Tanpa aba-aba, tiga suara tembakan menggema.
Gelap — Antara Hidup dan Mati
Asap senapan memenuhi udara. Tapi tidak ada yang jatuh. Ternyata peluru pertama ditembakkan oleh Askara... ke lantai. Peluru kedua oleh Devano—meleset. Peluru ketiga... berasal dari arah lain.
Seseorang menembak dari luar jendela. Altezza jatuh. Bahunya berdarah.
"Non... Zezz!" Devano berteriak, berlari ke arahnya.
Askara panik, mencoba mencari arah tembakan. Tapi suara langkah kaki terdengar dari berbagai sisi.
VULTURE datang. Dan mereka datang bukan untuk negosiasi.
Gudang Tua – Api, Darah, dan Dendam
Bau mesiu masih menggantung di udara. Suara langkah-langkah berat menjejakkan diri di lantai kayu yang mulai terbakar. Dinding tua mulai retak, seolah bangunan itu sendiri tak tahan menampung segala kebusukan yang selama ini tersembunyi.
Altezza terbaring dengan luka tembak di bahunya. Darah menodai jaket hitamnya, mengalir lambat namun tak terhenti. Devano berlutut di sampingnya, tangan gemetar, mencoba menghentikan pendarahan.
"Tahan, Zezz. Gue di sini. Jangan pingsan... Jangan mati." Suaranya pecah, matanya berair.
"Ce n’est rien... ce n’est qu’une égratignure."
(Itu bukan apa-apa... cuma luka kecil.)
Tawa pelan Altezza terdengar meski ia menahan sakit. Mungkin lebih dari luka fisik, yang membuatnya sesak adalah kenyataan bahwa orang yang ia anggap saudara—Askara—menjadi biang di balik malam berdarah ini.
Askara berdiri, terdiam. Matanya menatap Altezza seperti sedang melihat bayangannya sendiri dalam cermin yang pecah. Ia ingin bicara, tapi tak satu kata pun keluar dari mulutnya. Sebelum ia sempat melangkah maju, suara peluru kembali memecah keheningan.
Devano menarik pistol dan menembak ke arah bayangan hitam yang baru saja muncul dari pintu belakang. Dua orang berpakaian hitam jatuh. Tapi tiga lainnya langsung masuk.
"Nous avons terminé ici. Tuez-les tous."
(Kita sudah selesai di sini. Habisi mereka semua.)
Perintah itu datang dari seorang wanita berseragam VULTURE—Miraine. Rambut peraknya kini diikat, dan matanya memancarkan kegilaan yang tenang. Ia berjalan seperti angin dingin, tanpa rasa takut.
"Askara, tonton mereka mati. Ini harga dari kesetiaan setengah hati." katanya dingin. Askara tak menjawab. Tapi untuk pertama kalinya, ia menodongkan pistolnya ke Miraine. "Non."
"Gue nggak gabung sama lo buat jadi boneka lo."
"Gue di sini karena gue punya tujuan sendiri, bukan buat jadi mesin pembunuh."
Miraine menoleh, tersenyum tipis.
"Tu n’es qu’un pion, même dans ta propre rébellion."
(Kau hanya pion, bahkan dalam pemberontakanmu sendiri.)
Dalam satu gerakan cepat, Miraine menendang pistol Askara dan meninju rahangnya. Askara terlempar ke lantai, berdarah. Saat ia mencoba bangkit, dia menatap Altezza yang perlahan mencoba berdiri, meski tubuhnya menggigil karena luka.
"Lo nggak mati cuma karena peluru, Zezz. Lo kuat bukan karena lo kebal. Tapi karena lo punya alasan buat bertahan." gumam Askara, pelan.
Altezza menatapnya. Dan di sana, di tengah api yang mulai menjalar ke seluruh bangunan, dua sahabat yang kini jadi musuh berdiri berseberangan—terluka, namun belum tumbang.
Di aula belakang sekolah yang jarang dipakai, Alletha duduk diam sambil memandangi layar ponselnya. Sebuah video berdurasi 17 detik memperlihatkan baku tembak di gudang. Wajah Altezza terlihat sekilas sebelum kamera goyah.
Vyora berdiri di sampingnya, menahan napas.
"Lo masih... peduli, ya?"
Alletha tak menjawab. Tapi air mata yang jatuh diam-diam dari sudut matanya menjawab semuanya.
