man 3 bantul MAN 3 BANTUL

Cerpen 2

BARA DI SENJA GUNUNG KETUR
Karya: Ris Mulyati Sholikhatul Muslimah

Di jantung kota Yogyakarta , di sebuah perumahan elite bernama Gunung Ketur hiduplah sepasang keluarga Pak Narto dan Bu Narti. Di perumahan mewah Gunung Ketur, yogyakarta, berdiri megah tiga rumah mewah. Ketiganya milik Pak Narto, keluarga Pak Narto dan Bu Narti hidup bergelimang harta. Pak Narto, kontraktor sukses, selalu sibuk dengan proyeknya. Bu Narti, wanita anggun, sibuk bekerja di sebuah padepokan seni. Mereka dikaruniai tiga anak: Aji, Risti, dan Bagas.

"Ayah, aku ingin mobil baru," pinta Aji suatu sore.
"Tentu, Nak. Apa pun untuk anak Ayah," jawab Pak Narto sambil tersenyum.
"Ibu, teman-teman Risti sudah punya tas bermerek semua," rengek Risti di lain waktu.
"Iya, Sayang. Nanti Ibu belikan yang paling bagus," timpal Bu Narti tanpa mengalihkan pandangan dari pekerjaannya. Begitu juga anak pak Narto yang bungsu juga ikut-ikutan merengek minta sesuatu.

"Ayah, belikan aku motor baru, ya?" pinta Bagas yang masih sekolah di SMP.
"Tentu, Nak. Pilih saja yang kamu suka," jawab Pak Narto sambil melirik anak bungsunya.

Begitulah keseharian keluarga Pak Narto. Kemewahan dan kemudahan seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidup mereka. Namun, di balik cerita rumah mewah itu, ada sesuatu yang hilang.

"Ibu, aku ingin ikut les vokal seperti teman-temanku," rengek Risti di lain waktu.
"Iya, Sayang. Nanti Ibu daftarkan," timpal Bu Narti tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

Keluarga Pak Narto hidup dalam kemewahan, namun hampa. Anak-anak mereka tumbuh menjadi individualistis, tak peduli dengan lingkungan sekitar. Suatu hari, Pak Narto melihat adiknya, Bambang, termenung Sendiri di taman dekat rumah mereka.

"Bambang, dari tadi aku perhatikan kamu termenung terus. Ada apa?" sapa Pak Narto.
Bambang terkejut dan mengalihkan pandangannya ke taman. "Tidak apa-apa, Mas," jawabnya.
Hati Pak Narto berkecamuk. Ia merasa ada kesedihan yang tersembunyi di mata adiknya. Mungkin karena Bambang belum memiliki anak, pikirnya. Suatu hari, Pak Narto mengadopsi seorang bayi yang diberi nama Bio. Ia bermaksud memberikan bayi itu kepada Bambang.

"Bambang, tolong rawat Bio, ya. Kasihan dia," pinta Pak Narto.
"Maaf, Mas. Aku tidak sanggup," tolak Bambang.
"Aku takut tidak bisa memberinya yang terbaik dan tidak bisa membahagiakan Bio kelak jika sudah remaja."

Karena Bambang menolak, Bio akhirnya diasuh sendiri oleh Pak Narto dan Bu Narti. Meskipun awalnya ada rasa cemburu, anak-anak Pak Narto lama-lama menyayangi Bio karena ia tumbuh menjadi anak yang cakep dan menggemaskan. Waktu berlalu, Bu Narti mulai sakit-sakitan. Suatu hari, Yogyakarta dilanda gempa bumi yang amat dahsyat. Gempa ini meluluhlantakkan banyak bangunan,dan menelan ribuan nyawa, termasuk rumah Nina, pacar Aji. Rumah Nina hancur lebur rata dengan tanah. Aji tidak tega melihat Nina tidur di bawah tenda.

"Nina, kamu tinggal di rumahku saja, ya," ajak Aji.
"Tapi, Aji..." Nina ragu.
"Sudah, tidak apa-apa. Ayah punya banyak rumah, kok," kata Aji enteng.
Maka dengan senang hati Nina pindah ke rumah Aji yang megah itu.

Dalam hati Nina bergumam, "Hem, beruntunglah aku yang dikaruniai paras cantik sehingga aku bisa naik derajat menjadi bagian dari keluarga paling kaya di perumahan Gunung Ketur ini."

