DARK ROSE
(bagian pertama)
Karya: Siti Aulia Chairunnisa
BAB PENGENALAN
Reagan Kalvin Arshaka Antariksa
Umur: 18 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Sains dan Teknologi
Hobi: Menganalisis psikologi manusia, melakukan eksperimen mental terhadap orang lain
Kesukaan: Senyuman tipis di wajah orang yang terjebak dalam manipulasi
Peran: Pemimpin yang karismatik namun memiliki sisi gelap. Ia cerdas, manipulatif, dan sangat terampil membaca orang lain.
Reagan adalah sosok yang memikat dan penuh teka-teki. Di balik pembawaannya yang tenang dan karisma alaminya, ia menyimpan sisi gelap: kegemarannya mengamati reaksi manusia dalam situasi ekstrim. Ia sering menggunakan kecerdasannya untuk memanipulasi situasi dan orang disekitarnya, membuatnya menjadi pemimpin yang sulit diprediksi.
Naka Rahardian
Umur: 17 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Seni Rupa dan Desain
Hobi: Melukis mural, fotografi
Kesukaan: Pancake dengan sirup maple
Peran: Sahabat setia Reagan yang selalu memberikan warna dalam setiap situasi. Kreatif, ceria, dan spontan.
Naka adalah sosok yang ramah dan memiliki jiwa seni tinggi. Ia sering menjadi penghubung antara anggota kelompok yang lain ketika suasana menjadi tegang. Tanpa sadar, ia sering menjadi "objek eksperimen" Reagan, yang diam-diam mempelajari sifat manusia melalui tingkah lakunya.
Nevan Sanjaya
Umur: 18 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Teknologi Informatika
Hobi: Bermain game strategi, meretas sistem keamanan
Kesukaan: Kopi hitam dan malam yang sunyi
Peran: Ahli strategi dan teknologi dalam kelompok. Pendiam, analitis, dan sangat fokus.
Nevan adalah otak di balik setiap rencana kelompok. Ia adalah satu-satunya yang mencurigai sifat asli Reagan, tetapi memilih untuk diam karena kekagumannya pada kemampuan Reagan dalam memimpin dan membaca situasi.
Kelompok ini terbentuk saat sebuah proyek sekolah mempertemukan mereka. Namun, di balik interaksi mereka, bayang-bayang ambisi Reagan mulai mempengaruhi arah hubungan mereka. Sifat manipulatif Reagan perlahan menarik anggota kelompok ke dalam permainan
psikologis yang ia ciptakan sendiri, mengubah dinamika kelompok menjadi sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar pertemanan.
Di Akademi Elitedria, sekolah bergengsi yang dikenal mencetak para calon pemimpin masa depan, terdapat kelompok siswa dengan kepribadian yang sangat beragam. Mereka adalah individu-individu yang istimewa, namun di balik keistimewaan itu tersimpan rahasia dan keunikan masing-masing. Selain Reagan, Naka, dan Nevan, ada beberapa anggota lain yang tak kalah menarik.
Nathan Pratama
Umur: 18 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Hukum dan Politik
Hobi: Debat, membaca buku sejarah
Kesukaan: Pizza dengan topping daging sapi
Peran: Sosok yang kritis dan suka berargumen. Ia sering menjadi oposisi terhadap ide-ide Reagan, membuat hubungan mereka penuh ketegangan.
Nathan adalah siswa yang ambisius dan sangat percaya pada keadilan. Namun, ia sering merasa terintimidasi oleh aura Reagan. Meski begitu, Nathan tidak pernah takut untuk menantang keputusan Reagan, membuatnya menjadi lawan bicara yang menarik namun rentan terjebak dalam permainan Reagan.
Aksa Ganendra
Umur: 17 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Teknik Mesin
Hobi: Merakit robot, memodifikasi kendaraan
Kesukaan: Burger dan olahraga ekstrim
Peran: Sosok praktis dalam kelompok. Ia selalu berpikir logis dan menjadi eksekutor yang andal dalam rencana kelompok.
Aksa adalah tipe orang yang lebih suka bertindak daripada berbicara. Meski tidak terlalu peduli pada permainan psikologis Reagan, ia menghormati kecerdasan Reagan dan sering terlibat dalam aksi-aksi berbahaya yang direncanakan kelompok.
Devano Farez Abimanyu
Umur: 18 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Kedokteran
Hobi: Membaca buku medis, bermain gitar
Kesukaan: Es krim coklat
Peran: "Dokter kelompok" yang selalu peduli pada kesehatan fisik dan mental teman-temannya. Ia memiliki sifat penyayang dan menjadi penyeimbang dalam dinamika kelompok.
Devano adalah individu yang lembut hati, sering menjadi tempat curhat teman-temannya. Namun, ia tidak pernah menyadari bahwa Reagan diam-diam memanfaatkan kebaikannya untuk keuntungan kelompok.
Xavier Queenna Veronika Roselind
Umur: 18 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Bisnis dan Manajemen
Hobi: Berbelanja, menulis blog fashion
Kesukaan: Kopi susu dan film romantis
Peran: Sosok yang glamor dan perfeksionis, sering menjadi pengatur strategi hubungan sosial dalam kelompok.
Xavier adalah gadis yang cerdas dan penuh perhitungan. Meski terlihat seperti gadis sosialita yang dangkal, ia memiliki kemampuan analisis yang tajam, membuatnya menjadi sekutu penting bagi Reagan.
Fiona Cattleya
Umur: 17 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Sastra dan Bahasa
Hobi: Menulis puisi, membaca novel klasik
Kesukaan: Teh hijau dan hujan
Peran: Sosok pendiam yang penuh dengan imajinasi dan sering menjadi pengamat diam dalam kelompok.
Fiona adalah gadis yang jarang berbicara, tetapi selalu memperhatikan segala hal di sekitarnya. Ia sering merasa ada sesuatu yang aneh tentang Reagan, tetapi memilih untuk menyimpan kecurigaannya.
Vara Yunnezza
Umur: 17 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Psikologi
Hobi: Membaca buku psikologi, mendengarkan musik klasik
Kesukaan: Kue keju dan aroma lilin aromaterapi
Peran: Ahli psikologi dalam kelompok yang sering digunakan Reagan untuk memahami lebih dalam tentang sifat manusia.
Vara adalah salah satu anggota yang secara tidak langsung mendukung sifat manipulatif Reagan karena ketertarikannya terhadap psikologi manusia. Ia senang mempelajari cara Reagan mempengaruhi orang lain, tanpa sadar bahwa ia pun adalah bagian dari permainan itu.
Rosalia Aguilera
Umur: 18 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Jurnalistik
Hobi: Menulis artikel, memotret
Kesukaan: Kopi latte dan sunrise
Peran: Wartawan kelompok yang selalu ingin mencari tahu apa pun. Ia sering kali menemukan petunjuk penting yang membantu kelompok.
Rosalia adalah gadis yang penuh rasa ingin tahu. Namun, sifat ingin tahunya sering kali membuatnya masuk ke situasi berbahaya, terutama ketika ia mulai mencurigai motif Reagan.
Clarissa Margatha
Umur: 17 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Biologi
Hobi: Mengeksplorasi alam, memelihara tanaman
Kesukaan: Smoothie buah dan hiking
Peran: Pecinta alam yang sering membawa kelompok ke tempat-tempat tersembunyi untuk menemukan inspirasi atau melarikan diri dari tekanan.
Clarisa adalah gadis yang sangat mencintai alam. Ia sering menjadi pembawa kedamaian dalam kelompok, tetapi ia pun tidak luput dari pengaruh Reagan.
---
Ruby Nathalie
Umur: 18 tahun
Sekolah: Akademi Elitedria, jurusan Kriminologi
Hobi: Membaca kasus kriminal, memecahkan teka-teki
Kesukaan: Brownies coklat dan malam yang sunyi
Peran: Detektif kelompok yang sering menjadi rival Reagan dalam permainan psikologis.
Ruby adalah satu-satunya yang benar-benar dapat membaca langkah Reagan. Namun, ketertarikan Ruby terhadap sifat manipulatif Reagan membuatnya terjebak dalam tarik-ulur hubungan yang rumit.
BAB I Pertemuan yang Tak Terduga
Akademi Elitedria berdiri megah di atas bukit, dengan arsitektur klasik yang memancarkan kesan aristokrat. Sekolah ini tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga simbol status sosial. Hanya mereka yang terpilih—baik karena kecerdasan, kekayaan, atau keduanya—yang bisa menjejakkan kaki di sana. Gedung utama sekolah ini seperti istana, dihiasi kaca patri besar yang memantulkan cahaya matahari pagi dengan warna-warna pelangi.
Di tempat inilah cerita dimulai, dengan dua belas siswa yang memiliki kepribadian, ambisi, dan rahasia yang saling bertolak belakang. Mereka dipertemukan dalam sebuah proyek
penelitian misterius yang tak hanya akan menguji kecerdasan mereka, tetapi juga mengungkap sisi tergelap dari masing-masing individu.