"Lo tahu dia luka, Thea. Dan itu bukan pertanda akhir. Tapi pertanda bahwa perang baru aja dimulai."
"Kita harus siap. Kita bukan lagi cuma geng motor remaja. Ini udah lebih besar dari itu."
Alletha berdiri perlahan.
"Alors, on prépare la guerre."
(Kalau begitu, kita siapkan perang.)
Beberapa jam setelah pertempuran, HELIOS kembali ke markas dengan tubuh penuh luka dan hati yang sobek. Rafka mengurus medis Altezza, sementara Alan dan Arzan membersihkan darah dari motor yang mereka tinggalkan di sekitar lokasi. Suasana mencekam, penuh amarah, namun juga... kesetiaan yang lebih dalam dari sebelumnya.
"Kalau ini cara dunia uji kita, gue terima. Tapi dunia juga harus siap kalau kita mulai membalas."
– Altezza, dengan suara serak.
"C’est la guerre, frère."
(Inilah perang, saudara.)
Sinar lampu putih redup menyoroti tubuh Altezza yang terbaring dengan infus di tangan kiri, perban membalut bahu kanan yang tertembus peluru. Nafasnya masih berat, tapi matanya terbuka, memandangi langit-langit. Keheningan malam terganggu oleh suara detak jam dinding dan alat pemantau denyut nadi.
Rafka duduk di kursi samping ranjangnya, menatap data hasil scan dari tablet kecil. Di balik mata dinginnya, tersimpan kekhawatiran. Ia sudah lama mengenal Altezza—dan lebih dari siapa pun, ia tahu betapa pemuda itu bisa menyembunyikan segalanya di balik diam.
"Zez... kau sadar bukan, peluru itu hampir menembus paru-paru?"
"Hampir bukan berarti mati." Altezza menjawab dengan suara lemah tapi mantap.
"Je suis encore vivant."
(Aku masih hidup.)
Rafka hanya mengangguk pelan. Tapi pertanyaannya berikutnya lebih berat.
"Kalau lo harus nembak Askara... lo sanggup?"
Altezza terdiam. Lalu dengan nada pelan tapi tegas, ia berkata,
"Kalau dia udah pilih berdiri di sisi lawan... gue gak punya hak buat ragu."
Alletha memandangi lapangan sekolah dari lantai tiga, rambutnya ditiup angin, mata tajamnya tak berkedip. Di tangannya, ia menggenggam surat elektronik dari kontak rahasia. Isinya hanya satu kalimat:
"Ils préparent la fin."
(Mereka sedang menyiapkan akhir.)
Vyora datang membawa dua botol air, meletakkan satu di samping Alletha.
"Kabar dari dalam HELIOS bilang Altezza selamat. Tapi lukanya cukup parah."
Alletha menunduk. Ada ketegangan aneh di garis wajahnya. Tidak lagi terlihat seperti siswi SMA biasa. Tapi seperti ratu dalam perang yang tahu semua pion sedang bergerak.
"J’ai encore besoin de lui vivant."
(Aku masih butuh dia hidup.)
"Bukan karena lo cinta, kan?" tanya Vyora lirih.
"Cinta nggak relevan di antara api dan darah, Vy. Tapi kebencian... kebencian adalah bahan bakar yang abadi."
"Et je brûle encore."
(Dan aku masih terbakar.)
Askara duduk sendirian di ruang kosong bawah tanah, dikelilingi layar-layar komputer yang memperlihatkan foto lama: HELIOS saat awal dibentuk. Foto itu memperlihatkan dirinya, Altezza, Devano, dan yang lain—tertawa. Bukan seperti sekarang.
Tangannya menggenggam sesuatu... kertas kecil. Surat yang dulu Altezza tulis padanya bertahun lalu, sebelum mereka membentuk HELIOS:
"Kalau nanti dunia ngelawan kita, jangan mundur. Kita bukan geng—kita keluarga."
– Z.
Askara memejamkan mata, menggertakkan gigi.
"Tu m’as abandonné d’abord."
(Kau yang meninggalkanku duluan.)
Ia berdiri, mengenakan jaket kulit hitam, menyisipkan dua pistol kecil ke dalam sabuk.
"Kalau ini akhirnya perang... maka biar gue jadi pengkhianat yang berdarah, bukan pengecut yang menyesal."
"Même si ça me tue."
(Meskipun itu membunuhku.)