Nina pun tinggal di rumah Aji sampai berbulan-bulan lamanya bahkan sampai setahun lebih. Kepindahan Nina di rumah Pak Narto tentu saja membuat tetangga bergunjing. Pak Narto yang kurang tegas dengan kelakuan anaknya itu lama-lama dicibir banyak orang karena tidak bisa menjadi orang tua yang bijak. Namun, Pak Narto tetap melindungi Nina untuk tinggal di rumah mereka. Suatu hari, tiba-tiba Pak Narto menikahkan pembantunya dengan sopirnya, lalu dibangunkan rumah kecil di halaman belakang rumahnya. Dengan dalih Nina kalau malam hari tidurnya di rumah pembantu mereka. Meski demikian, para tetangga tetap saja dibuat tidak nyaman karena takut kalau nanti perilaku Aji dengan Nina yang tinggal serumah itu ditiru oleh remaja-remaja di perumahan Gunung Ketur ini. Seperti biasa, Pak Narto beraktivitas menekuni pekerjaannya. Namun tak lama kemudian, Pak Narto meninggal dunia tanpa diketahui penyebabnya. Hampir semua tetangga, sanak saudara, dan kerabatnya tidak percaya kalau Pak Narto meninggal dunia karena ia tidak sakit dan terlihat sehat badannya. Seiring berjalannya waktu, sampailah pada peringatan 40 hari meninggalnya Pak Narto. Di rumah Pak Narto, banyak tetangga yang membantu menyiapkan makanan untuk persiapan tahlilan peringatan meninggalnya Pak Narto. Namun, tiba-tiba terdengar suara jeritan sambil memanggil-manggil ibunya. Sontak tetangga yang sibuk di dapur lari menghampiri Risti yang menangis sekencang-kencangnya, menangisi Bu Narti yang meninggal dunia pas bertepatan 40 hari meninggalnya Pak Narto.
"Ayah... Ibu..." Aji, Risti, dan Bagas menangis pilu.
Melihat kejadian itu, para tetangga tidak sampai hati. Apalagi tak lama kemudian Risti jatuh pingsan tepat di sebelah jenazah ibunya. Dan pada pagi harinya, jenazah Bu Narti dimakamkan. Bio, anak angkatnya, tak henti-hentinya menangisi kepergian Bu Narti sambil memeluk pusara Bu Narti.