---
Reagan Kalvin Arshaka Antariksa
Reagan duduk di deretan bangku paling belakang, memandang ke luar jendela kelas sambil mengetukkan pena ke meja. Wajahnya tenang, nyaris tidak menunjukkan emosi apapun, namun pikirannya berputar cepat, seperti roda gigi yang tak pernah berhenti berputar.
Dia menyukai posisi ini—di mana ia bisa mengamati semua orang tanpa terlihat mencolok. Setiap gerakan kecil, setiap ekspresi wajah, setiap nada suara yang berubah—semuanya adalah data yang ia kumpulkan dan analisis dengan presisi. Baginya, manusia hanyalah teka-teki yang menunggu untuk dipecahkan. Dan lebih dari itu, ia menikmati sensasi saat berhasil mengontrol mereka.
Reagan tidak pernah menganggap hobinya sebagai sesuatu yang salah. Bagi sebagian orang, mungkin itu terdengar mengerikan, tetapi bagi Reagan, itu hanyalah cara lain untuk memahami dunia.
"Reagan, kau mendengar soal proyek penelitian baru itu?" tanya Naka Rahardian, yang duduk di sebelahnya.
Naka adalah sahabat terdekat Reagan, atau setidaknya itulah yang Naka pikirkan. Dengan rambut acak-acakan dan sikap ceria, Naka adalah kebalikan sempurna dari Reagan. Ia selalu membawa energi positif ke mana pun pergi, meskipun seringkali ia menjadi target eksperimen mental Reagan.
"Ya," jawab Reagan singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. "Proyek itu menarik."
Naka tertawa kecil. "Menarik? Itu kedengarannya seperti sesuatu yang membuatmu bersemangat. Kau punya rencana besar lagi, ya?"
Reagan hanya tersenyum tipis. Naka tidak tahu separuh dari apa yang ia pikirkan.
---
Nevan Sanjaya
Di pojok kelas, Nevan Sanjaya mengetik sesuatu di laptopnya. Jarinya bergerak cepat, menari di atas keyboard seperti seorang pianis. Di layar, deretan kode memenuhi halaman, dan wajah Nevan tampak serius.
Nevan adalah ahli teknologi di kelompok itu. Ia pendiam, hampir tidak pernah terlibat dalam obrolan ringan, tetapi setiap orang tahu bahwa di balik sikap dinginnya, ada otak yang luar biasa cerdas.
Saat Reagan berjalan mendekatinya saat istirahat, Nevan tidak mengangkat pandangannya. "Apa yang kau inginkan, Reagan?" tanyanya, suaranya datar.
"Aku hanya ingin memastikan kau bergabung dalam proyek ini," jawab Reagan. "Kita butuh seseorang yang bisa mengendalikan teknologi."
Nevan mendongak, menatap Reagan dengan mata tajam. "Aku akan ikut. Tapi hanya karena aku tertarik pada tantangan, bukan karena kau memintaku."
Reagan tersenyum kecil. "Tentu saja."
---
Nathan Pratama
Di sisi lain kelas, Nathan Pratama sedang berdebat sengit dengan seorang guru tentang interpretasi sebuah kasus hukum. Nathan selalu kritis, selalu mempertanyakan segalanya. Ia adalah siswa yang dikenal berani menentang otoritas, bahkan jika itu berarti membuat dirinya dalam masalah.
Ketika Reagan mengamati Nathan, ia melihat potensi yang besar—dan tantangan yang lebih besar. Nathan bukan tipe orang yang bisa dimanipulasi dengan mudah. Namun, itu hanya membuat Reagan semakin tertarik.
"Jadi, Nathan," kata Reagan sambil duduk di bangku di depannya. "Apa pendapatmu tentang proyek ini?"
Nathan mendengus. "Aku tidak tahu. Tapi aku yakin akan banyak drama seperti biasa."
Reagan tertawa pelan. "Mungkin. Tapi bukankah drama yang membuat hidup lebih menarik?"
Nathan memandang Reagan dengan curiga, tetapi tidak berkata apa-apa lagi.
---
Aksa Ganendra dan Devano Farez Abimanyu
Di halaman belakang sekolah, Aksa Ganendra dan Devano Farez Abimanyu sedang bercanda sambil memodifikasi sebuah drone kecil yang mereka bawa.
"Aku bilang, kita tambahkan kamera termal di sini," kata Aksa, menunjuk salah satu bagian drone.
"Dan aku bilang, itu berlebihan," balas Devano sambil tertawa. "Kita tidak sedang membuat alat untuk agen rahasia."
Reagan berjalan mendekati mereka, tangannya dimasukkan ke dalam saku. "Kalian berdua terlihat sibuk," katanya.
"Kami hanya bermain-main," jawab Aksa santai.
"Bagus," kata Reagan. "Aku ingin kalian bergabung dalam proyek ini. Aku yakin keterampilan kalian akan sangat berguna."
Devano mengangkat alis. "Proyek apa?"
"Proyek yang akan mengubah cara kita memandang dunia," jawab Reagan, senyumnya penuh arti.
---
Xavier, Fiona, dan yang Lainnya
Di aula seni, Xavier Queenna Veronika Roselind, Fiona Cattleya, dan Vara Yunnezza sedang berdiskusi tentang desain sebuah instalasi seni untuk festival sekolah. Xavier dengan gaya glamornya mendominasi pembicaraan, sementara Fiona lebih banyak mendengarkan, mencatat ide-ide yang muncul. Vara, dengan pengetahuan psikologinya, memberikan masukan yang mendalam tentang bagaimana seni dapat mempengaruhi emosi penonton.
Ketika Reagan muncul di aula, mereka semua berhenti berbicara. Reagan selalu memiliki kemampuan untuk menarik perhatian, bahkan tanpa berusaha.
"Jadi ini kelompok kreatif kita?" tanyanya dengan nada main-main.
Xavier menyeringai. "Apa yang kau inginkan, Reagan?"
"Hanya ingin memastikan kalian bergabung dalam proyek ini," jawab Reagan. "Kreativitas kalian akan sangat penting."
Mereka semua saling bertukar pandang, tetapi akhirnya setuju. Tidak ada yang bisa menolak pesona Reagan.
---
Rosalia, Clarisa, dan Ruby
Di perpustakaan, Rosalia Aguilera, Clarissa Margatha, dan Ruby Nathalie sedang sibuk dengan buku-buku mereka. Rosalia meneliti artikel jurnalistik, Clarisa membaca buku tentang biologi tumbuhan, dan Ruby mempelajari sebuah kasus kriminal.
Reagan mendekati mereka, menatap buku yang sedang dibaca Ruby. "Kasus yang menarik," katanya.
Ruby menatapnya tajam. "Dan aku yakin kau punya sesuatu untuk dikatakan tentang itu."
"Aku hanya ingin memastikan kau bergabung dalam proyek ini," jawab Reagan.
Ruby tersenyum tipis. "Aku akan bergabung. Tapi hanya karena aku ingin melihat apa yang sebenarnya kau rencanakan."
Reagan tertawa kecil. "Kau akan mengetahuinya, Ruby. Cepat atau lambat."
---
Hari itu, proyek penelitian misterius diumumkan oleh kepala sekolah. Semua siswa diwajibkan membentuk kelompok untuk menyelesaikan sebuah studi tentang "dampak manusia terhadap lingkungan sosial dan emosional." Tidak ada yang tahu bahwa proyek ini akan menjadi awal dari serangkaian kejadian yang akan mengubah hidup mereka selamanya.
Dan di tengah semua itu, Reagan Kalvin Arshaka Antariksa sudah memulai rencananya. Ia tahu persis bagaimana memanfaatkan setiap orang di sekitarnya untuk mencapai tujuannya.
Ini bukan hanya tentang proyek sekolah. Ini tentang permainan yang jauh lebih besar.
Bab 2: Awal Dari Permainan
Proyek penelitian itu membuat kegaduhan di seluruh Akademi Elitedria. Setiap siswa berlomba-lomba mencari kelompok terbaik yang dapat membantu mereka memenangkan penghargaan utama: beasiswa penuh ke universitas terbaik di dunia. Namun, kelompok Reagan telah terbentuk sebelum pengumuman resmi. Tidak ada yang tahu bagaimana ia berhasil melakukannya, tetapi semua anggota setuju tanpa banyak pertanyaan.
Di ruang pertemuan sekolah, kelompok Reagan berkumpul untuk pertama kalinya. Sebuah ruangan besar dengan meja melingkar di tengahnya menjadi saksi bisu dari percakapan awal mereka.
Reagan Kalvin Arshaka Antariksa duduk di kursi paling ujung, memegang selembar dokumen proyek. Wajahnya tetap tenang, tetapi mata tajamnya memperhatikan setiap gerakan kecil dari teman-temannya.