Miraine berdiri di depan meja besar di ruang strateginya. Peta kota terpampang luas, dengan bendera kecil di titik-titik vital: sekolah, markas HELIOS, rumah sakit tua, pelabuhan.
"Phase deux commence demain. On va étouffer leur espoir."
(Tahap dua dimulai besok. Kita akan mencekik harapan mereka.)
Daviandra dan Arzan dari HELIOS yang berhasil disandera, kini diikat di sudut ruangan. Luka di wajah mereka parah, tapi mereka tidak bersuara. Kesetiaan mereka tidak tergoyahkan.
"Kalau kalian pikir Altezza bakal datang sendiri buat nyelametin kalian... kalian bener."
Miraine tersenyum dingin.
"Dan itu yang bikin ini menyenangkan."
Dalam kegelapan, suara Altezza terdengar seperti doa, atau mungkin wasiat.
"Setiap retakan yang lo buat, Askara... gue tampung dalam dada. Tapi jangan salah, suatu hari, semua itu akan pecah, dan lo nggak akan punya tempat bersembunyi lagi."
"Lo tahu kenapa gue masih berdiri walau semua jatuh? Karena mereka masih percaya sama gue." "Dan sekarang... sekarang gue harus membuktikan bahwa kepercayaan itu bukan hanya kenangan."
"La guerre ne fait que commencer."
(Perang baru saja dimulai.)
Hujan turun tanpa henti, mengguyur atap markas yang kini pindah ke gudang logistik di pinggiran kota. HELIOS sudah tidak bisa kembali ke base lama—jejak darah, peluru, dan pengkhianatan terlalu membekas. Altezza berdiri menghadap jendela besar, membiarkan hujan menjadi selimut bagi pikirannya yang kacau.
"Dev, gue nggak bisa diem aja lagi." katanya lirih.
"Davi sama Arza diculik, dan Askara… dia sekarang hantu yang berkeliaran bebas. Miraine mainin semuanya kayak bidak di papan catur."
Devano berdiri di belakangnya, tangan menggenggam telepon satelit, jari-jarinya bergetar ringan. "Gue tahu. Tapi ini bukan perang yang bisa kita menangin pakai amarah doang, Zezz. Lo bukan cuma ketua geng lagi. Lo udah jadi simbol buat kita semua."
"Kalau lo tumbang, kita ikut mati."
Altezza mengangguk. Tapi di dalam hatinya, badai tak kunjung reda. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Dan ia tahu, dia harus memulainya bukan dari kekerasan—tapi dari dalam. Perang harus sunyi sebelum suara letusan terdengar lagi.
Alletha duduk di ruang perencanaan. Peta digital kota menyala di hadapannya, titik-titik merah menandai aktivitas VULTURE yang semakin meluas. Senja dan Vyora berdiri di belakangnya, menunggu instruksi.
"Gue tahu kalian punya alasan buat gak ikut campur dalam perang cowok-cowok itu. Tapi percayalah, VULTURE nggak bakal berhenti di HELIOS."
"Mereka akan datang ke kita. Ke sekolah. Ke keluarga kita."
Zava mengepal tangannya.
"Lalu kita harus apa? Gabung ke HELIOS? Alletha… itu akan menghancurkan kita juga."
"Non."
"Kita gak gabung siapa-siapa. Tapi kita main di tengah. Di bayangan." "On va les diviser de l’intérieur."
(Kita akan membelah mereka dari dalam.)
Askara menyusup ke tempat persembunyian kecil miliknya, yang dulu sering ia kunjungi bersama Altezza. Foto mereka bertiga — dirinya, Zezz, dan Devan — tergantung di dinding. Ia meraih korek api, menyalakannya... namun tak jadi membakar.
"Gue pengkhianat. Tapi bukan monster."
"Miraine, lo pikir lo kendaliin gue? Lo cuma ngasih gue alasan buat ngambil alih panggung."
Askara membuka laptop lamanya. Di dalamnya ada semua rahasia VULTURE. Lokasi markas, koordinat penyerangan, dokumen perjanjian dengan mafia lama kota.
"Kalau HELIOS mau bangkit, mereka harus hancurin pusat VULTURE. Tapi nggak bisa frontal." "C’est à mon tour de jouer."
(Giliranku bermain.)
Malam itu, suara apa pun nyaris tak terdengar. Langkah Alan ringan, menyelinap ke ventilasi udara. Di luar, Devano menyamar sebagai pengantar logistik, membawa truk kecil penuh kotak kosong. Di dalam kotak—Rafka, dengan senapan bius dan chip pendeteksi.