"Ibu... sekarang Bio tidak punya siapa-siapa lagi," isaknya. Bio tidak mau beranjak dari makam Bu Narti meski sudah dibujuk untuk diajak pulang.
Kini, mereka menjadi yatim piatu, yang hidup bersama pembantu dan sopir mereka. Gaya hidup mereka berubah drastis. Suatu hari, Risti sakit parah.
"Bi, Risti panas tinggi," kata Bagas panik.
"Kita bawa ke dokter, yuk," ajak Aji.
"Uang dari mana?" tanya Bi Inah sedih. "Kita hanya mengandalkan kiriman dari saudara kalian."
Risti terbaring lemah di kamarnya, tubuhnya kian kurus setelah tiga bulan sakit. Bi Ijah, dengan telaten, merawatnya. Sore itu, Bi Ijah hendak memberikan obat pada Risti. Namun, tiba-tiba suara ledakan keras dari kamar sebelah mengejutkan mereka. Api tiba-tiba menyembur, memercikkan api ke segala arah.
"Tolong! Api!" teriak Risti panik. Suara Risti yang lemah berubah menjadi teriakan histeris. Dengan susah payah, Risti berusaha keluar dari kamarnya. Kakinya yang masih lemah terasa seperti tidak bisa digerakkan. Namun, dia tidak menyerah. Kobaran api semakin membesar, melalap bangunan megah rumah Pak Narto.
"Ya Allah! Kebakaran!" teriak Bi Ijah histeris. "Risti, ayo kita keluar!"
Tetangga-tetangga yang rumahnya berdekatan dengan rumah Pak Narto panik. Mereka berhamburan keluar, berusaha menyelamatkan barang-barang berharga mereka. Asap hitam mengepul ke langit, dan bau hangus menyengat hidung.
"Cepat! Amankan barang-barang penting!" teriak seorang tetangga.
"Api itu bisa merambat ke rumah kita!" sahut yang lain.
Tak lama kemudian, suara sirine mobil pemadam kebakaran meraung-raung. Mobil-mobil pemadam kebakaran tiba di lokasi, dan petugas pemadam kebakaran dengan sigap menyemprotkan air ke seluruh bangunan yang terbakar.
"Awas! Jaga jarak!" teriak seorang petugas pemadam kebakaran.
Tetangga-tetangga ikut membantu memadamkan api dengan peralatan seadanya. Mereka membawa ember berisi air dan berusaha memadamkan api yang masih menyala.
Setelah beberapa jam berjuang melawan api, akhirnya kobaran api berhasil dipadamkan. Namun, pemandangan yang tersisa sangat mengenaskan. Rumah Pak Narto rata dengan tanah, dan abu serta puing-puing berserakan di mana-mana.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," gumam seorang tetangga.
Semua mata tertuju pada Risti yang berdiri dengan wajah pucat pasi. Kondisinya sangat memprihatinkan. Tubuhnya kurus kering, nyaris menyerupai tengkorak hidup.
"Ya Allah, Risti..." bisik seorang tetangga dengan mata berkaca-kaca.
"Kasihan sekali Risti," sahut yang lain.
Melihat kondisi Risti yang memprihatinkan, para tetangga akhirnya berinisiatif untuk membantu. Mereka mengumpulkan bantuan berupa makanan, pakaian, dan obat-obatan. Untuk sementara, Risti diasuh oleh saudaranya sampai kondisinya membaik.
"Alhamdulillah, Risti sudah sehat," kata Bi Ijah suatu hari.
"Iya, Bi. Tapi kasihan mereka hidup serba kekurangan," timpal seorang tetangga.
"Semoga mereka selalu diberikan kemudahan," sahut yang lain.
Kehidupan terus berjalan. Meskipun sulit, keluarga Pak Narto dan Risti berusaha untuk bangkit dari keterpurukan. Mereka saling membantu dan menyemangati satu sama lain. Kebakaran itu telah merenggut banyak hal dari mereka, tetapi tidak dengan semangat dan harapan mereka untuk masa depan yang lebih baik.
"Risti, ada lowongan PNS di Pemda nih. Kamu minat?" tanya Ani, teman Risti, suatu siang.
"PNS? Serius? Kebetulan banget aku lagi cari kerja yang bisa menjamin masa depanku kelak kalua sudah tua. Gimana caranya?" Risti tampak antusias.
"Gampang! Kamu bikin lamaran, CV, terus ikut tesnya. Nanti aku bantu kasih info lebih lanjut," jawab Ani.
Risti segera menyiapkan berkas lamaran dan CV. Dengan semangat, ia mengikuti tes CPNS. Beberapa minggu kemudian, pengumuman hasil tes keluar.
"Kak, aku keterima jadi PNS!" teriak Risti girang saat bertemu kakak iparnya.
"Wah, selamat ya Risti! Kerja yang rajin, semoga sukses selalu," kata kakak iparnya sambil tersenyum bangga.
"Iya, Kak. Makasih banyak atas dukungannya selama ini," balas Risti.
Risti sangat senang dan bersyukur atas rezeki yang diterimanya. Ia berjanji akan bekerja dengan sungguh-sungguh dan memberikan yang terbaik untuk masyarakat.
"Wah, hebat! Selamat ya, Ris. Kapan berangkat?" tanya Nina lagi.
"Mungkin bulan depan," jawab Risti. "Tapi, aku sedih ninggalin kalian."
"Nggak papa, Ris. Ini kan demi kebaikanmu juga," hibur Nina. "Yang penting, kita tetap komunikasi ya."
Setelah kepergian Risti ke Kalimantan, kehidupan keluarga Pak Narto semakin sepi. Aji dan Nina hidup pas-pasan. Aji bekerja beternak ayam, sementara Nina bekerja di kantor percetakan.
"Mas, ayamnya kok pada sakit ya?" tanya Nina suatu hari.
"Iya nih, aku juga bingung," jawab Aji khawatir. "Kalau banyak yang mati, kita bisa rugi besar."
"Coba cari tahu penyebabnya, Mas. Siapa tahu ada obatnya," saran Nina.
Aji pun mencari informasi tentang penyakit ayam. Ia bertanya pada teman-temannya yang juga beternak ayam, membaca buku tentang peternakan, dan mencari informasi di internet.
Sementara itu, di Kalimantan, Risti bekerja keras sebagai PNS. Ia ingin membuktikan bahwa ia bisa sukses meskipun berasal dari keluarga yang mengalami banyak cobaan.
"Ris, kamu kok rajin banget sih kerjanya?" tanya teman kantornya suatu hari.
"Aku harus semangat, biar bisa sukses," jawab Risti. "Aku ingin membahagiakan keluargaku."
"Wah, hebat kamu, Ris," puji teman kantornya. "Semoga kamu berhasil ya."
Waktu terus berjalan. Risti semakin sukses di Kalimantan. Ia bahkan sudah menikah dan memiliki seorang anak. Suatu hari, Risti mendapat kabar dari kampung halamannya. Adiknya, Bagas, baru saja menyelesaikan kuliahnya. Risti teringat akan masa kecil mereka yang penuh suka dan duka. Ia ingin memberikan kesempatan yang sama kepada adiknya untuk meraih kesuksesan. Risti kemudian menghubungi Bagas dan menawarkan untuk tinggal bersamanya di Kalimantan. Bagas yang masih bingung mencari pekerjaan, tentu saja sangat senang dengan tawaran kakaknya. Ia pun segera mengemasi barang-barangnya dan berangkat menuju Kalimantan. Di Kalimantan, Risti membantu Bagas untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan kemampuannya. Risti juga mengenalkan Bagas dengan teman-teman dan relasinya. Bagas pun merasa sangat terbantu dan bersemangat untuk memulai kehidupan barunya di Kalimantan. Beberapa bulan kemudian, Bagas iseng-iseng mendaftar kuliah S2 di Kanada. Berkat kegigihannya, akhirnya Bagas diterima di salah satu perguruan tinggi ternama dengan beasiswa penuh.