“Aku rasa kita perlu menetapkan peran dulu,” katanya sambil memutar bolpoin di tangannya. “Kalau tidak, ini akan menjadi kekacauan.”
Nathan Pratama segera menyela. “Tunggu dulu, siapa yang memutuskan kau jadi pemimpin? Kita bahkan belum sepakat soal itu.”
Reagan tersenyum tipis. “Bukan soal siapa yang memutuskan, Nathan. Tapi soal siapa yang paling mampu mengarahkan.”
Nathan mendengus, tapi memilih untuk tidak memperpanjang argumen. Ia tahu Reagan sulit dikalahkan dalam debat seperti ini.
Xavier Queenna Veronika Roselind menyesap kopi susunya, matanya menatap penuh perhatian. “Oke, Reagan. Kalau kau sudah punya rencana, katakan saja. Aku lebih suka langsung bekerja daripada membuang waktu berdebat.”
“Baiklah,” Reagan membuka dokumen itu dan meletakkannya di tengah meja. “Proyek kita adalah meneliti bagaimana manusia merespons tekanan sosial dalam lingkungan yang terkendali. Kita akan menciptakan situasi tertentu dan mengamati bagaimana setiap individu bereaksi. Untuk itu, kita butuh eksperimen nyata.”
Ruby Nathalie menyipitkan matanya. “Eksperimen nyata? Maksudmu, kita akan mempermainkan orang lain?”
Reagan menatap Ruby dengan ekspresi penuh makna. “Bukan mempermainkan. Mengamati. Ini adalah studi ilmiah, Ruby. Kita butuh data asli.”
Vara Yunnezza mengangguk, tampak tertarik. “Aku setuju. Ini cara terbaik untuk memahami psikologi manusia. Tapi bagaimana kita memastikan eksperimen ini tidak melanggar aturan sekolah?”
“Biarkan aku yang urus itu,” kata Reagan. “Selama kita berhati-hati, tidak ada yang akan tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Fiona Cattleya, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. “Aku tidak yakin ini ide yang bagus. Bagaimana jika seseorang terluka—baik secara fisik maupun emosional?”
“Kalau kau takut, Fiona, kau bisa mundur,” jawab Aksa Ganendra dengan nada datar. “Tapi aku rasa kita semua di sini cukup dewasa untuk memahami konsekuensi dari pilihan kita.”
Fiona terdiam, menundukkan kepala. Di dalam hatinya, ia merasa tidak nyaman, tetapi ia juga tidak ingin menjadi satu-satunya yang mundur.
---
Hari Pertama Eksperimen
Rencana Reagan dimulai dengan sederhana: menguji bagaimana individu bereaksi terhadap tekanan kelompok. Target pertama mereka adalah seorang siswa pemalu bernama Elio, yang sering menjadi bahan ejekan di kelas.
Reagan membagi tugas dengan cermat. Xavier dan Nathan akan mendekati Elio, berpura-pura mengajaknya bergabung dalam kelompok belajar. Sementara itu, Nevan dan Ruby bertugas mengamati dari kejauhan, mencatat setiap detail interaksi. Devano dan Aksa bersiap di lokasi lain untuk mengatur situasi yang telah direncanakan.
Di ruang perpustakaan, Xavier dan Nathan memulai pendekatan mereka. “Elio, kami butuh seseorang yang pandai dalam matematika,” kata Xavier dengan senyuman manis. “Kudengar kau jenius dalam hal itu.”
Elio, yang biasanya menghindari kontak mata, tampak bingung tapi juga tersanjung. “Aku… aku tidak terlalu pintar. Tapi aku bisa mencoba membantu.”
Nathan menepuk pundaknya. “Bagus. Ayo kita mulai sekarang. Ada beberapa soal yang sulit, dan aku yakin hanya kau yang bisa menyelesaikannya.”
Sementara itu, di sudut ruangan, Nevan mengamati dengan teliti. “Dia terlihat gugup,” gumamnya pelan. “Tapi juga antusias. Ini menarik.”
“Dia terlalu mudah percaya,” tambah Ruby. “Ini akan jadi terlalu mudah.”
Ketika Elio mulai merasa nyaman, Reagan memberikan isyarat kepada Aksa melalui pesan singkat. Dalam sekejap, Aksa menjatuhkan tumpukan buku dari rak, menciptakan suara keras yang membuat Elio terkejut.
“Kau baik-baik saja, Elio?” tanya Xavier dengan nada khawatir.
Elio mengangguk, meski wajahnya tampak pucat. “Ya, aku hanya terkejut.”
Dari kejauhan, Reagan tersenyum tipis. “Reaksi pertamanya adalah ketakutan. Itu menarik,” gumamnya pada dirinya sendiri.
---
Konflik dalam Kelompok
Ketika eksperimen pertama selesai, kelompok itu berkumpul di ruang pertemuan untuk membahas hasilnya. Namun, suasana menjadi tegang ketika Ruby mulai mengkritik metode Reagan.
“Kau tahu, ini tidak benar,” katanya dengan nada tajam. “Kita memanipulasi seseorang hanya untuk melihat reaksinya. Apa kau tidak berpikir itu salah?”
Reagan menatap Ruby tanpa berkedip. “Salah atau tidak, itu tergantung sudut pandang. Kita di sini untuk belajar, Ruby. Kalau kau tidak nyaman, kau bebas pergi.”
Nathan, yang sejak awal skeptis terhadap Reagan, menambahkan. “Aku setuju dengan Ruby. Kita bisa melakukan ini dengan cara yang lebih etis.”
“Etika itu relatif,” balas Reagan. “Jika kita terlalu terikat pada aturan, kita tidak akan pernah mencapai hasil yang signifikan.”
Diskusi itu berubah menjadi perdebatan sengit, dengan sebagian kelompok mendukung Reagan dan sisanya mulai meragukannya. Namun, meski ada perbedaan pendapat, tidak ada yang berani benar-benar meninggalkan kelompok. Mereka semua tahu bahwa proyek ini adalah kesempatan besar—dan Reagan adalah kunci untuk memenangkan penghargaan utama.
To be continued…
ari Kedua Eksperimen
Ruang kelas terasa lebih ramai dari biasanya, mungkin karena semua orang sibuk membahas proyek penelitian masing-masing. Tapi bagi kelompok Reagan, suasana hari itu lebih dari sekadar tekanan akademis. Itu adalah awal dari langkah kedua eksperimen mereka.
Reagan duduk dengan santai di kursinya, dikelilingi oleh teman-temannya yang tampak sibuk berdiskusi. Namun, seperti biasa, dia tidak benar-benar terlibat dalam pembicaraan itu. Dia hanya mendengarkan—mengamati setiap kata, setiap nada suara, setiap ekspresi wajah.
"Kita harus meningkatkan skala eksperimen ini," kata Nathan sambil mengetuk meja dengan ujung jarinya. "Apa yang kita lakukan kemarin terlalu kecil untuk memberikan hasil yang signifikan."
"Aku setuju," tambah Ruby. "Tapi jika kita terus melibatkan orang seperti Elio, kita hanya akan mendapat data dari individu yang sama. Kita butuh variasi."
"Variasi, ya?" Reagan akhirnya angkat bicara, suaranya tenang tapi penuh otoritas. "Bagaimana kalau kita mencoba sesuatu yang lebih besar? Bukan hanya satu orang, tapi satu kelompok."
Semua orang terdiam, menatapnya dengan ekspresi campuran antara penasaran dan cemas.
"Maksudmu?" tanya Fiona hati-hati.
Reagan tersenyum kecil. "Ada satu kelompok yang menarik perhatianku sejak lama—geng atlet sekolah ini. Mereka memiliki dinamika kelompok yang kuat, tapi juga banyak ketegangan di bawah permukaan. Kita bisa memanfaatkan itu."
"Berarti kita akan memprovokasi mereka?" tanya Devano, matanya berbinar dengan antusiasme.
"Bukan memprovokasi," jawab Reagan. "Hanya menciptakan situasi di mana konflik internal mereka muncul ke permukaan."
"Aku tidak yakin ini ide yang bagus," kata Fiona, suaranya terdengar khawatir. "Mereka adalah orang-orang yang punya pengaruh besar di sekolah ini. Jika kita ketahuan—"
"Kita tidak akan ketahuan," potong Reagan cepat. "Selama kalian semua mengikuti rencana, semuanya akan berjalan lancar."
---
Target Baru: Geng Atlet
Kelompok atlet yang dimaksud Reagan terdiri dari lima orang: Marco, ketua tim basket yang arogan; Andre, pemain tengah yang pendiam tapi cerdas; Leo, si badut tim yang selalu membuat lelucon; dan dua lainnya, Randy dan Kevin, yang lebih suka mengikuti perintah Marco daripada berpikir sendiri.
"Langkah pertama adalah memisahkan mereka," jelas Reagan ketika mereka berkumpul di ruangan rahasia mereka di perpustakaan. "Kita butuh cara untuk membuat mereka saling curiga."
