam bus 3 yang sudah tersedia bantal leher ,snack dan selimut utuk menemani perjalanan yang panjang ini. Tak lupa juga berdoa bersama sebelum berangkat agar terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.

Sekitar jam 11.15 kita telah tiba dimakam Gusdur, atau lebih tepatnya di Jombang,Jawa Timur, setelah makan siang kita mulai untuk berziarah di makam Gusdur lalu di lanjut utuk beribadah dan kembali melanjutkan perjalanan menuju Bali. Sekitar tengah malam bis yang kami tumpangi sedikit mengalami kendala hingga di berhentikan oleh pengedara lain yang tak terima ,sopir bus langsung turun dan meminta maf atas keteledorannya agar masalah membaik, saling memaafkan dan kembali melanjutkan perjalanan, kami juga melewati PLTU paiton yang ketika dilewati pada malam hari gemerlapan, tak lama kami tiba di Pelabuhan Ketapang, hanya perlu menunggu kapal selanjutnya dan kami bisa menyebrang ke pelabuhan Gilimanuk. Kami dengan muka bantal berjalan menuju deck penumpang untuk menikmati tenangnya malam, aku bersama temanku memilih untuk terus berjalan hingga tingkat tertinggi kapal. Kapal hampir tiba, otomatis juga jam di handphone dari WIB berubah menjadi WITA. Kami segera kembali menuju bus.

Sekitar jam 4 pagi, kami telah tiba ditempat makan, untuk bebersih diri, sholat subuh, dan sarapan lalu menju destinasi pertama yaitu Bedugul, kami mulai berpencar untuk berfoto dan berkeliling, hingga ada arahan untuk kembali ke dalam bus, dan ini awal kita berkenalan dengan tour guide yang mendampingi selama berada di bali atau juga bisa dipanggil ‘Mbok’, sepanjang perjalanan tour guide selalu menjelaskan sejarah, tradisi apapun itu yang berkaitan dengan Bali, sesekali kita saling menyombongkan kelebihan dari daerah masing–masing, destinasi selanjutnya yaitu ke joger, di joger aku tak membeli oleh–oleh hanya berkeliling saja. Selanjutnya kita menuju ke museum gedong arca,untuk melihat beberapa batu–batu yang dimuseumkan, di awali dengan sambutan penanggung jawab museum dan sambutan kepala sekolah,dan kemudian kami di bariskan sesuai bis untuk mengantri masuk dalam beberapa ruangan yang tidak bisa menampung kapasitas yang banyak, Setelah dari museum, kita menuju ke Desa Panglipuran, desa yang asli ditempati penduduk bukan hanya sekedar untuk wisata, setiap rumah sudah ada nomor masing–masing dari ujung sampai ujung lagi, jika ada rumah yang tertutup pintunya maka tuan rumah sedang tidak menerima tamu atau ada kerabat yang meninggal.

Malam telah tiba, kami perjalanan menuju khrisna untuk membeli oleh–oleh dan juga makan malam, setelah itu kami menuju hotel, akhirnya setelah duduk ber jam – jam didalam bus kita bisa menikmati kasur, satu kamar terdiri dari 4 siswa, setibanya di hotel aku segera mengambil kunci dan menuju kamar,beberapa menit kemudian teman–teman ku baru memasuki kamar yang kebetulan bis nya terlambat datang, kami segera membersihkan diri secara bergantian dan menunggu makanan yang kami pesan lewat goofood. Tak mengenal jam, kami tetap menyantap makanan yang sudah tersedia dihadapan kami, kebetulan kami memesan gacoan, padahal jauh–jauh dari Jogja eh ujung–ujungnya goofod gacoan,hadeuh, setelah menghabiskannya kami sikat gigi, cuci muka dan kemudian terlelap dalam mimpi.

***
Aku menggeliat berusaha menghindar dari silaunya matahari, tapi seketika aku bangun, MATAHARI? Buru – buru aku mencari handphone dan melihat jam, jam menunjukkan pukul 06.55. aku menyambar handuk dan berlari menuju kamar mandi, waktu habis hanya untuk bersiap – siap aku tak sempat untuk sarapan karena takut akan ditinggal rombongan, lagipula makanan semalem belum sepenuhnya tergiling, jadi masih sanggup menahan sampai makan siang nanti. Tujuan pertama hari ini yaitu Seraya Budaya untuk menonton pertunjukkan tari barong dan juga melihat langsung proses pembuatan pie susu, kita juga menyantap makan siang disini dan berkeliling melihat pusat oleh–oleh. Destinasi selanjutnya yaitu pantai Pandawa,kita juga melewati tol Mandara yang terbangun diatas laut, tol ini dibangun dengan orang–orang yang membangun jembatan Suramadu, jadi mereka sudah berpengalaman terlebih dahulu dan membangun tol Mandara tidak memakan waktu lama seperti saat membangun jembatan Suramadu.
Kami mampir ke Pura Mandala, disini juga tersedia 5 tempat beribadah untuk umat Islam, Kristen, Katolik, dan Hindu. Setelah beribadah kami melanjutkan perjalanan.

Setibanya di pantai Pandawa, kami kecewa berat karena hujan turun dengan sangat deras, seakan akan tidak menakdirkan untuk kita menikmati pantai Pandawa, kami menunggu beberapa menit dan hujan sama sekali tidak menunjukkan tanda–tanda akan berhenti, pihak tour guide memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, karna percuma jika kita menunggu lebih lama lagi, destinasi selanjutnya akan sia–sia. Kita meninggalkan pantai Pandawa dengan berat hati dan menuju GWK atau kepanjangannya Garuda Wisnu Kencana untuk menonton pertunjukkan tari kecak. Patung GWK ini terbuat dengan tangan–tangan yang sangat terampil dan bahan pembuatannya pun juga bahan yang mahal dan berkualitas tinggi menghasilkan patung yang sangat besar dan indah. Tari pertama di tampilkan oleh seorang gadis, ia menggunakan selendangnya untuk menarik penonton menari bersamanya. Sekitar jam 18.00, barcode synopsis tari kecak di kelilingkan agar kita bisa memahami alur cerita yang akan ditampilkan. Setelah menyaksikan kami makan malam dan menuju hotel dan ini malam terakhir kami berada di Bali.

***
Keesokan harinya, lagi dan lagi aku kesiangan padahal pagi ini juga kami harus checkout, aku mengarahkan segala kemampuan ku untuk gesit dalam membereskan segalanya dan juga mengangkat barang kedalam bus, namun aku melewatkan sarapan lagi kali ini aku mengganjalnya dengan roti. Hari terakhir sekaligus juga destinasi terakhir, yaitu Tanah Lot kami bersyukur di Tanah Lot ini tidak turun hujan dan kami bisa sedikit bermain air dan berswafoto. Waktu berjalan sangat cepat, dan tanah lot menjadi tempat perpisahan kami dengan tourguide yang selama ini sudah mengarahkan kami, walaupun saat di bis bukannya kami mendengarkan tapi malah tertidur.

Perjalanan pulang ini juga terasa sangat cepat berbeda saat keberangkatan lama sekali. Tak sadar kami telah tiba di pelabuhan, kami sudah diperingatkan bahwa nanti akan ada beberapa orang yang akan menyebur dan meminta uang, tak apa sesekali kita melempar uang, diniatkan untuk berbagi satu sama lain. Terimakasih Bali, aku titip kenangan kami disana ya, Bali memang nyaman tapi Jawa tempatku untuk pulang.

 

JEJAK PERJUANGAN (BAGIAN 1)
Karya: Hae Jin Julien

Di sebuah desa yang terletak jauh di pinggir hutan, hidup seorang pemuda bernama Raka. Sejak kecil, ia mendengar cerita-cerita tentang perjuangan para pahlawan bangsa yang melawan penjajah. Ayahnya sering mengajarkan tentang semangat juang, tentang bagaimana Indonesia bisa merdeka karena darah dan air mata yang tertumpah.

Raka tumbuh menjadi pemuda yang penuh semangat dan ingin turut berkontribusi untuk tanah airnya. Namun, di desanya yang terpencil, perjuangan seolah hanya cerita lama. Suatu hari, Raka mendengar kabar bahwa sebuah perusahaan besar ingin membuka tambang di dekat desanya, yang akan merusak alam dan mata pencaharian mereka yang bergantung pada pertanian.