"Kak Risti... aku keterima masuk di perguruan tinggi dengan beasiswa!" teriak Bagas girang saat menerima pengumuman.
Risti yang mendengar kabar dari Bagas pun spontan duduk dan sujud syukur. Ia tidak menyangka bahwa adiknya akan meraih kesuksesan yang begitu besar.
"Alhamdulillah, Bagas. Kakak bangga banget sama kamu," kata Risti sambil memeluk adiknya.
"Ini semua berkat dukungan Kakak juga. Makasih banyak ya, Kak," balas Bagas dengan terharu.
Risti dan Bagas pun merayakan keberhasilan ini dengan makan malam bersama keluarga. Mereka sangat bersyukur atas rezeki yang diberikan oleh Tuhan.
"Halo, Mbak! Apa kabar?" sapa Risti suatu hari di telepon.
"Baik, Ris. Kamu apa kabar? Gimana anakmu?" tanya Nina.
"Baik juga, Mbak. Anakku sehat," jawab Risti. "Mbak sama Mas Aji apa kabar?"
"Baik juga, Ris. Mas Aji masih beternak ayam, aku masih kerja di percetakan," jawab Nina.
"Syukurlah kalau begitu," ucap Risti. "Oh ya, Mbak. Aku mau cerita sesuatu."
"Cerita apa?" tanya Nina penasaran.
"Adik kita, Bagas, dapat beasiswa kuliah di Kanada," kata Risti senang.
"Wah, hebat! Selamat ya buat Bagas," ucap Nina. "Kapan dia berangkat?"
"Mungkin bulan depan," jawab Risti. "Dia senang banget dapat kesempatan kuliah di Kanada."
Setelah lulus kuliah di Kanada, Bagas langsung mendapat pekerjaan di sana dengan gaji besar per bulan 45 juta. Beberapa tahun kemudian, Bagas juga meraih kesuksesan di Kanada. Ia bahkan sudah memiliki rumah sendiri dan sebuah mobil. Risti sangat bangga dengan adiknya. Ia bersyukur bisa membantu adiknya untuk meraih kesuksesan. Risti dan Bagas pun hidup Bahagia menikmati kesuksesannya. Mereka saling mendukung dan menyayangi satu sama lain. Risti selalu berpesan kepada Bagas untuk tidak pernah melupakan kampung halaman dan keluarganya. Ia juga berpesan agar Bagas selalu rendah hati dan suka membantu sesama. Namun sayangnya, Bagas tidak pernah pulang kampung.