"Aku bisa memulai dengan Leo," kata Aksa. "Dia tipe yang mudah diajak bicara, dan aku yakin dia akan berbagi banyak hal jika diberi sedikit perhatian."
"Bagus," kata Reagan. "Sementara itu, aku akan menangani Marco. Dia adalah kunci dari kelompok itu. Jika kita bisa membuatnya kehilangan kepercayaan diri, seluruh struktur akan runtuh."
"Dan aku akan menjaga agar semua ini tetap rahasia," tambah Nevan sambil mengetik di laptopnya. "Aku sudah mengatur sistem komunikasi terenkripsi untuk kita. Tidak ada yang bisa melacak percakapan kita."
"Bagaimana dengan aku?" tanya Ruby.
"Kau akan mengawasi semuanya," jawab Reagan. "Jika ada sesuatu yang tidak berjalan sesuai rencana, kau harus segera memberitahu kami."
---
Langkah Pertama: Memisahkan Leo
Aksa memulai dengan mendekati Leo saat istirahat makan siang. Ia membawa bola basket di tangannya, berpura-pura meminta Leo mengajarinya beberapa trik.
"Hei, Leo," sapa Aksa dengan senyum lebar. "Kudengar kau jago sekali dalam hal ini. Bisa ajari aku beberapa gerakan?"
Leo, yang selalu senang menjadi pusat perhatian, langsung setuju. Mereka mulai bermain di lapangan, sementara Aksa secara perlahan mengarahkan percakapan ke hal-hal pribadi.
"Jadi, bagaimana rasanya jadi bagian dari tim basket?" tanya Aksa sambil memantulkan bola.
"Rasanya hebat," jawab Leo dengan bangga. "Tapi jujur saja, kadang aku merasa Marco terlalu banyak mengambil keputusan sendiri."
Aksa berpura-pura terkejut. "Serius? Kukira kalian semua saling mendukung."
Leo tertawa kecil. "Ya, kami mendukung, tapi kau tahu bagaimana Marco. Dia selalu ingin semuanya berjalan sesuai keinginannya."
Aksa mencatat informasi itu dalam pikirannya. Ini adalah langkah pertama untuk menciptakan ketegangan di antara mereka.
---
Langkah Kedua: Menyerang Marco
Sementara itu, Reagan mendekati Marco di ruang latihan. Ia tahu bahwa Marco adalah tipe orang yang sulit dipercayai, jadi ia harus berhati-hati dalam pendekatannya.
"Hei, Marco," sapa Reagan sambil memasuki ruangan. "Kudengar kau sedang mempersiapkan turnamen besar. Bagaimana persiapannya?"
Marco mengangguk singkat. "Lancar. Kami sedang mencoba beberapa strategi baru."
"Bagus," kata Reagan sambil tersenyum kecil. "Tapi kau harus berhati-hati. Kadang orang-orang di sekitarmu tidak selalu memiliki niat terbaik."
Marco menatap Reagan dengan alis terangkat. "Maksudmu?"
"Aku hanya mengatakan bahwa kau harus berhati-hati. Aku tidak ingin melihat seseorang sepertimu kehilangan kepercayaan diri karena pengkhianatan."
Reagan kemudian meninggalkan ruangan tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut, meninggalkan Marco dengan rasa penasaran dan sedikit kecemasan.
---
Konflik Mulai Muncul
Hari berikutnya, ketegangan di antara anggota tim basket mulai terlihat. Leo mulai bersikap lebih vokal tentang keputusannya, sementara Marco menjadi lebih defensif.
"Kenapa kau selalu mengatur segalanya, Marco?" tanya Leo saat latihan. "Kita adalah tim, bukan kerajaanmu."
Marco menatap Leo tajam. "Aku mengatur karena seseorang harus melakukannya. Kalau kau punya ide yang lebih baik, silakan ajukan."
Andre, yang biasanya diam, akhirnya angkat bicara. "Mungkin Leo benar. Kadang kau terlalu keras kepala, Marco."
Situasi itu hampir berakhir dengan perkelahian, tetapi Randy dan Kevin berhasil menenangkan mereka. Namun, benih konflik telah ditanam, dan Reagan tahu itu hanya masalah waktu sebelum semuanya meledak.
---
Pertemuan Rahasia
Kelompok Reagan berkumpul kembali di ruangan mereka untuk membahas perkembangan terbaru. Semua orang tampak puas dengan kemajuan mereka, kecuali Fiona, yang terlihat gelisah.
"Kita sudah terlalu jauh," katanya dengan suara pelan. "Jika mereka benar-benar berkelahi, itu akan menjadi tanggung jawab kita."
"Tidak, Fiona," jawab Reagan dengan tenang. "Itu adalah hasil dari dinamika mereka sendiri. Kita hanya memfasilitasi apa yang sudah ada."
"Tapi—"
"Jika kau tidak bisa menangani tekanan ini, kau bebas pergi," potong Reagan. "Tapi jangan lupa, proyek ini adalah tentang memahami tekanan sosial. Kita tidak bisa belajar tanpa menciptakan situasi yang nyata."
Fiona terdiam, meskipun hatinya tetap dipenuhi rasa bersalah.
Akhir Bab 2: Pecahnya Konflik
Pada hari Sabtu sore, tim basket mengadakan latihan tambahan di lapangan sekolah. Namun, latihan itu berubah menjadi kekacauan ketika Marco dan Leo akhirnya saling menyerang secara fisik.
Berita tentang perkelahian itu menyebar dengan cepat, dan seluruh sekolah menjadi heboh. Kepala sekolah memanggil mereka ke kantornya, sementara anggota kelompok Reagan diam-diam mengamati dari kejauhan.
"Ini lebih dari yang kuharapkan," kata Devano dengan senyum tipis.
"Tapi itu berarti kita berhasil," tambah Ruby.
Reagan hanya tersenyum kecil. "Ini baru permulaan."
Namun, di balik senyumnya, Reagan menyadari bahwa situasi ini mulai lepas kendali. Dan untuk pertama kalinya, ia merasakan sedikit keraguan tentang rencana besarnya.
Bab 3: Bunga yang Mulai Layu
Konflik tim basket menjadi pembicaraan hangat di Akademi Elitedria. Semua orang, dari siswa hingga guru, membicarakan perkelahian itu. Banyak yang menyalahkan Marco karena sikapnya yang keras kepala, sementara yang lain merasa Leo terlalu provokatif. Namun, hanya kelompok Reagan yang tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Di ruang rahasia mereka, kelompok itu kembali berkumpul. Kali ini suasana lebih serius dari sebelumnya.
“Jadi, apa langkah kita berikutnya?” tanya Nevan sambil mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya.
Reagan, yang duduk di ujung meja dengan ekspresi penuh percaya diri, menjawab dengan nada tenang, “Kita biarkan situasi ini berkembang lebih jauh. Kita sudah menyalakan apinya; sekarang saatnya melihat bagaimana mereka terbakar.”
“Reagan,” Fiona memotong dengan nada cemas, “kita sudah cukup jauh. Perkelahian itu saja sudah cukup untuk membuktikan tekanan sosial yang kita ciptakan. Kenapa kita harus melanjutkan?”
Reagan menatap Fiona dengan tatapan dingin. “Ini bukan tentang cukup atau tidak, Fiona. Ini tentang mendapatkan hasil terbaik. Kita belum melihat batas mereka. Kalau kau tidak siap, kau bisa berhenti sekarang.”
Fiona menggigit bibirnya, mencoba menahan rasa frustasi. Ia tahu tidak ada gunanya berdebat dengan Reagan, tetapi di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang salah.
---
Sisi Gelap Reagan
Sementara itu, di luar ruang rahasia mereka, kehidupan Reagan menjadi semakin menarik perhatian. Banyak siswa mulai memperhatikan keanehannya—bagaimana ia selalu terlihat tenang, bahkan dalam situasi paling tegang sekalipun.
Ruby, yang diam-diam sering mengamati Reagan, mulai merasa penasaran. Ia memutuskan untuk menyelidiki lebih jauh tentang pemimpin kelompoknya itu.
Suatu malam, Ruby mengikuti Reagan pulang dari sekolah. Ia menyaksikan Reagan memasuki sebuah rumah besar yang tampak tua dan terpencil. Dengan hati-hati, Ruby mendekati jendela dan mengintip ke dalam.
Di dalam, ia melihat sesuatu yang mengejutkan. Reagan duduk di tengah ruangan dengan tumpukan kertas, foto, dan catatan di sekitarnya. Di dinding, ada papan besar yang penuh dengan koneksi antara nama-nama siswa di sekolah mereka, termasuk anggota tim basket dan kelompok mereka sendiri.
“Dia… merencanakan semuanya,” gumam Ruby dengan suara pelan.
Namun, sebelum ia bisa pergi, Reagan membuka pintu dan berdiri di depannya.
“Ruby,” katanya dengan suara rendah, “apa yang kau lakukan di sini?”