Pikirannya langsung teringat pada cerita ayahnya, tentang betapa besar harga yang dibayar untuk merdeka. "Apakah aku akan diam saja?" pikirnya. Raka tahu, ini adalah perjuangan kecil, namun penting. Ia mulai mengorganisir warga desa untuk melawan perusahaan tersebut. Tidak dengan senjata, tetapi dengan kesatuan dan perjuangan hak-hak mereka.

Bertahun-tahun kemudian, berkat perjuangan mereka, perusahaan tersebut akhirnya mundur. Tanah dan alam mereka tetap terjaga. Raka kini mengerti, bahwa perjuangan tidak selalu harus lewat medan perang. Perjuangan bisa dilakukan dalam berbagai bentuk, selama itu demi kebaikan bersama.

Raka memandang langit senja, dan dalam hatinya ia berbisik, "Ini adalah jejak perjuangan yang akan diwariskan."

Cerita ini mengingatkan kita bahwa perjuangan untuk negeri ini tidak pernah selesai. Masing-masing generasi memiliki peran untuk menjaga dan melestarikan apa yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan kita.

 

JEJAK PERJUANGAN (BAGIAN 2)
Karya: Hae Jin Julien

Setelah kemenangan kecil yang diraihnya, Raka merasa ada lebih banyak yang harus ia lakukan. Desa mereka semakin berkembang, namun tantangan baru mulai muncul. Kini, bukan hanya alam yang terancam, tetapi juga nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh para pahlawan bangsa. 

Suatu hari, seorang guru di desa itu mengajak Raka untuk mengunjungi sebuah sekolah di kota. Di sana, mereka bertemu dengan para pelajar yang tampaknya kurang memahami sejarah perjuangan bangsa. Mereka hanya tahu sedikit tentang bagaimana bangsa ini bisa merdeka, dan banyak yang sudah melupakan pentingnya menjaga semangat kebersamaan.

Raka teringat akan kata-kata ayahnya, bahwa perjuangan itu tidak hanya untuk melawan penjajah, tetapi untuk menjaga agar bangsa ini tetap berdiri tegak. "Mungkin inilah perjuanganku yang berikutnya," pikirnya. 

Raka kembali ke desanya dan mulai mengajak para pemuda dan pemudi untuk mendirikan kelompok diskusi tentang sejarah perjuangan. Mereka belajar bersama, mendiskusikan tokoh-tokoh pahlawan, dan mencoba menerapkan semangat perjuangan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui cara ini, Raka menyadari bahwa perjuangan tidak berhenti pada kemenangan fisik, tetapi juga pada pengajaran dan pelestarian nilai-nilai perjuangan.

Seiring berjalannya waktu, desa itu bukan hanya menjadi lebih maju secara ekonomi, tetapi juga lebih sadar akan pentingnya menjaga identitas dan semangat kebangsaan. Raka melihat, perjuangan memang tidak pernah berakhir—setiap generasi memiliki jejaknya sendiri yang harus dipertahankan.

Cerita ini mengajarkan kita bahwa perjuangan adalah sesuatu yang terus berlanjut, dimulai dari kesadaran untuk melestarikan nilai-nilai luhur dan semangat kebangsaan, serta mendidik generasi berikutnya agar tidak melupakan apa yang telah diperjuangkan.

 

JEJAK PERJUANGAN (BAGIAN 3)
Karya: Hae Jin Julien

Setelah bertahun-tahun bekerja keras di desanya, Raka mulai merasa bahwa perjuangan yang ia lakukan bersama masyarakat tidak hanya terbatas pada satu wilayah. Isu-isu yang ia hadapi, seperti pelestarian alam dan pendidikan, mulai menyentuh kota-kota besar. Ia merasa panggilan untuk memperluas pengaruhnya, agar lebih banyak orang memahami bahwa perjuangan bangsa tidak bisa berhenti di satu tempat.

Raka diundang untuk berbicara di sebuah konferensi nasional yang membahas pengembangan masyarakat dan keberlanjutan. Di sana, ia bertemu dengan aktivis dan pemimpin dari berbagai daerah yang memiliki semangat perjuangan yang sama. Mereka saling berbagi pengalaman dan visi untuk membangun Indonesia yang lebih baik. Raka merasa terinspirasi dan semakin yakin bahwa perjuangan tak mengenal batas.

Saat kembali ke desanya, Raka mulai memperkenalkan ide-ide baru untuk memajukan masyarakat. Ia mengajak pemuda dan pemudi untuk terlibat dalam berbagai kegiatan sosial, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga pelestarian budaya. Ia menyadari, bahwa untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan, mereka harus terus bergerak maju, tanpa melupakan akar sejarah dan nilai-nilai perjuangan yang telah ada.

Di suatu malam, saat Raka melihat bintang di langit, ia merasa bangga. Meskipun perjuangan panjang dan penuh tantangan, ia tahu bahwa setiap langkah yang ia ambil adalah bagian dari jejak perjuangan yang lebih besar. Ia berharap, jejak yang ditinggalkan generasi ini akan terus menginspirasi bangsa untuk selalu menjaga dan memperjuangkan kemerdekaan serta kesejahteraan bagi semua.

Cerita ini mengajarkan kita bahwa perjuangan tidak hanya berakhir pada kemenangan, tetapi juga terus berlanjut dalam setiap langkah yang kita ambil untuk kemajuan bangsa. Perjuangan adalah proses yang tiada henti, dan setiap generasi memiliki perannya dalam menjaga kemerdekaan dan membangun masa depan.

 

DI BALIK SENYUM PAGI

Karya: Hawraa Atika Rahmasari

Setiap hari, sebelum mentari menyapa, Wulan sudah bersiap. Rumah kecil mereka, meski sederhana, selalu hangat dengan semangatnya. Sebagai anak sulung, ia punya tanggung jawab lebih. Membantu ibunya berjualan di pasar, lalu bergegas ke sekolah.

Jalan menuju sekolah cukup jauh. Ia harus melewati jembatan bambu yang sedikit rapuh, melewati sawah yang luas, dan kadang kala harus berteduh di bawah pohon mangga saat hujan turun. Namun, lelahnya perjalanan itu terbayar lunas saat ia sampai di sekolah. Wulan adalah anak yang cerdas dan rajin. Gurunya sangat menyukainya.
Mimpi Wulan sederhana ingin menjadi guru seperti Bu Ani. Ia ingin berbagi ilmu dan menginspirasi anak-anak di desanya. Namun, biaya sekolah yang semakin mahal membuatnya khawatir. Orang tuanya hanya seorang petani.

Suatu sore, Wulan menemukan buku lama di gudang. Buku itu berisi kumpulan puisi. Ia mulai menuliskan isi hatinya di buku itu. Puisi-puisinya sederhana, namun penuh makna. Tanpa sengaja, Pak Guru menemukan buku itu dan sangat terkesan. Ia lalu mengirim puisi-puisi Wulan ke sebuah lomba tingkat kabupaten.
Dan benar saja, Wulan berhasil meraih juara pertama. Hadiah yang ia dapatkan cukup untuk membiayai sekolahnya selama satu tahun. Wulan sangat bersyukur. Ia semakin bersemangat untuk meraih cita-citanya.

 

NYALA TERAKHIR SANG PENJAGA

Karya: Siti Aulia Chairunnisa

Di tengah malam yang pekat, Desa Karangjati hanya diterangi sinar bulan yang malu-malu menembus awan. Hawa tegang menyelimuti desa itu. Penduduknya tahu, sewaktu-waktu tentara Belanda bisa menyerbu. Di antara mereka, ada seorang pemuda bernama Damar, seorang penjaga desa yang menjadi harapan terakhir warganya.

Damar bukan prajurit, hanya seorang pandai besi yang sehari-harinya menempa cangkul dan sabit untuk para petani. Namun, sejak desanya dikuasai Belanda, ia menggunakan keahliannya untuk membuat tombak dan pedang bagi para pejuang. Damar memiliki tekad besar: membebaskan desanya, apa pun taruhannya.

Malam itu, Damar menerima kabar dari salah satu kurir rahasia bahwa pasukan Belanda akan menyerang subuh nanti. Mereka tahu desa ini menjadi salah satu basis gerilya. Dengan hanya puluhan pejuang dan senjata seadanya, Damar tahu perlawanan mereka akan berat. Namun, menyerah bukan pilihan.

Damar memanggil semua pemuda desa ke balai kecil di tengah kampung. “Kita tak punya banyak waktu. Kita hanya punya satu kesempatan untuk mempertahankan desa ini,” ucapnya tegas, matanya menatap satu per satu wajah mereka.