"Ris, kenapa Bagas nggak pernah pulang ya?" tanya Nina suatu hari di telepon.
"Aku juga nggak tahu, Mbak," jawab Risti sedih. "Padahal, kita kangen banget sama dia."
"Semoga saja dia baik-baik saja ya, Ris," ucap Nina.
"Iya, Mbak. Semoga saja," jawab Risti.
Kehidupan terus berjalan. Keluarga Pak Narto dan Risti terus berjuang untuk meraih kebahagiaan. Meskipun banyak cobaan yang mereka hadapi, mereka tetap saling menyayangi dan mendukung satu sama lain. Waktu terus bergulir. Bio, anak angkat Pak Narto, kini telah tumbuh menjadi remaja. Sayangnya, kehidupannya tidak seberuntung yang dibayangkan. Ia tinggal bersama Bambang, adik Pak Narto, yang hidup serba kekurangan. Bambang hanya bekerja di PAM (Perusahaan Air Minum) dengan gaji yang tidak seberapa. Bio, yang memiliki paras tampan dan tubuh atletis, lama-lama menjadi anak pendiam karena kebutuhan hidupnya tidak pernah terpenuhi. Ia bahkan harus mencuri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bio juga terjerumus ke dalam lingkaran sindikat bandar narkoba. Suatu malam, dua polisi mengintai rumah Bio. Mereka curiga karena banyak tamu yang datang berkunjung ke rumah Bio setiap harinya. Setelah beberapa hari mengintai, polisi akhirnya mengepung rumah Bio dan menangkap basah Bio dan tamunya yang sedang melakukan transaksi narkoba.

"Angkat tangan! Kalian dikepung!" teriak seorang polisi.
Bio dan tamunya tidak bisa berkutik. Mereka pasrah saat polisi menggeledah rumah mereka dan menemukan sejumlah narkoba.
"Kalian sudah melanggar hukum. Kalian akan kami bawa ke kantor polisi," kata polisi tegas.
Bio dan tamunya digiring ke kantor polisi untuk dimintai pertanggungjawaban. Setelah melalui proses penyidikan, Bio akhirnya divonis penjara seumur hidup.
Kabar tentang penangkapan Bio sampai ke telinga Risti. Ia sangat terkejut dan sedih mendengar berita tersebut.
"Bio bagaimana?" tanya Risti suatu hari kepada Pak Joko, sopir ayahnya almarhum pak Narto yang sempat mengasuhnya waktu itu.
"Dia... ditangkap polisi," jawab Pak Joko dengan nada prihatin. "Dia jadi bandar narkoba."
"Ya Tuhan..." Risti menggelengkan kepala tidak percaya. "Kenapa bisa seperti ini?"
"Mungkin dia frustrasi dengan kehidupannya yang serba kekurangan, Ris," jawab Pak Joko. "Dia tidak punya siapa-siapa lagi setelah orang tua kalian meninggal."
Risti terdiam. Ia merasa bersalah karena tidak bisa membantu Bio. Ia juga menyesal karena dulu tidak menerima Bio sepenuhnya sebagai bagian dari keluarganya.
Senja di Gunung Ketur menjadi saksi bisu kehidupan keluarga Pak Narto. Mereka punya segalanya, namun kehilangan kehangatan keluarga dan nilai-nilai luhur. Anak-anak mereka tumbuh menjadi orang-orang yang egois dan tidak peduli dengan sesama.
"Ini semua salahku," gumam Risti menyesal. "Aku terlalu fokus dengan kehidupanku sendiri sampai melupakan keluarga."
"Sudahlah, Ris. Ini sudah terjadi," hibur Pak Joko. "Kita harus mengambil pelajaran dari kejadian ini."

Risti mengangguk. Ia berjanji akan memperbaiki kesalahannya dan akan lebih peduli dengan keluarganya. Ia juga akan berusaha membantu Bio agar bisa kembali ke jalan yang benar. Bara di senja Gunung Ketur menjadi pengingat tentang pentingnya keseimbangan dalam hidup. Bahwa kebahagiaan tidak hanya bisa didapatkan dari kemewahan dan kekayaan, tetapi juga dari kehangatan keluarga dan nilai-nilai luhur. Senja di Gunung Ketur menjadi saksi bisu kehidupan keluarga Pak Narto. Mereka punya segalanya, namun kehilangan kehangatan keluarga dan nilai-nilai luhur. Bara di senja Gunung Ketur menjadi pengingat tentang pentingnya keseimbangan dalam hidup.