Ruby terdiam, mencoba mencari alasan, tetapi tatapan Reagan membuatnya merasa terperangkap.
“Aku… hanya penasaran,” jawabnya akhirnya.
Reagan tersenyum tipis. “Rasa penasaran itu bagus, Ruby. Tapi lain kali, tanyakan langsung padaku. Kau tidak perlu sembunyi-sembunyi.”
Ruby mengangguk canggung sebelum pergi dengan cepat. Namun, kejadian itu meninggalkan perasaan tidak nyaman di dalam dirinya.
---
Pertarungan Batin Fiona
Fiona semakin gelisah dengan eksperimen mereka. Ia mulai bermimpi buruk tentang konsekuensi dari tindakan mereka. Dalam mimpinya, ia melihat sekolah mereka hancur, dengan siswa-siswa saling bertengkar dan saling menyalahkan.
“Aku harus menghentikan ini,” pikir Fiona suatu malam.
Keesokan harinya, ia memutuskan untuk berbicara dengan Reagan secara langsung. Mereka bertemu di taman belakang sekolah, tempat yang jarang dikunjungi siswa lain.
“Reagan, kita harus berhenti,” kata Fiona dengan tegas.
Reagan menatapnya dengan tatapan dingin. “Kenapa? Bukankah ini tujuan kita sejak awal?”
“Tapi kita tidak bisa terus menyakiti orang lain untuk mendapatkan data,” balas Fiona. “Ini salah, Reagan. Kau tahu itu.”
Reagan mendekat, menatap Fiona dengan intensitas yang membuatnya merasa terintimidasi. “Fiona, kau terlalu banyak berpikir. Dunia ini adalah tempat yang kejam, dan kita hanya mencoba memahami bagaimana manusia berfungsi di dalamnya. Jika kau tidak bisa menerima itu, maka kau tidak pantas berada di sini.”
Fiona menahan air matanya dan berbalik pergi. Ia tahu tidak ada gunanya mencoba meyakinkan Reagan. Namun, di dalam hatinya, ia bertekad untuk menghentikan eksperimen ini, apapun resikonya.
---
Ketegangan di Dalam Kelompok
Ketegangan di antara anggota kelompok Reagan mulai terasa. Nathan, yang sejak awal skeptis terhadap Reagan, mulai menunjukkan ketidakpuasannya secara terbuka.
“Reagan, kau terlalu jauh,” katanya dalam salah satu pertemuan mereka. “Kita tidak lagi menjalankan eksperimen ilmiah. Kita hanya bermain dengan kehidupan orang lain.”
Reagan tersenyum dingin. “Kau melihat ini sebagai permainan, Nathan? Bagiku, ini adalah seni. Dan aku adalah senimannya.”
“Ini gila,” balas Nathan. “Kau tidak peduli dengan orang lain. Kau hanya peduli pada dirimu sendiri.”
“Dan kau terlalu emosional,” balas Reagan dengan santai. “Itulah bedanya kita.”
Nevan, yang biasanya diam, akhirnya angkat bicara. “Aku setuju dengan Reagan. Kita tahu apa yang kita lakukan sejak awal. Kalau kau tidak suka, Nathan, kau bisa keluar.”
Pertengkaran itu membuat suasana semakin tegang, tetapi tidak ada yang benar-benar meninggalkan kelompok. Mereka semua tahu bahwa keluar berarti kehilangan kesempatan untuk memenangkan penghargaan utama.
---
Konsekuensi Tak Terduga
Eksperimen Reagan mencapai puncaknya ketika salah satu anggota tim basket, Andre, ditemukan menangis di sudut lapangan. Ia mengaku merasa tertekan karena tidak mampu memenuhi ekspektasi Marco.
Berita itu membuat banyak siswa mulai mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di tim basket. Kepala sekolah memutuskan untuk mengadakan penyelidikan, tetapi tidak ada yang menghubungkan kejadian itu dengan kelompok Reagan.
Namun, bagi Fiona, ini adalah peringatan bahwa semuanya sudah terlalu jauh. Ia mulai mencari cara untuk mengungkapkan kebenaran tanpa menempatkan dirinya dalam bahaya.
---
Akhir Bab 3: Puncak Ketegangan
Reagan, di sisi lain, tetap tenang dan percaya diri. Ia tahu bahwa semakin besar tekanan yang mereka ciptakan, semakin menarik hasil yang akan mereka dapatkan.
“Tunggu saja,” katanya pada kelompoknya suatu malam. “Segera, kita akan melihat bagaimana manusia benar-benar berfungsi di bawah tekanan. Dan saat itu terjadi, kita akan menjadi saksi dari sesuatu yang luar biasa.”
Namun, tidak semua anggota kelompok berbagi antusiasme yang sama. Beberapa dari mereka mulai merasa bahwa mereka telah kehilangan kendali atas eksperimen ini.
Dan di tengah semua itu, Fiona menyusun rencana untuk mengungkapkan kebenaran, meskipun itu berarti harus menghadapi risiko besar.
Keretakan yang Terlihat
Hari-hari berlalu, dan konflik di tim basket semakin memburuk. Marco, yang biasanya percaya diri dan dominan, mulai kehilangan kontrol atas kelompoknya. Leo menjadi semakin vokal, Andre terlihat semakin stres, sementara Randy dan Kevin mulai mempertanyakan posisi mereka di tim.
Namun, tidak semua siswa menyadari bahwa semua ini adalah hasil dari manipulasi Reagan dan kelompoknya. Bagi kebanyakan siswa, konflik ini hanyalah hasil dari ego yang bertabrakan di dalam tim basket.
Di ruang rahasia mereka, kelompok Reagan terus mengamati perkembangan situasi. Fiona, yang duduk di sudut ruangan, merasa hatinya semakin berat. Ia tahu mereka telah melewati batas, tetapi ia tidak tahu bagaimana menghentikan semua ini tanpa mengkhianati kelompoknya.
“Kalian lihat berita terbaru?” tanya Devano sambil menunjukkan ponselnya. “Ada yang merekam perkelahian antara Marco dan Leo di kantin tadi pagi. Video itu sudah viral di grup sekolah.”
Reagan tersenyum kecil. “Bagus. Itu berarti semua orang semakin terlibat dalam drama ini. Tekanan sosial mereka semakin besar.”
Namun, Nathan tidak terlihat puas. Ia menatap Reagan dengan tajam. “Kau terlalu menikmati ini, Reagan. Ini bukan eksperimen lagi. Ini pembunuhan karakter.”
Reagan mengangkat bahu. “Kita hanya memanfaatkan apa yang sudah ada, Nathan. Jika mereka tidak bisa mengatasi tekanan, itu masalah mereka, bukan masalah kita.”
---
Fiona dan Rencana Rahasianya
Fiona tidak bisa lagi menahan rasa bersalahnya. Ia tahu bahwa jika situasi ini terus berlanjut, akan ada konsekuensi serius bagi tim basket dan mungkin juga bagi kelompok mereka.
Ia mulai menyusun rencana untuk menghentikan Reagan tanpa diketahui siapa pun. Fiona tahu bahwa Reagan adalah orang yang cerdas dan penuh perhitungan. Untuk mengalahkannya, ia harus lebih cerdik.
Langkah pertama Fiona adalah mendekati Marco secara diam-diam. Ia menemukan Marco sedang sendirian di ruang latihan setelah jam sekolah.
“Marco,” panggil Fiona dengan lembut.
Marco menoleh, ekspresinya lelah dan frustasi. “Apa yang kau inginkan?”
“Aku ingin membantu,” kata Fiona dengan jujur.
Marco menatapnya curiga. “Membantu? Membantu apa?”
“Aku tahu ada yang salah dengan semua ini,” jawab Fiona. “Aku tahu ada yang memanipulasi situasi di timmu. Tapi aku tidak bisa menjelaskan semuanya sekarang. Aku hanya ingin kau tahu bahwa kau tidak sendirian.”
Marco tampak bingung, tetapi ia tidak mengatakan apa-apa lagi. Fiona berharap bahwa kata-katanya cukup untuk menanamkan benih keraguan di pikiran Marco.
---
Konfrontasi Pertama
Beberapa hari kemudian, Fiona memutuskan untuk menghadapi Reagan secara langsung. Ia menunggu hingga semua orang pergi dari ruang rahasia mereka sebelum mendekatinya.
“Reagan, kita harus bicara,” katanya dengan suara tegas.
Reagan menoleh, ekspresinya tetap tenang seperti biasa. “Tentu, Fiona. Apa yang ingin kau bicarakan?”
“Kita harus menghentikan ini,” kata Fiona langsung. “Apa yang kita lakukan sudah terlalu jauh. Ini bukan lagi eksperimen, Reagan. Ini penghancuran.”
Reagan tersenyum kecil. “Fiona, kau terlalu dramatis. Kita hanya menjalankan rencana yang sudah kita sepakati bersama.”