Ia merancang strategi sederhana: mereka akan memasang jebakan di jalan masuk desa, memanfaatkan medan berlumpur di musim hujan. Para wanita dan anak-anak akan diamankan di gua hutan, sementara para pria bertempur.

Namun, ada satu rencana yang hanya diketahui Damar. Ia menyembunyikan tumpukan jerami yang dicampur minyak tanah di ladang sebelah barat, tempat pasukan Belanda diperkirakan datang.

“Jika semuanya gagal, aku akan memastikan mereka tidak keluar dari desa ini hidup-hidup,” gumamnya dalam hati.

Saat fajar menyingsing, derap langkah sepatu tentara Belanda mulai terdengar. Mereka datang dengan senjata lengkap, jumlahnya jauh lebih banyak dari yang Damar perkirakan. Namun, semangat para pemuda desa tak surut. Dengan panah, tombak, dan apa pun yang mereka punya, mereka menghadang musuh di pintu masuk desa.

Pertempuran berlangsung sengit. Jeritan, letusan senjata, dan suara logam beradu memecah kesunyian pagi. Meski kalah jumlah, pejuang desa memberikan perlawanan luar biasa, membuat tentara Belanda terkejut.

Namun, ketika musuh mulai mendesak masuk, Damar tahu waktunya telah tiba. Ia berlari menuju ladang jerami di barat desa, diikuti beberapa tentara Belanda yang menyadari keberadaannya. Dengan napas terengah, ia menyalakan obor yang telah disiapkannya.

“Ini untuk desaku… untuk kemerdekaan!” teriak Damar sambil melemparkan obor itu ke tumpukan jerami.

Api segera membesar, menjalar ke arah ladang yang telah diolesi minyak. Dalam hitungan detik, kobaran itu mengepung pasukan Belanda yang berada di dekatnya. Tentara yang tersisa panik dan melarikan diri, sementara Damar tetap berdiri di tengah kobaran api.

Ketika pertempuran berakhir, pejuang desa menemukan jasad Damar di tengah ladang yang hangus. Ia telah pergi, tetapi pengorbanannya berhasil mengusir tentara Belanda dan menyelamatkan desanya.

Penduduk desa memakamkannya di tengah ladang itu, dan di atas makamnya mereka menanam sebuah pohon beringin besar. Pohon itu menjadi simbol keberanian Damar, penjaga desa yang tak pernah gentar.

Kini, setiap kali pohon itu berayun ditiup angin, orang-orang desa berkata, “Itu suara Damar, mengingatkan kita bahwa kemerdekaan hanya bisa diraih oleh mereka yang berani melawan hingga napas terakhir.”

 

SENJA BERSAMANYA

Karya: Afifatuz Zahro

Cuaca pagi ini sama seperti pikiranku yang kacau balau. Aku melangkahkan kakiku pergi menuju sekolah, namun langkahku terhenti ketika kakiku menginjak tanah disertai kotoran hewan yang basah terkena air hujan. Sialnya aku, berangkat sekolah dengan penampilan basah kuyup ditambah sepatu yang kotor terkena lumpur membuatku semakin malas pergi sekolah, belum lagi sepulang sekolah nanti ibu menyuruhku menemani Sarah, adikku di rumah sakit. Kekesalanku berubah menjadi rasa cemas, tiba-tiba teringat akan sesuatu.

"Astaga tugas matematika belum kukerjakan," aku mempercepat langkahku menuju sekolah.

Sesampainya di sekolah dengan gusar aku mengeluarkan buku catatan matematika.

"Pucat amat muka lo Jun, abis dikejar begal lo?" ucap Anton yang duduk bersebelahan denganku.

"Nyontek PR matematika dong Ton, lo kan pinter, baik, tampan, dan tidak sombong." Balasku tanpa membalas basa basi Anton.

"Apaan lo giliran butuh muji-muji, dari kemarin kenapa ga muji gue?" Jawab Anton sambil menunjukkan raut wajah kesal.

"Ya udah, sih, Ton. Tolongin gue sekali ini aja," mataku mengedip-ngedip merayu Anton.

"Ya udah, tuh, ga usah pasang muka sok imut gitu bikin gue geli."

Anton menyodorkan buku catatannya sembari menjelaskan materi. Jam telah menunjukkan pukul 07.00. Pelajaran dimulai dengan tenang tanpa ada gangguan yang lewat. Namun, dari kejauhan terlihat seorang gadis cantik tersenyum kearahku. Hal itu membuatku salah tingkah disertai rasa ge'er, baru kali ini ada gadis secantik itu tersenyum padaku. Perlahan-lahan ujung bibirku naik ke atas menandakan wajahku sedang tersenyum berbunga-bunga.

"Ehem, sedang apa kamu Arjuna, kenapa kamu menghadap pojok? Papan tulis ada di depan, kamu memperhatikan penjelasan ibu tidak?!" ucap Bu Mirna yang sedari tadi
memperhatikanku.

"Pfftt... Lagi jatuh cinta pandangan pertama tuh, Bu," ledek Anton.

Seisi kelas tertawa kecuali Bu Mirna yang tetap melanjutkan menjelaskan materi. Kring.... Bel tanda istirahat berbunyi.

"Lah perasaan tadi masih pagi sekarang udah siang aja, waktu berlalu cepat ya, Jun." ucap Anton yang sedari tadi menggoyang-goyangkan pena
ditangannya.

"Apaan sih lo gitu aja dibahas, cabut ke kantin kuy."

Tring.... Pesan dari whatsapp mendadak berbunyi. Perasaan senangku berubah menjadi kecewa karena tahu bahwa pesan tersebut dari ibu.

My mom,"Nak mama minta tolong sama kamu, nanti sepulang sekolah belikan buah-buahan untuk Sarah. Jangan lupa untuk menemani adikmu di Rumah Sakit. Mama sibuk, jadi mama titip Sarah sama kamu ya, Nak."
Aku kesal pada ibu yang pilih kasih dan tidak pernah memedulikanku, tapi kalau soal Sarah pasti ibu selalu memerhatikannya setiap jam.

"Woy! Kata lu mau cabut ke kantin kok lu malah bengong?" ucap Anton yang membuyarkan lamunanku.

"Eh, sorry tadi ada something, ya udah yuk buruan keburu bel masuk,"

Sesampainya di kantin, Anton terlihat kesal dengan pemandangan kantin yang penuh antrian ditambah banyak orang tidak budaya antri yang membuatnya semakin kesal.

"Jun, pengen deh gue tonjok manusia yang ga ngantri itu," mata Anton menatap tajam ke arah antrian.

"Udahlah Ton, ga usah merah gitu mukanya gue bawa banyak snack balik ke kelas aja, yuk." ucapku yang berusaha menenangkan Anton sambil menarik tangannya menuju kelas.

Namun, niatku untuk kembali ke kelas terhenti ketika gadis yang tersenyum padaku tadi pagi ada di hadapanku.

"Hai Arjuna, aku Diana. Maaf ya mengganggu kalian. Aku kesini karena mau kasihundangan ultahku ke kamu dan temanmu. Aku berharap usah banget kalian datang, mubazir
makanan yang di sediain orkan khusus kalian kebuang gitu aja." ucap Diana sambil menyodorkan undangan ulang tahunnya.

"Udah pasti kami datang!" jawab Anton tanpa basa-basi. Aku tahu isi pikirannya hanyalah soal makanan.

"Di mana ada makanan disitu pasti itu ada lu ya, Ton, yang modelan kaya gini ga perlu diundang gadis Din!" tanganku melayang memukul pundak Anton.

Kring.... naik bel masuk berbunyi semua murid masuk kelas tak terkecuali aku dan Anton. Semua berlarian menuju kelas tak sabar menanti pelajaran berikutnya dimulai. Selang beberapa waktu, bel yang tadi berbunyi sebagai tanda masuk kelas kini berubah maknanya menjadi bel tanda pulang sekolah.

"Jun, habis ini langsung ke acaranya Diana yuk, gue laper mau makan." aku hanya menggelengkan kepala melihat kelakuan sahabatku satusatunya.
Tidak lama kemudian dia menghidupkan motor lalu menancapkan gas.

"Gue nebeng lu ya, Ton, motor gue lagi di bengkel nih, aku mengedip-ngedipkan mata memohon kepada Anton.

"Oke, tapi kalau lu kedip-kedip genit gitu lagi, gue tarik omongan gue," Anton memberikan helm sembari bersiap untuk mengebut.

"Thanks Ton, ga usah ngebut-ngebut gue masih mau hidup." mataku menatap langit dengan dramastis.

"Lebay banget lu Jun."