"Jangan tembak buat bunuh. Kita cuma datang buat ambil saudara kita pulang." "Tapi kalau perlu... matikan suara mereka."
"Silencieux. Rapide. Propre."
(Sunyi. Cepat. Bersih.)
Dalam 14 menit, mereka berhasil masuk. Penjaga dilumpuhkan tanpa suara. Rafka memotong rantai borgol Davi dan Arzan, yang hampir kehilangan kesadaran.
"Kau datang... Zezz kirim kalian." bisik Arzan.
"Toujours."
(Selalu.)
Mereka keluar dengan cepat. Tapi sebelum sampai ke truk, sirene merah menyala. Miraine muncul dari balik tumpukan kontainer, tersenyum.
"Vous pensez que je n’ai pas prévu cela?"
(Kalian pikir aku tidak mengantisipasi ini?)
Dan dari balik bayangan, Askara muncul… menodongkan pistol ke Miraine.
"Tapi lo gak antisipasi gue balik ke sisi yang benar."
Davi dan Arzan dibaringkan di ruang medis. Altezza berdiri di depan pintu, menatap mereka tanpa suara. Tangannya masih dibalut, tapi matanya—mata seorang pemimpin yang baru saja lahir kembali.
"Merci." katanya pelan ke Devano dan yang lain.
"Gue janji… gak akan ada yang jatuh lagi."
Dan dari jendela, siluet Askara muncul. Tak masuk, tak bicara. Tapi Altezza melihatnya… dan untuk sesaat, keduanya hanya saling menatap dalam sunyi.
Suara bel berdentang panjang. Siswa-siswa masuk seperti biasa. Tapi ada ketegangan yang merayap di koridor. Orang-orang mulai sadar... ALASKA bukan lagi sekolah biasa.
Alletha masuk diam-diam ke ruang OSIS—ruangan yang dulu dikuasai HELIOS untuk koordinasi bawah tanah. Kali ini dia datang sendirian, tak membawa siapapun dari BLACK VEROS.
Di atas meja kayu tua, ia meletakkan satu berkas. Isinya: Perjanjian Non-Agresi Sekolah. Sebuah usulan, yang ia tulis sendiri semalaman. Tapi tidak ada tanda tangan siapa pun. Ia tahu, ini hanya simbol. Karena...
"Ce monde ne comprend que la peur."
(Dunia ini hanya mengerti ketakutan.)
Ia berdiri, menatap ke arah kaca yang menghadap lapangan. Di kejauhan, dia bisa melihat siluet seseorang. Altezza. Berdiri di atap gedung teknik. Sendirian.
Angin menerpa wajah Altezza saat ia berdiri menatap kota yang mulai memanas. Di sakunya ada catatan kecil yang Askara selipkan diam-diam sebelum menghilang lagi.
“Ils savent tout sur Alaska. Les bombes sont déjà posées.”
(Mereka tahu segalanya tentang Alaska. Bom sudah ditanam.)
Altezza mengepalkan tangan. Tatapannya berubah dingin. Tapi bukan karena takut. Karena marah. Bukan hanya pada musuh... tapi pada dirinya sendiri.
"Gue janji bakal lindungi tempat ini. Tapi gue terlalu banyak diem. Terlalu banyak percaya." "Maintenant... je n’attendrai plus."
(Sekarang... gue gak akan menunggu lagi.)
Dari arah belakang, Devano datang membawa sebuah map biru. Di dalamnya: strategi, rencana pembentukan cabang HELIOS yang baru, dan pengamanan internal sekolah.
"Zez... kita harus pisahin sekolah dan medan perang. Kalau enggak, kita bakal jadi pembunuh bagi orang-orang yang gak tahu apa-apa."
"Gue tahu." jawab Altezza lirih.
"Tapi tempat ini udah jadi medan perang sejak kita bertarung pertama kali di lapangan itu."
Ia menunjuk lapangan utama ALASKA.
"Dan medan perang gak pernah netral."
Zava memeriksa senjata. Fidellia menyiapkan kode komunikasi. Senja mengatur kendaraan logistik. Dan Vyora? Ia berdiri di depan layar besar, menunjukkan satu titik merah menyala: ruang bawah tanah sekolah. Lokasi yang Askara tandai sebagai pusat bom.