“Tapi kau tahu ini salah!” balas Fiona. “Kau tahu bahwa yang kita lakukan bisa merusak hidup mereka!”
Reagan mendekat, menatap Fiona dengan tatapan yang dingin dan tajam. “Dengar, Fiona. Dunia ini tidak peduli pada orang lemah. Jika mereka tidak bisa menghadapi tekanan, maka mereka tidak pantas untuk bertahan. Kita hanya mempercepat proses itu.”
Fiona merasa darahnya mendidih, tetapi ia tahu bahwa berdebat dengan Reagan tidak akan menghasilkan apa-apa. Ia memutuskan untuk meninggalkan ruangan itu, tetapi dalam hatinya, ia bertekad untuk menghentikan Reagan dengan cara apa pun.
---
Perpecahan dalam Kelompok
Konflik di tim basket mulai merembet ke seluruh sekolah. Banyak siswa yang mulai terbagi menjadi kubu-kubu yang mendukung Marco atau Leo. Situasi ini menciptakan atmosfer yang tegang di seluruh sekolah.
Namun, tidak hanya tim basket yang retak. Kelompok Reagan sendiri mulai menunjukkan tanda-tanda keretakan. Nathan dan Ruby semakin tidak setuju dengan cara Reagan memimpin eksperimen ini, sementara Devano dan Nevan tetap setia pada Reagan.
“Kita tidak bisa terus seperti ini,” kata Nathan dalam salah satu pertemuan mereka. “Kita perlu menghentikan semuanya sebelum semuanya menjadi lebih buruk.”
“Tapi kita hampir mencapai puncaknya,” balas Nevan. “Ini adalah saat paling menarik dalam eksperimen kita.”
“Ini bukan eksperimen!” teriak Nathan. “Ini adalah permainan kejam yang tidak ada gunanya!”
Reagan, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. “Jika kalian tidak setuju, kalian bisa pergi. Aku tidak memaksa siapapun untuk tetap di sini.”
Nathan menatap Reagan dengan tatapan penuh kebencian sebelum keluar dari ruangan. Ruby tampak ragu-ragu, tetapi akhirnya ia memutuskan untuk tetap tinggal.
---
Akhir Bab 3: Benih Pengkhianatan
Malam itu, Fiona duduk di kamarnya, memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu bahwa Reagan tidak akan berhenti sampai semuanya hancur. Satu-satunya cara untuk menghentikannya adalah dengan mengungkapkan kebenaran kepada kepala sekolah.
Namun, Fiona juga tahu bahwa mengkhianati kelompoknya berarti mempertaruhkan segalanya. Ia bisa dikeluarkan dari sekolah, atau lebih buruk lagi, menjadi target berikutnya dari Reagan.
Di saat yang sama, Reagan duduk sendirian di rumahnya, memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu bahwa beberapa anggota kelompoknya mulai meragukannya. Tetapi bagi Reagan, itu hanyalah bagian dari permainan.
“Bunga mawar yang paling indah selalu tumbuh di atas tanah yang penuh darah,” gumamnya sambil tersenyum dingin.
Dan dengan itu, ia mulai merencanakan langkah berikutnya—langkah yang akan mengubah segalanya.
—
Bab 4: Kelopak yang Berduri
Rencana Fiona
Fiona tahu bahwa waktunya hampir habis. Konflik di tim basket dan di antara siswa sudah mencapai titik kritis. Jika ia tidak bertindak sekarang, situasi ini akan berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa diperbaiki.
Ia menghabiskan malamnya menyusun rencana. Untuk menghentikan Reagan, ia perlu bukti yang kuat. Dan untuk itu, ia harus memasuki ruang rahasia Reagan sendirian.
Fiona memanfaatkan momen ketika Reagan pergi dari rumahnya. Dengan bantuan Ruby, yang diam-diam mulai meragukan kepemimpinan Reagan, Fiona berhasil mendapatkan kunci duplikat ke ruang rahasia.
Malam itu, dengan tangan gemetar, Fiona membuka pintu ruang rahasia Reagan.
---
Rahasia di Balik Pintu
Ruang itu penuh dengan papan, catatan, dan foto-foto siswa. Ada peta besar sekolah yang penuh dengan tanda merah, menunjukkan lokasi-lokasi strategis untuk memulai konflik. Di sudut ruangan, Fiona menemukan buku catatan Reagan yang penuh dengan rencana detail tentang eksperimen mereka.
“Aku tahu dia pintar, tapi ini… gila,” gumam Fiona.
Saat ia membaca buku catatan itu, Fiona menemukan sesuatu yang mengejutkan. Reagan telah merencanakan semua ini jauh sebelum mereka membentuk kelompok. Bahkan, beberapa anggota kelompoknya sendiri telah dimanipulasi untuk bergabung.
Namun, sebelum Fiona sempat membaca lebih jauh, ia mendengar suara langkah kaki. Dengan cepat, ia mematikan lampu dan bersembunyi di balik lemari.
Pintu ruang rahasia terbuka, dan Reagan masuk. Ia berjalan ke meja, tampak tenang seperti biasa, tetapi Fiona bisa merasakan aura berbahaya dari dirinya.
“Aku tahu kau di sini, Fiona,” kata Reagan dengan suara dingin. “Keluarlah.”
Fiona merasa jantungnya berhenti. Ia tidak tahu bagaimana Reagan mengetahuinya, tetapi ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain. Dengan enggan, ia keluar dari persembunyiannya.
---
Konfrontasi Langsung
Reagan menatap Fiona dengan senyum kecil. “Jadi, kau akhirnya memutuskan untuk melawan, ya?”
Fiona mencoba tetap tenang meskipun ia merasa ketakutan. “Reagan, kau tahu ini salah. Kita tidak bisa terus seperti ini.”
“Salah?” Reagan mengulangi kata itu seolah mengejek. “Apa yang salah, Fiona? Kita hanya menunjukkan kebenaran. Dunia ini penuh dengan orang lemah, dan aku hanya memperlihatkan kepada mereka siapa mereka sebenarnya.”
“Kau menghancurkan hidup mereka!” balas Fiona. “Ini bukan tentang eksperimen atau pembuktian. Ini hanya tentang egomu, Reagan.”
Reagan mendekat, menatap Fiona dengan tatapan yang begitu tajam sehingga membuatnya mundur selangkah. “Kau tidak mengerti, Fiona. Dunia ini adalah tempat yang kejam. Jika kau tidak bisa melawan, maka kau akan dihancurkan. Aku hanya mengajari mereka pelajaran itu lebih awal.”
Fiona menggenggam tangannya dengan erat, mencoba menahan rasa takutnya. “Aku akan menghentikanmu, Reagan. Aku akan memberitahu semuanya kepada kepala sekolah.”
Reagan tertawa pelan. “Cobalah. Tapi aku jamin, itu hanya akan membuatmu terluka. Kau tidak tahu seberapa jauh aku telah merencanakan ini.”
---
Ruby dan Nathan
Sementara itu, Ruby dan Nathan, yang mulai meragukan Reagan, bertemu secara diam-diam. Mereka tahu bahwa kelompok mereka berada di ambang kehancuran, dan mereka harus mengambil tindakan.
“Kita harus membantu Fiona,” kata Nathan. “Reagan sudah terlalu jauh.”
“Tapi bagaimana?” tanya Ruby. “Kita tidak punya bukti apa pun. Reagan bisa dengan mudah memutar balikkan keadaan.”
Nathan berpikir sejenak sebelum menjawab. “Kita harus menemukan sesuatu yang tidak bisa dibantah. Jika Fiona benar, maka ruang rahasia Reagan pasti penuh dengan bukti.”
Mereka memutuskan untuk menyelidiki ruang rahasia itu bersama-sama, meskipun mereka tahu resikonya.
---
Bentrokan di Sekolah
Di sekolah, konflik semakin memanas. Marco dan Leo, yang dulunya adalah sahabat baik, sekarang hampir tidak bisa berada di ruangan yang sama tanpa bertengkar. Andre, yang sudah tidak tahan dengan tekanan, memutuskan untuk keluar dari tim basket.
Situasi ini membuat kepala sekolah, Pak Arya, mengambil tindakan tegas. Ia memanggil Marco dan Leo ke kantornya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Apa yang terjadi dengan kalian?” tanya Pak Arya dengan nada tegas. “Kalian adalah pemimpin tim. Seharusnya kalian memberikan contoh yang baik.”
Marco dan Leo saling menatap, tetapi tidak ada yang berbicara. Mereka berdua tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar di balik konflik ini, tetapi mereka tidak tahu bagaimana menjelaskannya.
Di luar kantor kepala sekolah, Reagan berdiri diam, mengamati segalanya dengan senyum kecil di wajahnya.
---
Rencana Terakhir Reagan
Reagan tahu bahwa situasi ini semakin sulit dikendalikan. Namun, bagi Reagan, ini adalah bagian dari rencananya.