Sesampainya di acara, aku sempat tertegun dengan pestanya yang didekorasi dengan mewah. Aku meperhatikan setiap sudut ruangan mencari sesuatu. Dari kejauhan terlihat wajah yang tidak asing sedang melayani tamu.

"Arjuna!" suara Diana yang khas menarik perhatianku.

Aku berlari kecil meninggalkan Anton dan mendekati sumber suara.

"Udah ada gebetan tuh, makanya asal ninggalin temen sendiri," Anton berteriak sembari mengunyah makanan yang di sediakan.

Aku hanya dapat mengangkat tangan sebagai tanda maaf.

"Hi Din, selamat ulang tahun yang ke 18th ini ada kado berbalut do'a untuk kamu semoga panjang umur dan semoga kamu menjadi jodohku yang selama ini kucari, bercanda kok haha." ucapku sambil menyodorkan kado untuk Diana.

"Aamiin dan makasih ya untuk kadonya."

Raut wajahnya yang bahagia cukup membuatku lega. Namun kata 'aamiin' yang diucapkan Diana sempat membuatku tersipu meskipun aku tidak tahu kata itu ditunjukkan untuk semua doa yang kusebutkan atau hanya sebatas 'semoga panjang umur'. Tring...tring... tiba-tiba notif pesan dari whatsapp berbunyi disertai panggilan dari ibu berkali-kali. Namun, pandanganku hanya tertuju pada satu pesan dari Sarah.
Sarah berucap "Kak di mana? Adek kesepian di sini. Maaf kalau selama ini aku selalu ngerepotin kakak, itu
karena aku mau menghabiskan waktu terakhirku bersama kak Arjuna. Tapi sekarang aku ga
akan ngerepotin kakak lagi. Oh iya kalau kakak lihat pesan ini pergi ke atap Rumah Sakit yah,
pemandangan sore ini indah banget. Aku mau lihat pemandangan senja bareng kakak. Itukan
yang kakak mau dari dulu? Maaf baru sekarang aku ngabulin 1 permintaan itu, dan makasih
selama ini kakak udah ngerawat aku dirumah sakit. Sarah sayang kakak."

Air mata mengalir deras dari wajahku. Aku berlari tergesa-gesa mencari angkot menuju rumah sakit dan berharap semoga aku tidak terlambat menemui Sarah. Namun, yang diharapkan sekarang sudah terbaring lemas di ranjang. Kini, Sarah di pindahkan menuju kamar mayat. Kakiku berdiri lemas menerima kenyataan bahwa nasi sudah menjadi bubur. Sarah yang sudah tiada tidak mungkin hidup kembali. Aku hanya bisa menangis serta berdoa yang terbaik untuk Sarah. Andai dulu aku mendengarkan nasehat ibu untuk selalu berada di sampingnya, pasti bukan penyesalan yang tersisa saat ini. Aku menyadari sesuatu ketika memandangi makam Sarah.

"Ternyata kita hanya sebatas senja dan daratan ya? Saling melihat tapi tak saling terikat, saling menatap namun tak saling menetap. Rest in peace for you, Sarah."

 

SOSOK MISTERIUS

Karya: Ifah Nur Karim

Pagi itu aku berangkat sekolah, aku kaget dengan sosok yang muncul di hadapanku dan tersenyum. Sosok yang tinggi tampan benar-benar persis yang aku gambarkan untuk tokoh utama dalam cerpen ku dan itu nyata. Oya, aku seorang penulis cerpen digital remaja, tapi tidak ada yang tau kalau aku penulis cerpen digital remaja kecuali orang tuaku. Saat siswa lain berjalan menabrak tubuhnya ternyata tembus, seolah-olah dia seperti tidak ada. Aku lanjutkan jalanku seolah tak melihatnya.

Seperti hari-hari sebelumnya, aku hanya bisa menatapnya dari jauh tanpa mampu mengucapkan sepatah katapun padanya. Jujur dia memang sangat tampan dan membuatku terpesona. Ingin sekali aku mengajaknya berbicara, tapi entahlah aku takut untuk menyapanya. 

"Heh, ngelamun ya kamu, nanti kerasukan baru tau rasa kamu." kata temenku sambil menepuk pundakku.

"Hisss ngagetin aja kamu, siapa juga yang ngelamun, noh liatin dia" jawabku.  "Dia siapa, jangan ngadi-ngadi deh kamu orang di taman cuman ada kita, udah pada masuk tu, kamu sih ga denger malah sibuk ngelamun ". 
"Oh udah masuk, yaudah yok masuk hehehe. " Jawabku sambil cengengesan.  
Saat di kelas aku mencoba bertanya lagi kepada temanku. Aku masih tidak percaya dia benar-benar nyata dan masa hanya aku yang bisa melihatnya.  
"Na, kamu tadi beneran tidak melihat dia di depanku. " tanyaku.
"Dia siapa sih, orang tadi ditaman cuman tinggal kita berdua, kamu 
kayaknya mulai gila deh suka halusinasi. "
" Masa sih na, tadi tu ada sosoknya tinggi tampan lagi. "
" Udah deh yaa, kamu kayaknya kecapean, ayo kerjakan dulu bentar 
lagi pulang, terus kamu bisa istirahat. " jawab temanku.  

 

BUNGA YANG TERLANJUR LAYU

Karya: Ifah Nur Karim

Semua baru disadari Laksita pada saat dia overthingking seorang diri, menatap kosong langit-langit kamarnya. Dengan susah payah ia mencoba untuk memikirkan mengenai tugas sekolahnya yang menumpuk, semuanya sia-sia yang ada dalam pikirannya hanyalah perkataan ibunya, Maarisha, di suatu sore sekitar empat minggu yang lalu. Malam itu, empat minggu yang lalu Laksita membawa pulang tugas sekolahnya, Laksita ini anak OSIS yang sering pulang malam karena tugas-tugas sekolahnya. Ada rapat yang sangat penting besok pagi dengan
anggota OSIS lainnya. Pada saat Laksita memeriksa tugasnya, Maarisha, ibunya yang berusia 48 tahun datang menghampiri dengan badan yang lagi lemas karena sedang tidak enak badan. 
"Anak ibu lagi sibuk ya?"  Laksita menengok ke arahnya dan berkata, 
"Iya bu, baru mau ngecek tugas-tugas."
"Owalah, Laksita temenin ibu tidur dan peluk ibu malam ini aja boleh?" Katanya dengan wajah tersenyum dan sangat berharap.
"Emmm, Laksita sedang sibuk sekali, jangan sekarang ya bu," Kata Laksita dengan cepat sambil mengalihkan perhatiannya pada tumpukan
tugas di depannya. Maarisha hanya berdiri terpaku di samping Laksita sambil memperhatikan dan tersenyum. Lalu dengan suara yang sedikit memaksa tapi tetap lembut mulai merayu kembali. 
"Cuman malam ini saja kok, entah kenapa ibu pengen tidur dan dipeluk kamu, Laksita." 
Dengan perasaan agak kesal Laksita menjawab, " Ibu....., Laksita sedang sibuk buat persiapan rapat untuk besok, lain kali saja ya bu." 
"Tapi Ibu pengennya sekarang," katanya dengan sedikit memaksa.
"Lihatlah Ibu sudah membersihkan kamar dan menganti sprai yang kamu suka dulu dengan warna ungu sangat lucu, Ibu juga sudah mengeluarkan boneka kesukaaan kamu dulu yang ada dilemari Ibu." 
"Lain kali Ibuu......! Laksita sedang banyak tugas inii......" Laksita berusaha untuk tidak memperhatikan Maarisha Lagi. Waktu berlalu, Maarisha masih berdiri kaku disebelah anknya dan tersenyum sambil memandangnya. Lama sekali Laksita mengacuhkan Ibunya. Tiba-tiba Maarisha mulai lagi.  "Laksita....., Ibu mohon sekali malam ini saja nak, kasurnya sangat nyaman dan nanti kita cerita-cerita panjang! Laksita pasti akan suka." 
"Ibu, sekali lagi Laksita bilang, tidak bisa malam ini, tolong ngertiin Laksita, Laksita capek bu....! Dengan nada yang pelan tapi menekan. Hampir menangis Maarisha mulai menjauh. 
"Iya, lain kali ya nak."