"Kalau ALASKA meledak... itu bukan cuma nama kita yang hancur. Tapi masa depan seluruh generasi kita." kata Vyora pelan.
_"Jadi kita main kotor?" tanya Senja.
"Non." sahut Alletha yang baru masuk. "Kita main lebih pintar. Et plus cruel." (Dan lebih kejam.)
Rafka dan Alan berhasil menyelinap ke ruang bawah tanah. Mereka membawa alat penjinak dan drone kecil. Suara langkah mereka nyaris tak terdengar. Tapi bom itu nyata. Terhubung pada sistem alarm utama sekolah.
"Kalau kita gagal... semua orang di atas akan jadi debu." bisik Alan.
"Tenang. Kita HELIOS. Kita gak mati segampang itu." Rafka menyeringai. Tapi saat mereka hampir menjinakkan satu bom... sinyal mendadak terganggu.
"Merde... ils nous regardent."
(Sial... mereka mengawasi kita.)
Altezza kembali berdiri di depan seluruh anggota yang tersisa. Luka di bahunya belum sembuh, tapi suara dan tekadnya tak tergoyahkan.
"VULTURE tanam bom bukan buat bunuh kita. Tapi buat nunjukin kalau mereka yang pegang kendali."
"Tapi sekarang, gue akan rampas kendali itu balik. Dari mereka. Dari siapa pun yang pikir kita lemah."
"Kalau lo takut, keluar dari ruangan ini. Tapi kalau lo masih percaya... maka kita mulai babak berikutnya."
"Pasukan bayangan. Gaya baru. HELIOS baru."
Semua mata menyala. Bahkan Askara—yang tiba-tiba muncul dari balik tirai, luka di wajahnya—mengangguk pelan.
"Zez, gue gak mau minta maaf."
"Gue gak butuh lo minta maaf. Gue butuh lo di sini. Untuk balas semuanya."
“Et quand le silence hurle plus fort que les balles…”
(Dan ketika kesunyian menjerit lebih keras daripada peluru…)
Langit malam sudah terlalu gelap, tapi cahaya dari monitor dalam ruang Tactical Black justru membakar mata semua orang yang duduk mengelilingi meja panjang. Altezza, Devano, Rafka, Alan, dan bahkan Askara, duduk dalam diam. Di tengah meja: rekaman dari ruang bawah tanah sekolah.
Ada tujuh bom—bukan lima seperti perkiraan awal.
"Putain."
"Tujuh? Mereka benar-benar niat bunuh semua orang." geram Devano.
_"Kalau kita gagal..." bisik Alan.
"Bukan cuma sekolah yang hancur. Kita juga. Nama HELIOS. Semua yang udah kita lindungi." Rafka menunduk, menatap ujung sepatunya.
"Non." Altezza berdiri.
"Kalau kita gagal, kita bakal jadi legenda yang gagal. Tapi kalau kita berhasil… kita akan jadi mimpi buruk buat semua musuh."
Panggung sudah siap. Siswa-siswa mulai berkumpul. Tak ada yang tahu bahwa di bawah kaki mereka, ada tujuh bom aktif.
Di antara kerumunan, Alletha berdiri mengenakan seragam resmi sekolah. Pandangannya terus mengikuti pergerakan Devano dan Alan yang menyamar sebagai kru upacara.
Fidellia berdiri di balkon lantai dua, headset terpasang, membaca detak elektronik dari chip penjinak.
"Zone A clear. Zone B disarmed. Zone C... problème technique."
"C’est pas vrai…" gumamnya. (Itu tidak mungkin...)
Zava langsung bergerak ke lorong bawah tanah. Ia tahu, kalau sistem manual gagal, satu-satunya cara adalah melepas kabel utama dengan tangan. Tapi...
"Zava, jangan masuk. Terlalu dalam." suara Senja panik melalui radio.
"Kalau gue gak masuk, semua orang di atas bakal mati." jawab Zava cepat. Nafasnya memburu. Begitu dia menyentuh kabel, suara di belakangnya membuat tubuhnya membeku.
"Jangan gerak."
Suara Miraine.
Ia berdiri di kegelapan, pistol diarahkan tepat ke kepala Zava.
"C’est drôle, non? Tu viens désamorcer la bombe, mais c’est toi la bombe."
(Lucu, bukan? Kau datang untuk menjinakkan bom, tapi justru kau yang akan meledak.) Zava menggertakkan gigi. Tapi sebelum Miraine menarik pelatuk—BANG.