“Aku harus menyelesaikan ini dengan cara yang paling dramatis,” pikirnya.
Ia mulai merencanakan langkah terakhirnya—sesuatu yang akan mengejutkan semua orang dan mengukuhkan posisinya sebagai penguasa di sekolah ini.
Namun, apa yang tidak diketahui Reagan adalah bahwa Fiona, Ruby, dan Nathan sedang bekerja sama untuk menghentikannya.
---
Akhir Bab 4: Awal dari Akhir
Malam itu, Fiona, Ruby, dan Nathan kembali ke ruang rahasia Reagan untuk mengumpulkan bukti. Namun, mereka tidak menyadari bahwa Reagan sudah menyiapkan jebakan untuk mereka.
“Selamat datang,” suara Reagan tiba-tiba terdengar dari belakang mereka.
Fiona berbalik dengan cepat, melihat Reagan berdiri di pintu dengan senyum penuh kemenangan.
“Kalian benar-benar berpikir bisa mengalahkanku?” tanyanya.
Dan dengan itu, permainan mereka mencapai titik balik yang tidak terduga.
—
Permainan yang Semakin Gelap
Reagan berdiri di depan pintu ruang rahasia dengan senyum dingin. Di tangan kanannya, ia memegang sebuah remote kecil. Fiona, Ruby, dan Nathan langsung saling menatap, menyadari bahwa mereka telah terjebak.
“Kalian benar-benar berpikir bisa menyusup ke sini tanpa aku tahu?” Reagan berjalan perlahan masuk, menutup pintu di belakangnya. “Aku sudah memperhitungkan kemungkinan ini sejak awal.”
Fiona menggenggam buku catatan Reagan yang sempat ia ambil dari meja. “Kau sudah gila, Reagan. Ini semua harus dihentikan.”
“Gila?” Reagan tertawa kecil. “Aku tidak gila. Aku realistis. Dunia ini adalah permainan, dan hanya mereka yang paling pintar yang akan menang. Aku hanya memainkan peranku dengan baik.”
Nathan maju selangkah, menatap Reagan dengan tatapan marah. “Permainanmu ini sudah menghancurkan banyak orang, Reagan. Kau pikir ini membuatmu kuat? Ini hanya menunjukkan betapa pengecutnya dirimu.”
Senyum Reagan sedikit memudar. “Pengecut? Nathan, kau tahu apa yang membuatku berbeda dari kalian? Aku tidak terikat oleh moral palsu atau rasa kasihan. Itu yang membuatku lebih kuat.”
“Tidak, Reagan,” potong Fiona. “Itu hanya membuatmu sendirian.”
---
Ketegangan Meningkat
Reagan menekan tombol pada remote-nya, dan suara alarm kecil mulai terdengar di ruangan itu. “Kalian punya lima menit sebelum sistem keamanan sekolah mendeteksi kalian di sini. Jika itu terjadi, kalian bertiga akan dituduh mencoba merusak properti sekolah.”
Ruby terkejut. “Kau serius, Reagan? Kau benar-benar akan mengorbankan kami hanya untuk melindungi dirimu sendiri?”
Reagan mendekat ke Ruby, menatapnya tajam. “Ini bukan soal mengorbankan. Ini soal bertahan. Dan jika kalian menghalangi jalanku, aku tidak akan ragu untuk menjatuhkan kalian.”
Fiona memutuskan untuk mengambil risiko. Ia melemparkan buku catatan Reagan ke arah Ruby. “Pergi! Ambil buku ini dan serahkan ke kepala sekolah!”
Ruby ragu sejenak, tetapi Nathan menarik tangannya. “Ayo pergi!”
Reagan mencoba menghalangi mereka, tetapi Fiona berdiri di depannya, menghalangi jalannya. “Jika kau ingin mengejar mereka, kau harus melewatiku dulu.”
Reagan menyeringai. “Kau benar-benar ingin bermain dengan api, Fiona?”
“Jika itu berarti menghentikanmu, maka ya,” jawab Fiona tegas.
---
Kejar-kejaran di Sekolah
Ruby dan Nathan berlari keluar dari ruang rahasia dengan buku catatan di tangan. Alarm keamanan sekolah mulai berbunyi, dan lampu-lampu di koridor menyala terang.
“Kita harus sampai ke kantor kepala sekolah sebelum Reagan mengejar kita,” kata Nathan sambil terus berlari.
Namun, Reagan tidak tinggal diam. Ia berhasil mengelabui Fiona dan mengejar mereka. Dengan kecepatannya, ia berhasil menyusul Ruby dan Nathan di tangga menuju lantai atas.
“Berhenti di situ!” Reagan berteriak.
Ruby berhenti sejenak, berbalik menatap Reagan dengan ketakutan. Tetapi Nathan berdiri di depannya, melindunginya. “Kau tidak akan mendapatkan buku ini, Reagan.”
Reagan menghela nafas panjang, seolah-olah bosan. “Nathan, kau tahu aku tidak ingin melakukan ini. Tapi jika kau memaksa…”
Ia melangkah maju, tetapi sebelum ia bisa mendekat, suara seseorang terdengar dari ujung koridor.
“Apa yang terjadi di sini?”
Semua orang berbalik dan melihat Pak Arya, kepala sekolah, berdiri dengan ekspresi marah.
---
Akhir Permainan
Pak Arya berjalan mendekat, menatap semua siswa dengan tajam. “Aku sudah mendengar banyak rumor tentang konflik di sekolah ini, tapi aku tidak menyangka akan melihat sesuatu seperti ini. Sekarang, jelaskan.”
Ruby, dengan tangan gemetar, menyerahkan buku catatan Reagan kepada Pak Arya. “Ini… ini milik Reagan. Di dalamnya, ada semua rencana yang dia buat untuk memanipulasi siswa di sekolah ini.”
Reagan mencoba terlihat tenang, tetapi ada sedikit kegugupan di wajahnya. “Pak, ini hanya salah paham. Mereka mencoba menjebak saya.”
Namun, Pak Arya membuka buku catatan itu dan mulai membacanya. Ekspresinya berubah dari bingung menjadi marah. “Reagan, apa arti semua ini?”
Reagan tidak menjawab. Ia tahu bahwa semua ini sudah berakhir.
“Ke ruang kepala sekolah. Sekarang,” perintah Pak Arya.
Reagan mengangguk pelan dan berjalan mengikuti Pak Arya. Sebelum pergi, ia menoleh ke Fiona, Ruby, dan Nathan. “Permainan ini mungkin berakhir, tapi aku belum selesai.”
---
Epilog Bab 4: Awal Baru
Dengan Reagan yang akhirnya ditangani oleh kepala sekolah, suasana di sekolah mulai membaik. Konflik di tim basket mulai mereda, dan Marco serta Leo akhirnya bisa berdamai.
Namun, bagi Fiona, Ruby, dan Nathan, ini bukanlah akhir. Mereka tahu bahwa meskipun Reagan telah dihentikan untuk sementara, bayangannya masih menghantui mereka.
“Ini belum selesai,” kata Fiona saat mereka berjalan pulang bersama.
“Tapi setidaknya kita sudah melakukan yang benar,” jawab Nathan.
Ruby tersenyum kecil. “Dan itu cukup untuk sekarang.”
Namun, jauh di dalam dirinya, Fiona tahu bahwa permainan Reagan belum benar-benar berakhir.
Kebenaran yang Mengerikan
Fiona, Ruby, dan Nathan berjalan keluar dari kantor kepala sekolah setelah memberikan kesaksian mereka. Meskipun Reagan sudah dipanggil untuk menghadapi konsekuensi atas tindakannya, ada rasa cemas yang terus menghantui mereka.
Ruby menggenggam buku catatan Reagan dengan erat. Buku itu menjadi barang bukti utama yang mengungkap manipulasi Reagan. Namun, saat membacanya lebih lanjut di luar ruang kepala sekolah, Ruby menyadari bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.
“Lihat ini,” katanya sambil menunjuk salah satu halaman.
Nathan mendekat, membaca catatan itu dengan alis berkerut. “Dia punya daftar nama… dan mereka semua adalah siswa di sekolah ini.”
Fiona melihat ke arah catatan itu dan wajahnya memucat. “Ini bukan hanya tentang eksperimen psikologis. Dia punya informasi pribadi semua orang… nomor telepon, alamat, bahkan rahasia mereka.”
Ruby mengangguk, suaranya bergetar. “Dia telah mengawasi kita semua sejak lama. Ini lebih buruk dari yang kita kira.”
---
Reagan yang Tak Terkalahkan
Di dalam ruang kepala sekolah, Reagan duduk dengan tenang, meskipun situasinya tampak tidak menguntungkannya. Pak Arya membaca buku catatannya dengan ekspresi serius.
“Reagan, apa penjelasanmu tentang semua ini?” tanya Pak Arya akhirnya.