Tetapi Maarisha kemudian mendekati anaknya sambil mengusap lembut kepalanya dan berkata, "Kapan saja Laksita ada waktu ya, Laksita tidak usah temenin Ibu, datang saja di kamar Ibu, tapi kalau bisa yang lama ya nak di kamar ibu, supaya Ibu bisa merasakan kehadiranmu." Laksita hanya diam.
Kejadian empat minggu yang lalu itulah sekarang yang ada dalam pikiran Laksita. Laksita teringat akan ibunya yang dengan penu pengertian mengalah. Ibunya yang berusia 48 tahun meletakkan tangannya di kepala Laksita dan mengusap lembut mengatakan,  "Tapi kalau bisa yang lama ya nak di kamar ibu, supaya Ibu bisa merasakan kehadiranmu." Dan Laksita mulai pindah dari kamarnya ke kamar ibunya.  

Dipandangannya kamar Ibunya yang sangat rapai dan bersih itu, ada boneka duduk rapi di senderan kasur Ibu. Tidak lupa sprei ungu lucu itu yang masih terpasang rapi. Laksita mulai tiduran dan menikmati kenyamanan kamar Ibunya itu. Laksita sudah melupakan tugas-tugasnya yang dulu amat sangat penting. Ia bahkan lupa akan kemarahan dan kebenciannya terhadap supir truk yang menabrak Ibunya di jalanan pasar hingga Ibunya meninggal di hadapannya...... 
Laksita terus menikmati kasur Ibunya yang nyaman ini hingga air matanya deras mengalir membasahi bantal Ibunya...... sambil berharap Ibunya memaafkannya dan tersenyum dari tempat peristirahatannya yang terakhir..... 


APAKAH KITA SUDAH MERDEKA?

Karya: Nadzirani Nourin Aulia

Hari ini aku pergi berlibur ke rumah Nenek. Aku sangat menikmati perjalanan menuju rumah Nenek. Karena rumah nenekku terletak di pedesaan yang jauh dari pusat kota. Aku pun jadi dapat melihat pemandangan alam yang begitu indah di hadapanku. Tapi aku melihat masih ada beberapa rumah gubuk di sana. Aku pun turun dari mobil dan bertanya tentang rumah gubuk tersebut pada warga disana.
Ternyata, memang disana masih banyak orang yang tidak memiliki rumah yang layak, masih banyak anak-anak yang putus sekolah dan masih banyak anak-anak yang tidak dapat makanan bergizi. Baru kusadari, ternyata kemerdekaan Indonesia hanya sebatas terbebas dari para penjajah. Tapi Indonesia belum merdeka dalam bidang pendidikan dan kemiskinan. Beruntungnya aku masih dapat bersekolah, masih dapat makan dgn gizi yang cukup, dan masih memiliki rumah yang layak untuk beristirahat dan belajar. Aku bersyukur atas semuanya.
Kata Ibuku, mereka harus bekerja untuk membiayai SPP sekolah. Mereka harus berusaha keras untuk mencari makan. Bahkan untuk berangkat ke sekolah pun mereka harus berjalan kaki dengan jarak yang sangat jauh sekali. Apa ini yang disebut dengan kemerdekaan?
Aku meminta seorang anak menceritakan bagaimana sulitnya untuk bersekolah dengan keadaan yang seperti ini. Katanya, mereka harus bangun pagi-pagi untuk memubuat kue bersama Ibu mereka. Lalu, sebelum berangkat sekolah mereka akan menjual kue tersebut. Uang hasil penjualan pun terkadang tidak mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari.
Maa syaa Allah… Betapa semangatnya mereka menjalani kehidupan. Betapa sabarnya mereka menjalani kemiskinan. Mereka tidak pernah mengeluh. Mereka menjalani semuanya dengan senang hati. Sedangkan kita yang masih mampu sekolah saja terkadang malas pergi sekolah. Malas mengerjakan tugas yang diberikan. Bahkan ada yang tidak mengerjakan tugas sama sekali.
Bagaimana dengan mereka disana? Dengan segala keterbatasan mereka, mereka masih memiliki keinginan untuk sekolah. Dan kita disini, ke sekolah diantar, pulang sekolah dijemput, SPP kita orangtua yang membiayai, peralatan sekolah kita orangtua yang beli, masih tidak bersyukur juga?
Sebenarnya, untuk mengatasi masalah tersebut tidak harus mengharap kepada pemerintah saja. Sesama kita seharusnya juga dapat saling membantu mereka. Yang mampu bisa menolong yang kurang. Jika masalah ini tidak ada yang bisa mengatasi lagi, barulah kita ajukan kepada pemerintah.
Ketika hampir sampai di rumah nenekku, aku melihat sangat banyak sampah berserakan. Lalu aku bertanya pada ayahku mengapa begitu banyak sampah disini. Kemudian ayahku menjawab mereka belum peduli tentang kebersihan lingkungan.
Ada di beberapa tempat yang masih menganggap sungai sebagai tempat pembuangan sampah, ada juga yang membuang air bekas cucian ke sungai, bahkan ada yang masih membuang air besar di sungai. Padahal air sungai diambil untuk dijadikan air minum. Jika sungai sudah tercemar, bukankah sudah tidak baik lagi untuk dijadikan air minum?
Ternyata mereka tidak mempunyai wc di rumahnya. Sehingga harus membuang air kecil dan besar di sungai. Nah, jika sudah begini solusinya adalah pemerintah yang harus mensosialisasikan kepada masyarakatnya bahwa sungai bukan pengganti wc. Dan pemerintah juga sebaiknya membuatkan jamban untuk mereka yang tidak memiliki jamban.
Akhirnya, aku pun sampai di rumah nenekku. Dan akhirnya pun aku dapat memetik hikmah tentang kemerdekaan Indonesia. Kita memang telah lama merdeka. Tapi kemerdekaan yang kita rasakan saat ini belum sepenuhnya dirasakan oleh warga negara Indonesia, karena kemerdekaan sesungguhnya adalah kemerdekaan dari kemiskinan, kebodohan, dan dari pencemaran lingkungan.

 

MERAH PUTIH DI LANGIT DESA KARANGJATI

Karya: Eka Khoirul Khabibah

Desa Karangjati, 17 Agustus 1945. Di tengah kebisingan suara lonceng bambu yang dipukul bertalu-talu, seorang pemuda bernama Darma menatap bendera Merah Putih yang baru saja dikibarkan di depan balai desa. Di hatinya berkobar semangat juang yang tak pernah padam, meskipun tubuhnya masih lelah akibat pertempuran sengit melawan penjajah beberapa minggu lalu.

Darma adalah anak tunggal seorang petani sederhana. Ayahnya gugur saat memimpin barisan rakyat melawan pasukan kolonial. Sejak saat itu, ia bertekad melanjutkan perjuangan ayahnya. Bersama para pemuda desa, Darma membentuk pasukan kecil yang sering melakukan serangan gerilya.

Pada malam 16 Agustus 1945, kabar tentang proklamasi kemerdekaan Indonesia sampai ke Karangjati melalui seorang kurir yang berhasil lolos dari penjagaan ketat penjajah. Kurir itu membawa pesan dari para pemimpin di ibu kota: rakyat harus segera mengibarkan Merah Putih di setiap sudut negeri.

Darma segera mengumpulkan warga desa di bawah pohon besar di tengah lapangan. "Saudara-saudara, hari ini adalah hari yang kita nanti-nantikan! Indonesia telah merdeka! Besok pagi, kita akan mengibarkan bendera Merah Putih sebagai simbol kemenangan kita!" serunya penuh semangat.

Namun, perjuangan tidak semudah itu. Tentara penjajah yang masih bertahan di daerah sekitar mendengar rencana tersebut. Malam itu juga, mereka menyerbu desa Karangjati untuk menggagalkan pengibaran bendera.

Darma dan kawan-kawannya tidak gentar. Mereka bersiap dengan segala peralatan yang ada bambu runcing, parang, dan bahkan batu. Pertempuran sengit pun pecah di tengah malam. Meskipun jumlah mereka jauh lebih sedikit, keberanian dan strategi gerilya membuat para penjajah terpojok.

Saat fajar menyingsing, Darma memimpin barisan terakhir untuk mengusir penjajah sepenuhnya dari desa mereka. Meskipun beberapa kawan gugur, mereka berhasil mempertahankan Karangjati. Dengan tubuh yang terluka, Darma memanjat tiang bendera sementara yang terbuat dari bambu. Dengan hati-hati, ia mengikat kain merah putih yang telah dijahit oleh ibunya di malam sebelumnya.

Ketika bendera itu berkibar di langit pagi, semua warga desa bersorak dengan air mata haru. "Merdeka!" teriak mereka serempak.