Darah terciprat ke dinding.
Miraine jatuh. Dari bayangan... Alletha muncul, dengan pistol berasap.
"Lo gak pegang kendali lagi." katanya dingin. Zava gemetar.
"Merci…" bisiknya, nyaris tak percaya.
"Kita belum menang. Tapi sekarang... kita udah punya kesempatan."
Siswa-siswa mulai berbaris untuk upacara. Altezza berdiri di sisi kanan panggung, menyamar sebagai petugas sound system. Devano memberi isyarat dari jarak jauh. Empat bom tersisa.
"Kalau kita gagal, lo tahu apa yang harus dilakukan." kata Altezza pada Askara.
"Kita semua mati? Serius?" "Non. Lo yang harus hidup." "Pourquoi moi?"
(Kenapa gue?)
"Karena lo satu-satunya yang tahu semua sisi: HELIOS, BLACK VEROS, dan VULTURE." "Gue... cuman tahu gimana caranya hidup sambil berkhianat."
"Lo tahu gimana caranya hidup sambil belajar menebus dosa."
Devano dan Rafka berhasil menjinakkan bom ke-6. Tapi bom terakhir, yang terhubung ke sistem utama panggung... rusak.
"Zezz, kita gak bisa jinakin ini. Kabelnya digabung dengan sirkuit mic dan pengeras suara. Kalau kita cabut... panggung bisa meledak."
"Kalau kita biarin?" "Panggung tetep meledak."
Diam. Semua terdiam. Lalu Altezza berkata:
"Gue naik ke panggung."
_"GILA?!" bentak Devano.
"Kalau lo naik dan suara nyala..." "...maka HELIOS akan tetap hidup."
"Karena nama gue akan mati bersama bom ini."
Altezza naik ke atas. Mikrofon mulai menyala. Di bawah panggung, kabel merah mulai menyala panas. Hitungan mundur dalam sistem: 00:46... 00:45...
"Selamat pagi semuanya."
Suara Altezza menggema. Semua kepala menoleh.
"Hari ini... kita berdiri di tempat yang pernah jadi medan perang." "Tapi hari ini... bukan hari untuk dendam."
"Hari ini... kita belajar... bahwa meski nama kita berbeda, seragam kita beda warna, darah yang keluar tetap merah."
Detik terus berdetak. Mata Alletha berkaca-kaca. Devano berlari ke arah kabel utama, berusaha memutus daya.
"Kalau kalian denger suara gue hari ini... artinya gue berhasil." "Dan kalau enggak... anggap ini salam perpisahan gue."
"HELIOS bukan tentang gue. Tapi tentang kalian. Yang berdiri setelah gue jatuh."
Panggung gelap. Listrik padam. Semua berhenti.
Tidak ada ledakan. Hening.
Lalu... suara napas Altezza terdengar. Dia masih berdiri. Di kegelapan. Devano berhasil memutus sistem sekian detik sebelum detonasi.
Altezza duduk sendirian. Luka kecil di kakinya mengucur. Tapi dia tersenyum. Untuk pertama kalinya.
Lalu... langkah ringan terdengar. Alletha datang.
"Kau bodoh." katanya.
"Je sais."
(Aku tahu.)
"Tapi kau juga... berani." "Pour toi."
(Untukmu.)
Mereka menatap langit, yang perlahan mulai turun hujan.
Dan dari jauh, Askara menulis satu kalimat di buku catatannya:
La guerre silencieuse est terminée... mais le chaos commence.
(Perang sunyi telah berakhir... tapi kekacauan baru saja dimulai.)
"Il n’y a rien de plus dangereux qu’un silence qui cache une tempête."
(Tidak ada yang lebih berbahaya dari keheningan yang menyembunyikan badai.)
Langit malam seperti menelan cahaya. Tak ada suara motor, tak ada tawa seperti biasanya. Hening. Terlalu hening untuk markas sekelas HELIOS.
Altezza duduk membelakangi meja panjang, jas hitamnya tergantung setengah di kursi. Ia menatap monitor dengan mata kosong, kopi di sampingnya sudah dingin sejak dua jam lalu. Di belakangnya, satu demi satu anggota datang.
Devano duduk pertama. Lalu Rafka. Alan. Arza. Davi. Afka. Askara. Tapi tidak ada satu pun yang bicara. Mereka duduk... seperti menghadiri pemakaman.