Reagan tersenyum tipis, menyilangkan tangannya di depan dada. “Penjelasannya sederhana, Pak. Saya ingin memahami bagaimana orang berpikir. Bagaimana mereka bertindak dalam tekanan. Itu semua adalah bagian dari studi saya tentang manusia.”
“Kau menyebut ini studi?” tanya Pak Arya dengan nada marah. “Ini adalah pelanggaran serius terhadap privasi dan integritas sekolah!”
Reagan menatap kepala sekolah dengan dingin. “Apakah itu benar-benar penting, Pak? Saya hanya menggunakan informasi yang sudah tersedia di depan mata. Jika seseorang tidak bisa melindungi rahasia mereka sendiri, maka itu salah siapa?”
Pak Arya terdiam sejenak, mencoba memahami pola pikir Reagan yang jelas tidak seperti siswa biasa. “Apa kau sadar bahwa tindakanmu ini bisa membuatmu dikeluarkan?”
Reagan mendekatkan dirinya ke meja, tatapannya menusuk. “Pak Arya, saya tidak takut dikeluarkan. Dunia ini adalah permainan, dan saya selalu punya cara untuk menang, bahkan jika saya kehilangan satu papan permainan.”
---
Pertemuan Rahasia
Setelah keluar dari sekolah, Fiona, Ruby, dan Nathan memutuskan untuk bertemu di rumah Ruby untuk mendiskusikan langkah selanjutnya.
“Kita tidak bisa membiarkan ini berakhir begitu saja,” kata Fiona dengan suara tegas. “Reagan mungkin akan dihukum, tetapi jika informasi dalam buku catatan ini jatuh ke tangan yang salah, semua orang akan berada dalam bahaya.”
Nathan mengangguk. “Kita harus memastikan semua salinan catatannya dihancurkan. Tapi masalahnya, kita tidak tahu apakah Reagan punya cadangan.”
Ruby menghela nafas panjang. “Kita butuh lebih banyak bukti. Mungkin ada sesuatu yang kita lewatkan di ruang rahasianya.”
Fiona menatap Ruby dengan serius. “Kita harus masuk ke sana lagi. Kali ini, kita pastikan untuk memeriksa semuanya.”
---
Konspirasi Baru
Sementara itu, Reagan sudah dibebaskan sementara oleh Pak Arya dengan peringatan keras. Namun, jauh dari rasa takut, Reagan justru mulai merencanakan langkah selanjutnya.
Ia duduk di ruangannya, menatap layar laptopnya yang penuh dengan data tentang para siswa. “Mereka berpikir sudah menghentikanku,” katanya pelan sambil tersenyum. “Tapi mereka tidak tahu bahwa ini baru permulaan.”
Reagan membuka file baru di laptopnya dan mulai mengetik. Ia menyusun strategi baru untuk mengembalikan kontrolnya atas situasi, bahkan mungkin membuat situasi semakin buruk bagi mereka yang berani melawannya.
“Aku akan membuat mereka menyesal,” gumamnya.
---
Malam yang Menentukan
Fiona, Ruby, dan Nathan kembali ke ruang rahasia Reagan malam itu. Dengan hati-hati, mereka menyusup ke dalam dan mulai mencari lebih banyak bukti.
Mereka menemukan komputer desktop di sudut ruangan. Ruby mencoba membuka komputer itu, tetapi terlindungi oleh kata sandi.
“Kita harus membukanya,” kata Fiona. “Ada sesuatu di sini yang bisa menjadi kunci untuk menghentikannya.”
Nathan mengeluarkan flash drive yang ia bawa. “Kita bisa mencobanya dengan alat ini. Aku mempelajari teknik-teknik hacking dasar.”
Saat Nathan bekerja untuk membobol komputer itu, Fiona dan Ruby memeriksa laci-laci meja. Mereka menemukan lebih banyak dokumen yang mengungkap rencana Reagan, termasuk daftar orang-orang yang ia targetkan selanjutnya.
Namun, sebelum mereka selesai, mereka mendengar suara langkah kaki di luar ruangan.
---
Kejutan Tidak Terduga
Pintu ruangan terbuka, dan Reagan masuk dengan tenang, menatap mereka dengan tatapan penuh kemenangan.
“Kalian benar-benar tidak tahu kapan harus berhenti, ya?” katanya sambil melangkah masuk.
Fiona menatap Reagan dengan tajam. “Kami tahu siapa kau sebenarnya, Reagan. Kami tidak akan membiarkanmu terus seperti ini.”
Reagan tertawa pelan, suara yang membuat bulu kuduk mereka merinding. “Kalian pikir bisa menghentikanku hanya dengan mencuri sedikit informasi? Aku sudah jauh di depan kalian.”
Nathan berdiri di depan komputer, mencoba mengulur waktu untuk menyelesaikan pembobolan. “Kau tidak akan lolos kali ini, Reagan.”
Reagan mendekati mereka perlahan, senyumannya semakin lebar. “Nathan, Ruby, Fiona… kalian harus belajar satu hal. Tidak ada yang bisa mengalahkanku dalam permainan ini.”
Tapi sebelum Reagan sempat bertindak lebih jauh, suara alarm keamanan sekolah kembali berbunyi. Kali ini, suara itu datang dari sistem yang diaktifkan Nathan.
“Kita harus pergi sekarang!” teriak Fiona.
Mereka bertiga berlari keluar dari ruangan, membawa flash drive dan dokumen yang mereka temukan. Reagan hanya berdiri diam, menatap mereka pergi dengan senyum kecil di wajahnya.
“Permainan ini belum selesai,” katanya pelan.
Bab 5: Mawar dan Duri
Kebangkitan Reagan
Hari-hari setelah insiden di ruang rahasia Reagan penuh ketegangan. Meskipun Fiona, Ruby, dan Nathan telah menyerahkan bukti ke Pak Arya, pengaruh Reagan di sekolah belum sepenuhnya hilang. Banyak siswa yang masih mendukungnya, atau setidaknya takut padanya.
Di sisi lain, Reagan, meskipun mendapatkan peringatan keras, berhasil membangun kembali posisinya. Dengan keahliannya memanipulasi orang dan merencanakan setiap langkah, ia mengatur strategi untuk membalas dendam.
“Kalian benar-benar meremehkanku,” gumam Reagan sambil menatap layar laptopnya. Ia telah menemukan cara untuk mengambil kembali kontrol, tidak hanya atas sekolah, tetapi juga untuk menjebak mereka yang berani menantangnya.
---
Pertemuan Rahasia
Fiona, Ruby, dan Nathan berkumpul di rumah Ruby malam itu. Mereka memeriksa flash drive yang berhasil mereka ambil dari komputer Reagan.
“Ini lebih buruk dari yang kita bayangkan,” kata Ruby sambil membaca file-file di dalamnya. “Reagan tidak hanya mengawasi siswa di sekolah. Dia juga punya data tentang guru, staf, bahkan beberapa pejabat lokal.”
Nathan menggelengkan kepala. “Dia bukan sekadar psikopat. Dia punya rencana besar, dan kita hanya melihat sebagian kecilnya.”
Fiona mengetuk meja, mencoba berpikir jernih. “Kita butuh bantuan. Kita tidak bisa melawan ini sendirian.”
Ruby mengangguk. “Tapi siapa yang bisa kita percaya? Banyak orang di sekolah ini mungkin sudah ada di pihak Reagan.”
Suasana menjadi hening. Tidak ada yang tahu harus berbuat apa selanjutnya.
---
Misteri di Balik Kekuatan Reagan
Sementara itu, Reagan kembali mengaktifkan jaringan informasinya. Ia menggunakan koneksi yang ia miliki di luar sekolah untuk memulihkan kendali atas situasi.
Di salah satu file yang dimiliki Fiona dan teman-temannya, terdapat petunjuk tentang bagaimana Reagan mendapatkan kekuasaannya. Sebuah nama muncul berulang kali: The Red Circle.
“The Red Circle?” tanya Nathan ketika membaca file itu.
Fiona mengangguk. “Kelompok ini mungkin yang memberikan dukungan pada Reagan. Tapi kita tidak tahu apa hubungan mereka.”
Ruby merasa ngeri. “Jika Reagan bekerja dengan kelompok ini, itu berarti dia bukan sekadar ancaman kecil. Dia punya sumber daya besar di belakangnya.”
---
Serangan Balik
Hari berikutnya, Fiona, Ruby, dan Nathan kembali ke sekolah, berusaha bertindak seperti biasa. Namun, suasana di sekolah berubah. Para siswa yang sebelumnya tampak bersikap netral kini mulai menjauh dari mereka.
“Ada yang aneh,” bisik Fiona.
Nathan mengangguk. “Aku juga merasakannya. Semua orang sepertinya menghindari kita.”
Saat itu, sebuah pengumuman terdengar di seluruh sekolah. “Fiona, Ruby, dan Nathan diminta segera ke ruang kepala sekolah.”
Mereka saling memandang dengan cemas sebelum akhirnya berjalan menuju ruang kepala sekolah.
---