Bagi Darma, perjuangan ini belum selesai. Namun, melihat bendera Merah Putih berkibar di atas desanya, ia merasa yakin bahwa cita-cita kemerdekaan akan terus hidup di hati rakyat Indonesia.

Semangat itu kini menjadi warisan yang ia titipkan kepada generasi berikutnya, sebagai pengingat bahwa kemerdekaan adalah hasil dari darah, keringat, dan air mata.

Dirgahayu Indonesiaku, negeriku tercinta!

 

LIONTIN PERAK

Karya: Hammam Izzuddin 

Gelapnya malam menyelimuti sebuah desa di ujung gunung, ombak beriak tenang di bawah sinar rembulan. Seorang pria berpakaian jas hitam berdiri di ujung karang menatap lautan luas sambil mengusap sebuah liontin perak berlambangkan Garuda dengan jangkar.

"Kapten  pasukan NICA mulai mendekat, kapal kita mengalami kerusakan parah" ucap seorang ABK kapal berwajah Jawa, "Siapkan persenjataan, kita akan bertempur hingga akhir" teriak seorang kapten Armada Timur. Deru mesin kapal beriringan dengan letusan meriam kapal terus menemani malam di tengah lautan. Puluhan peluru ditembakkan ke arah kapal kayu milik pejuang itu, kapal mulai tenggelam perlahan namun anehnya para kru kapal itu tersenyum bahagia meskipun mereka menjadi mayat yang terombang-ambing ombak. Laporan seorang Letnan NICA kepada atasannya atas tenggelamnya kapal kayu berbendera Indonesia di samudra Hindia.

Lima hari kemudian ratusan Pasukan NICA mendaratkan diri di Surabaya dan memulai invasi besar-besaran di sana. Ada segerombolan pejuang yang dijadikan tahanan perang dan si Letnan pembawa liontin perak itu bertanya "siapakah pemilik liontin ini ?" Para pejuang itu hanya tertawa dan berkata "ternyata si elang putih sudah gugur" si Letnan itu kebingungan dengan perkataan para pejuang itu.

"Begitulah kisah yang diceritakan oleh kakek ku tentang liontin ini" ucap pemuda berjas hitam sambil mengusap liontin perak bercorak Garuda dan jangkar kapal. Semilir angin laut berhembus menerpa wajah pemuda berjas hitam itu, dia tersenyum sambil menatap lautan " kapten Elang putih aku sudah menjaga putri mu sebagai permintaan maaf kakek ku" ucapnya, yang mana Si kepten elang putih itu adalah seorang warga pesisir yang menikah dengan wanita Belanda dan si pemuda berjas itu menikahi putri si kapten Elang putih, walaupun dia baru mengetahuinya setelah 3 tahun menikah.

 

SENYUM DI BALIK SENJATA

Karya: Qaulani Syadida

Mentari pagi menyinari wajah Narendra yang bersemu debu. Napasnya memburu, keringat membasahi keningnya. Namun, semangatnya tak pernah padam. Ia bersama laskar kecilnya bersembunyi di balik rimbunnya hutan jati, menyusun strategi untuk merebut kembali tanah air dari tangan penjajah.

"Kita harus segera bertindak," ucap Narendra pada komandannya, Nando. "Mereka semakin gencar melakukan patroli. Rakyat menderita." Nando mengangguk tegas. "Tenang, Ren. Kita akan mencari celah. Kita akan membuat mereka menyesal telah menginjak tanah air kita."

Malam itu, mereka melancarkan serangan mendadak ke pos penjagaan Belanda. Dengan cekatan, mereka melumpuhkan para penjaga dan berhasil merebut beberapa senjata. Kemenangan kecil ini membakar semangat juang mereka. Namun, perjuangan mereka tidaklah mudah. Mereka diburu ke mana pun mereka pergi. Kelaparan dan penyakit mengancam nyawa mereka. Banyak di antara mereka yang gugur dalam pertempuran.

Suatu hari, Narendra terluka parah dalam sebuah penyergapan. Ia dilarikan ke rumah sakit rahasia yang dikelola oleh para perempuan pejuang. Di sana, ia dirawat oleh seorang perawat muda bernama Monica. Monica merawat Narendra dengan penuh kasih sayang. Setiap hari, Monica membacakan surat-surat untuk Narendra dari keluarganya. Surat-surat itu menjadi semangat baginya untuk terus berjuang.

"Jangan menyerah, Naren," ucap Monica sambil menyeka keringat Narendra. "Kita pasti akan menang." Narendra tersenyum lemah. "Aku akan berjuang sampai titik darah penghabisan, Mon. Demi Indonesia yang merdeka." Setelah sembuh, Narendra kembali bergabung dengan laskarnya. Bersama-sama mereka terus berjuang hingga akhirnya kemerdekaan Indonesia dapat diraih.

Ketika bendera merah putih berkibar di langit, Narendra merasa semua perjuangannya tidak sia-sia. Ia memeluk Monica erat-erat. "Kita berhasil, Monic," ucap Narendra dengan suara bergetar. Monica tersenyum bahagia. "Ya, kita berhasil. Ini semua berkat perjuangan kita semua."

Mereka berdua memandang ke langit, penuh syukur dan harapan. Mereka tahu, perjuangan belum selesai. Masih banyak tantangan yang harus dihadapi. Namun, dengan semangat juang yang tak pernah padam, mereka yakin Indonesia akan menjadi negara yang maju dan sejahtera.

 

BUNGA DI TENGAH PERANG

Karya: Aina Zuhanit Zamarida

Di sebuah desa kecil di Jawa Tengah, hiduplah seorang gadis bernama Sri. Usianya baru belasan tahun, tapi ia memiliki semangat juang yang membara seperti api unggun. Setiap hari, ia menyaksikan penderitaan rakyat di bawah penjajahan Jepang. Kelaparan, kekerasan, dan ketidakadilan sudah menjadi makanan harian dalam kehidupan mereka.

Suatu hari, saat Sri dan teman-teman sedang berkumpul untuk bermain, Sri tiba-tiba mengajak teman-teman untuk mengumpulkan bunga. Berbagai jenis bunga, dari yang sederhana hingga yang langka, mereka kumpulkan. Kemudian, bunga-bunga itu mereka rangkai menjadi karangan yang indah.

"Apa yang akan kita lakukan dengan bunga-bunga ini, Sri?" tanya Ani, salah satu temannya.

"Kita akan memberikannya kepada para pejuang," jawab Sri dengan mantap. "Bunga ini adalah simbol harapan dan semangat kita untuk meraih kemerdekaan."

Dengan hati-hati, mereka membawa karangan bunga itu ke hutan tempat para pejuang bersembunyi. Para pejuang menyambut mereka dengan hangat. Mereka terharu melihat semangat para remaja putri yang begitu besar.

"Terima kasih, anak-anak," ucap seorang pejuang tua. "Kalian telah memberikan kami semangat baru untuk terus berjuang."

Karangan bunga itu kemudian mereka pajang di posko perjuangan. Setiap kali melihat bunga-bunga itu, para pejuang merasa lebih bersemangat. Mereka teringat akan harapan dan impian rakyat yang ingin merdeka.

Perjuangan kemerdekaan terus berlanjut. Sri dan teman-temannya terus memberikan dukungan kepada para pejuang. Mereka mengumpulkan makanan, obat-obatan, dan informasi intelijen. Meskipun usianya masih muda, mereka telah menjadi bagian penting dari perjuangan kemerdekaan.

Akhirnya, kemerdekaan Indonesia berhasil diraih. Bendera merah putih berkibar dengan gagah di seluruh penjuru tanah air. Sri dan teman-temannya merasa sangat bahagia. Mereka telah ikut berpartisipasi dalam perjuangan yang begitu agung.

 

DI BALIK API MERDEKA

Karya: Siti Aulia Chairunnisa

Di tahun 1947, desa Waringin menjadi salah satu medan pertempuran sengit antara rakyat Indonesia dan tentara Belanda. Desa itu, meskipun kecil, dikenal memiliki pejuang-pejuang tangguh. Di antara mereka adalah Arya, seorang pemuda berusia 20 tahun yang mengabdikan hidupnya untuk kemerdekaan Indonesia.

Arya bukanlah seorang tentara resmi, tapi tekadnya tak kalah besar. Ayahnya, seorang petani sederhana, gugur saat melindungi keluarganya dari serangan pasukan kolonial dua tahun sebelumnya. Sejak saat itu, dendam Arya bercampur dengan semangat patriotisme. Ia menjadi kurir rahasia, menyusup ke wilayah musuh untuk membawa pesan dan suplai bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Suatu malam, di bawah langit berbintang, Arya menerima perintah dari Komandan Sutan, pemimpin pasukan gerilya di desa tersebut. “Arya, kita kekurangan bahan peledak untuk menyerang gudang amunisi Belanda di bukit sebelah barat. Ini tugas berbahaya, tapi hanya kamu yang bisa melakukannya,” ujar Sutan dengan nada serius.