"Tujuh bom." suara Altezza akhirnya keluar. Serak.
"Dan satu dari kita... bocorin blueprint lokasi sekolah ke musuh."
Jantung semua orang berhenti sepersekian detik.
"Kau yakin?" tanya Askara, meskipun dalam hatinya dia tahu, jawabannya sudah jelas.
"Ada satu pintu masuk yang cuma kita yang tahu. Yang kita pakai saat penyelamatan Sora tahun lalu. Tapi musuh bisa akses itu dengan mudah." kata Rafka pelan.
"Dan bom diletakkan tepat di titik-titik koordinat yang pernah kita diskusikan tertutup. Cuma yang hadir dalam ruang ini yang tahu."
Altezza berdiri perlahan. Tangannya mengepal.
"Artinya pengkhianatnya bukan sekadar VULTURE. Tapi HELIOS. Salah satu dari kalian." "Atau..." katanya pelan, menatap bayangan jendela.
"...mungkin salah satu dari aku."
Hujan turun ringan di luar jendela, mengetuk kaca seperti tangisan halus yang tertahan.
Alletha duduk sendirian. Rambutnya basah karena hujan tadi pagi, dan belum sempat dikeringkan. Di tangannya ada foto: dirinya bersama Vyora, Zava, Fidellia, Senja. Tapi wajahnya menatap kosong ke arah kanan bawah... ke bagian kosong foto itu.
Tempat Miraine biasa berdiri.
"Elle n’était pas seulement une traîtresse... Elle était ma sœur."
(Dia bukan hanya pengkhianat... Dia adalah saudariku.)
_"Kita gak pernah tahu semua isi hati orang, Let." Vyora masuk pelan, membawa jaket.
"Tapi dia tahu semua kelemahanku." bisik Alletha.
"Dan dia pakai itu untuk hancurin kita."
Vyora menghela napas.
"Lo nyelametin Zava. Tapi lo gak bisa nyelametin hati lo sendiri, kan?"
"Parce que mon cœur est déjà mort avec elle."
(Karena hatiku sudah mati bersamanya.)
Dua bayangan berjalan menyusuri lorong tua yang lembap dan berlumut. Lampu kuning temaram menggantung rendah dari kabel-kabel tua.
"Laporan terakhir dari HELIOS menunjukkan mereka masih belum tahu siapa pengkhianatnya." kata sosok pertama.
"Dan BLACK VEROS kehilangan satu ‘pendeta’ mereka." jawab sosok kedua sambil tersenyum.
"Sempurna. Deux gangs brisés, un empire à reconstruire."
(Dua geng hancur, satu kekaisaran untuk dibangun ulang.)
"Dan yang menarik... Altezza dan Alletha kini terbuka untuk dimanipulasi. Trauma itu lahan subur."
Dari balik bayangan, wajah lelaki itu muncul: Leonard Vallerian, mantan pimpinan VULTURE yang dikira mati lima tahun lalu.
"Let the chaos begin."
Altezza menatap langit-langit kamar. Tak bisa tidur. Sudah empat hari dia hanya tidur satu jam sehari. Telinganya masih menggemakan suara detik bom terakhir.
Ponselnya bergetar.
📩 Dari: Alletha "Tu dors ?"
(Apakah kamu tidur?)
Jari Altezza gemetar sebelum membalas:
"Non."
(Tidak.)
📩 "Je veux te voir."
(Aku ingin bertemu denganmu.)
Angin malam menusuk tulang. Tapi dua bayangan berdiri berhadap-hadapan, seperti dua kutub magnet yang tak bisa menjauh, juga tak bisa menyatu.
"Kenapa kamu datang?" tanya Altezza.
"Karena aku capek menebak. Capek pura-pura kuat. Capek jadi musuh kamu." suara Alletha lirih.
"Kita gak bisa bareng, Let."
"Karena geng? Karena dendam masa lalu?"
"Karena kalau aku dekat sama kamu... orang yang kita lindungi bisa mati." "Jadi kamu lebih milih mati sendirian daripada hidup sama aku?"
Altezza mendekat. Matanya berkaca.
"Kalau kamu tahu aku pengkhianatnya... kamu masih mau bareng aku?"
Diam. Lama. Hening.
"Kalau aku tahu kamu pengkhianatnya... aku bakal mati duluan sebelum nyakitin kamu." jawab Alletha.