Arya mengangguk. “Apa pun demi kemerdekaan, Komandan.”

Dengan membawa tas berisi bahan peledak buatan sendiri, Arya bersama dua rekannya, Wira dan Darma, merayap melewati hutan lebat. Jalan menuju bukit itu berbahaya, dijaga ketat oleh patroli Belanda. Suara serangga malam menjadi satu-satunya pengiring langkah mereka.

Ketika mereka hampir sampai, sebuah sinar senter menyapu wajah Wira. Tembakan segera meletus. “Lari! Lindungi bahan peledaknya!” Arya berteriak sambil menarik Darma menuju semak-semak.

Mereka kehilangan Wira malam itu. Namun, misi belum selesai. Dengan tekad membara, Arya dan Darma menyelinap lebih jauh hingga mencapai gudang amunisi. Di sana, mereka bekerja cepat memasang bahan peledak di pintu utama dan bagian belakang gudang.

“Darma, kau pergi dulu. Aku akan memantik ledakan ini,” perintah Arya.

“Tidak! Kita pergi bersama!” Darma menolak keras.

Namun, Arya tahu risikonya. Jika mereka menunggu terlalu lama, patroli musuh bisa saja datang. Dengan senyum penuh keyakinan, Arya berkata, “Kau harus melanjutkan perjuangan kita. Aku akan mengalihkan perhatian mereka.”

Arya berlari ke arah penjaga sambil melemparkan batu, menciptakan keributan. Tentara Belanda segera mengejarnya. Dari kejauhan, Darma melihat Arya memancing mereka menjauh. Beberapa menit kemudian, suara ledakan dahsyat mengguncang malam. Api besar membumbung tinggi, meluluhlantakkan gudang amunisi itu.

Darma berhasil kembali ke markas dengan selamat dan menyampaikan kabar keberhasilan misi mereka. Tapi Arya tidak pernah kembali. Tubuhnya ditemukan keesokan harinya, tergeletak di dekat sungai, dengan luka tembak di dadanya.

Namun, pengorbanan Arya tidak sia-sia. Kehancuran gudang amunisi itu menjadi pukulan telak bagi tentara Belanda, memungkinkan pasukan gerilya untuk merebut kembali desa Waringin.

Di tengah hutan itu, penduduk desa mendirikan sebuah monumen kecil untuk Arya, sang pejuang yang tak gentar menyerahkan nyawanya demi kemerdekaan. Di bawah namanya, tertulis:

"Bukan hidup yang kucari, tetapi kemerdekaan bagi bangsaku."

Semangat Arya tetap hidup, menginspirasi generasi setelahnya untuk menjaga kemerdekaan yang telah diperjuangkan dengan darah dan air mata.

 

LENTERA DI MALAM PENJAJAHAN

Karya: Siti Aulia Chairunnisa

Malam itu begitu sunyi di desa Jatigading. Angin membawa aroma tanah basah, tapi suasananya penuh ketegangan. Desa itu telah dikepung tentara Belanda selama tiga hari terakhir. Setiap suara langkah atau cahaya lentera di malam hari menjadi ancaman yang bisa mendatangkan maut.

Di tengah kecemasan itu, Rahayu, seorang gadis desa berusia 19 tahun, bersembunyi di balik dapur rumahnya. Namun, ia bukan sembarang gadis biasa. Dalam tubuhnya yang tampak rapuh, bersemayam keberanian yang melampaui usia mudanya. Ayahnya, seorang pejuang veteran, telah gugur dua bulan sebelumnya dalam pertempuran di Ambarawa. Kini, Rahayu memikul tugas melanjutkan perjuangan ayahnya.

Rahayu memiliki satu tugas penting malam itu: menyampaikan peta posisi tentara Belanda kepada pasukan TNI yang sedang bersiap di hutan selatan. Peta itu disembunyikan dalam gulungan kecil dan dijahit di bagian dalam kain jarit yang ia kenakan. Namun, perjalanan menuju hutan tidaklah mudah. Desa dipenuhi pos penjagaan, dan tentara Belanda tidak segan menembak siapa pun yang dianggap mencurigakan.

“Saya harus pergi, Bu. Kalau tidak, mereka tidak akan tahu bagaimana menyerang musuh,” bisik Rahayu kepada ibunya. Mata sang ibu memerah, tapi ia hanya mengangguk. “Hati-hati, Nak. Jangan biarkan pengorbanan ayahmu sia-sia.”

Dengan langkah ringan, Rahayu menyelinap keluar rumah. Malam semakin larut, dan hanya bulan sabit yang menjadi penerangnya. Ia memilih jalan setapak di pinggir sawah, jauh dari pandangan patroli musuh. Tapi di tengah jalan, sebuah suara menghentikan langkahnya.

“Siapa di sana?” terdengar suara tegas seorang tentara Belanda.

Rahayu menahan napas. Dengan cepat, ia menunduk di balik rumpun bambu. Tentara itu berjalan mendekat, senter di tangannya menyapu sekitar. Rahayu menggenggam sebuah batu kecil di tanah. Ketika tentara itu hampir menemukannya, ia melempar batu itu ke arah berlawanan.

“Di sana!” Tentara itu berbalik, mengejar suara batu yang jatuh ke semak-semak. Kesempatan itu dimanfaatkan Rahayu untuk berlari secepat mungkin ke arah hutan.

Setelah perjalanan yang menegangkan, ia tiba di titik pertemuan. Di sana, seorang pemuda berpakaian lusuh menunggunya. “Kau Rahayu?” tanya pemuda itu, yang ternyata seorang kurir TNI.

Rahayu mengangguk dan menyerahkan gulungan peta itu. “Ini posisi mereka. Mereka punya gudang amunisi di tepi desa.”

Pemuda itu tersenyum. “Terima kasih. Kau telah menyelamatkan banyak nyawa, Rahayu.”

Namun, tugasnya belum selesai. Saat Rahayu hendak kembali ke desa, ia mendengar suara tembakan dari arah perkemahan pasukan TNI. “Mereka menyerang lebih cepat!” Rahayu berkata dengan panik.

Tanpa ragu, ia berbalik menuju desa. Meski ia tahu risikonya, Rahayu ingin membantu menyampaikan informasi kepada para pejuang. Setibanya di tepi desa, ia melihat rumah-rumah terbakar, dan suara teriakan bercampur letusan senjata.

Dengan keberanian yang tak terbayangkan, Rahayu mengambil lentera dari sebuah rumah yang telah kosong. Ia naik ke bukit kecil di tengah desa dan menyalakan lentera itu, mengayunkannya tinggi-tinggi ke udara sebagai sinyal kepada pasukan TNI di hutan. Lentera itu menjadi penanda arah, membantu pejuang menyerang pos musuh dengan tepat.

Malam itu, Rahayu terluka oleh peluru musuh, tapi sinyalnya berhasil. Pasukan TNI merebut kembali desa Jatigading.

Beberapa hari kemudian, tubuh Rahayu ditemukan tergeletak di bukit, dengan lentera yang masih tergenggam erat di tangannya. Ia telah pergi, tetapi keberaniannya menjadi cerita abadi di desa itu. Lentera yang pernah ia ayunkan kini dijadikan simbol perjuangan, menerangi hati setiap orang untuk selalu berani memperjuangkan kemerdekaan.

Di batu nisannya tertulis:

"Cahayanya tak pernah padam, bahkan di tengah gelap malam penjajahan."

 

API KEMERDEKAAN DI BUKIT MERAH

Karya: Siti Aulia Chairunnisa

Di sudut Nusantara tahun 1948, di sebuah desa kecil bernama Bukit Merah, perjuangan melawan penjajah bukan lagi sekadar cerita. Desa itu telah menjadi medan perlawanan sengit, dengan rakyat yang berani meski hanya bersenjatakan bambu runcing. Di antara mereka, ada seorang pemuda bernama Jaya, seorang yatim piatu yang kehilangan segalanya karena perang.

Jaya bukan siapa-siapa. Ia hanya seorang pembawa pesan untuk Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun, ketepatan, keberanian, dan kecerdasannya menjadikan dia nyawa dari setiap strategi gerilya. Ia tahu setiap jalan tikus, gua tersembunyi, dan tempat-tempat yang bahkan musuh tak akan curigai.

Namun, tugas malam itu berbeda. Sang Komandan, Pak Dirga, memanggil Jaya secara khusus. “Jaya, ini mungkin misi terpenting kita. Ada dokumen rahasia yang menjelaskan rencana besar Belanda menyerang markas utama TNI. Kau harus merebutnya di pos penjagaan mereka di lereng bukit dan membawanya ke markas kita. Tapi ingat, Jaya, ini bisa menjadi perjalanan sekali jalan.”

Jaya mengangguk. “Untuk Indonesia, saya siap mati, Komandan.”

Malam itu, Jaya menyelinap menuju pos Belanda dengan hanya berbekal pisau, bambu runcing, dan keberanian yang tak kenal takut. Ia melangkah tanpa suara di tengah hutan gelap, angin dingin menusuk kulitnya. Dalam keheningan, ia tiba di tepi pos Belanda. Lampu-lampu temaram menggantung di tiang-tiang kayu, menerangi tenda dan prajurit bersenjata lengkap.

Jaya memperhatikan dengan seksama. Ia tahu, satu langkah keliru akan membuatnya kehilangan nyawa. Dengan kecekatan luar biasa, ia merangkak di bawah semak belukar, menunggu celah untuk menyusup masuk.

Ketika dua tentara berjalan meninggalkan tenda pusat, Jaya bergerak cepat. Ia menyelinap masuk dan mendapati meja kayu dengan peta besar dan tumpukan dokumen di atasnya. Tangan Jaya gemetar saat mengambil dokumen itu, tapi ia tahu tak ada waktu untuk ragu.

Namun, saat keluar dari tenda, Jaya membuat kesalahan kecil. Sebuah kotak amunisi tergeser oleh kakinya, mengeluarkan suara keras. “Siapa di sana?!” teriak seorang tentara.

Jaya berlari sekuat tenaga, membawa dokumen itu di balik punggungnya. Peluru-peluru melesat di sekitarnya, menghantam pepohonan dan tanah. Di tengah pengejaran, Jaya terjebak di tepi tebing curam. Tentara Belanda semakin mendekat.

Dengan napas terengah, Jaya membuat keputusan nekat. Ia melompat ke sungai di bawah tebing itu. Air dingin menghantam tubuhnya, tapi ia bertahan, berenang sejauh mungkin hingga tentara Belanda kehilangan jejaknya.

Setelah perjalanan panjang, Jaya akhirnya tiba di markas TNI dengan tubuh penuh luka. Ia menyerahkan dokumen itu kepada Pak Dirga, yang langsung mempelajarinya. “Ini luar biasa, Jaya. Dengan ini, kita bisa menghancurkan rencana mereka!”

Namun, kebahagiaan itu hanya berlangsung singkat. Belanda, yang menyadari dokumen itu hilang, melancarkan serangan besar-besaran ke Bukit Merah. Jaya tak mundur. Ia memimpin para pemuda desa membangun pertahanan terakhir, memasang jebakan, dan berjuang dengan segala daya yang mereka miliki.

Pertempuran di Bukit Merah menjadi legenda. Meski kalah jumlah dan senjata, Jaya dan rakyat desa berhasil menahan serangan Belanda cukup lama hingga bala bantuan TNI tiba. Bukit Merah selamat, dan rencana Belanda hancur berkat dokumen yang berhasil direbut Jaya.

Namun, kemenangan itu dibayar mahal. Jaya gugur di akhir pertempuran, tubuhnya ditemukan di tengah ladang dengan bambu runcing masih tergenggam erat.

Di tengah desa, rakyat mendirikan monumen untuk Jaya, dengan tulisan:

"Di tangan pemuda seperti dia, kemerdekaan menemukan maknanya. Pengorbanan adalah api yang terus menyala."

Cerita Jaya tak pernah pudar. Anak-anak desa diajarkan kisahnya, dan Bukit Merah menjadi simbol keberanian rakyat Indonesia, bahwa meski kecil, mereka bisa mengguncang dunia demi meraih kemerdekaan.

 

NYAWA UNTUK SANG MERAH PUTIH

Karya: Siti Aulia Chairunnisa

Fajar baru saja menyingsing di Desa Karangjati, menyapu embun yang masih melekat di daun. Namun, suasana pagi itu bukanlah pagi yang biasa. Ada ketegangan yang menggantung di udara, membuat setiap langkah terasa berat. Desa ini sudah tiga hari dikepung tentara Belanda, dan hari ini, mereka memberikan ultimatum terakhir.

“Turunkan bendera Merah Putih di balai desa sebelum matahari mencapai puncaknya, atau kami akan menghancurkan desa kalian,” ujar seorang komandan Belanda dengan nada dingin.

Bendera itu adalah kebanggaan desa, dijahit oleh tangan-tangan perempuan desa saat proklamasi kemerdekaan diumumkan. Bagi mereka, bendera itu bukan sekadar kain, tetapi simbol perjuangan dan kehormatan.

Di tengah warga yang berkumpul, seorang pemuda bernama Arjuna melangkah maju. Arjuna bukan orang terpandang di desa. Ia hanyalah seorang pengrajin anyaman bambu, anak yatim yang kehilangan ayahnya dalam pertempuran di Surabaya. Namun, di matanya terpancar keberanian yang tak tergoyahkan.

“Bendera itu tidak akan pernah turun. Jika mereka ingin menurunkannya, mereka harus melewati saya terlebih dahulu,” kata Arjuna lantang.

Warga terdiam. Mereka tahu apa yang akan terjadi jika mereka melawan. Senjata mereka hanyalah bambu runcing dan semangat, sementara musuh datang dengan senapan dan granat. Tapi keberanian Arjuna menyulut semangat mereka.

“Kami bersamamu, Arjuna,” kata Pak Rahmat, seorang petani tua yang pernah ikut perang gerilya.

Hari itu, seluruh desa bersiap. Para pemuda menggali jebakan di jalan masuk, para ibu menyiapkan perban dan obat tradisional, sementara anak-anak diamankan di gua di bukit belakang.

Ketika matahari mencapai puncaknya, pasukan Belanda mulai bergerak. Derap langkah mereka menggema, menggetarkan tanah. Di balai desa, Arjuna berdiri tegap di bawah tiang bendera, bambu runcing tergenggam erat di tangannya.

“Ini kesempatan terakhir. Turunkan bendera itu!” teriak komandan Belanda.

“Tidak!” balas Arjuna. “Merah Putih akan tetap berkibar di tanah ini, bahkan jika saya harus menyerahkan nyawa saya!”

Serangan pun dimulai. Pasukan Belanda menyerbu, tetapi mereka tidak siap menghadapi jebakan yang telah dipasang warga. Lubang-lubang jebakan dan perangkap bambu menghentikan laju mereka, sementara pemuda desa menyerang dari segala arah.

Arjuna bertempur dengan gagah berani. Meski tubuhnya penuh luka, ia terus melindungi bendera di balai desa. Ketika seorang tentara Belanda mencoba mendekati tiang bendera, Arjuna menyerangnya dengan bambu runcing, menjatuhkan musuh itu ke tanah.

Namun, jumlah musuh terlalu banyak. Ketika Arjuna mencoba melawan seorang tentara, ia terkena tembakan di dadanya. Ia terjatuh di kaki tiang bendera, darah mengalir membasahi tanah.

Melihat Arjuna jatuh, warga desa semakin marah. Dengan seruan lantang, mereka menyerang musuh dengan semangat yang tak terbendung. Dalam waktu singkat, pasukan Belanda mundur, meninggalkan desa dalam kekalahan.

Di akhir pertempuran, warga desa berkumpul di balai desa. Mereka menemukan Arjuna masih memeluk tiang bendera, dengan senyum kecil di wajahnya.

“Bendera ini tetap berkibar,” bisiknya pelan sebelum mengembuskan napas terakhir.

Warga desa memakamkan Arjuna di bawah tiang bendera itu, sebagai penghormatan atas keberaniannya. Di batu nisannya tertulis:

"Di sini berbaring seorang pahlawan, yang menyerahkan nyawanya agar Merah Putih tetap berkibar di tanah merdeka."

Kisah Arjuna menyebar ke seluruh penjuru negeri, menjadi simbol keberanian rakyat kecil yang tak gentar melawan penjajahan. Di Desa Karangjati, bendera itu tetap berkibar, mengingatkan semua orang bahwa kemerdekaan diperoleh dengan darah dan nyawa mereka yang berani.