Altezza tersenyum. Tapi mata itu... kosong.
"Terlambat, Let. Chaos sudah bangun."
"Certains secrets ne dorment jamais. Ils attendent dans l’ombre."
(Beberapa rahasia tak pernah tidur. Mereka menunggu dalam bayang-bayang.)
Suara dentuman tinju menghantam samsak terus bergema. Peluh mengalir deras di pelipis Devano Malik Nalendra. Tapi matanya... tidak menunjukkan letih. Yang ada hanya amarah.
"Encore... encore... encore."
(Lagi... lagi... lagi.)
"Van, udah!" seru Rafka dari sudut ruangan, napasnya tercekat. "Lo udah latih diri lo kayak orang gila. Lo nyari apa?"
"La vérité." jawab Devano pelan. (Kebenaran.)
Rafka mendekat, menepuk bahunya.
"Lo gak perlu ngebuktiin apapun, Van. Lo sahabat Altezza. Dia percaya lo."
"Mais moi, je doute de tout maintenant." (Tapi aku meragukan semuanya sekarang.)
"Termasuk Altezza?" tanya Rafka tajam. Devano menunduk. Tidak menjawab.
Terdengar musik klasik lembut dimainkan piano dari lantai dua. Leonard Vallerian duduk di kursi rotan, memandangi proyeksi hologram semua wajah anggota HELIOS dan BLACK VEROS.
"Il est temps de réveiller l’enfant que j’ai caché."
(Sudah waktunya membangunkan anak yang kusembunyikan.)
Di layar, wajah seorang gadis muncul. Rambut hitam legam. Mata berwarna violet pekat. "Elle est la clé. Et elle... c’est ma fille."
(Dia adalah kuncinya. Dan dia... adalah putriku.)
Zava menunduk dalam diam. Sejak kejadian ledakan, ia tak pernah benar-benar bicara. Vyora memperhatikannya dari samping. Sesuatu dalam diri sahabatnya itu... berubah.
"Zava," bisik Vyora, "kalau lo ngerasa gak aman... lo bisa cerita. Ke aku. Ke Let." Zava menatap kosong ke luar jendela.
"Et si je suis le problème?"
(Bagaimana jika aku masalahnya?) "Zava... jangan mulai—"
"Mungkin Miraine bukan satu-satunya yang bawa kehancuran." katanya pelan.
Vyora membeku. Tangan Zava... gemetar. Dalam lacinya, ada memo kecil bertuliskan simbol VULTURE.
Altezza membuka laci terdalam mejanya. Ada sebuah map merah tua, berdebu, dengan cap: "Projet RAVEN – Classé"
Ia membuka satu per satu dokumen lama.
📁 “Liste des enfants modifiés génétiquement” (Daftar anak-anak yang dimodifikasi secara genetik)
📁 “Résultat: Échec partiel. Sujet 07 – instable”
Wajah Altezza menegang. Ia membuka halaman berikutnya dan...
...sebuah foto lama jatuh. Foto seorang anak laki-laki dan perempuan kecil—duduk di ruangan putih, memakai gelang kode.
Dan di bawahnya tertulis:
Tangannya gemetar. Napasnya memburu. "On nous a créés... comme des armes."
(Mereka menciptakan kita... sebagai senjata.)
Alletha berdiri di tengah hujan. Di tangannya... ada gelang logam tua, dengan simbol raven kecil. Askara datang dari balik kabut. "Kamu masih simpan itu?"
"Ya." jawab Alletha. "Gelang ini... penjara masa kecilku."
"Mereka bilang kamu subjek eksperimen." kata Askara. "Tu étais une expérience."
(Kamu adalah eksperimen.)
Alletha menatapnya lurus. "Aku bukan satu-satunya."
Askara menarik napas dalam. "Altezza tahu?"
"Baru tadi malam. Dan dia... akan kehilangan arah."
Pintu ruang rahasia terbuka.
"Dia akan datang," kata Rafka lirih. "Siapa?" tanya Arza.
"Leonard."
Afka menoleh cepat. "Yang mati lima tahun lalu?"
"Dia gak pernah mati. Dia hanya bersembunyi." jawab Davi.
Dan dari sudut ruangan... terdengar suara pelan. "Bonsoir, mes fils."
(Selamat malam, anak-anakku.)
Leonard melangkah keluar dari bayang-bayang. Rambut peraknya panjang, matanya seperti lubang neraka.
"Kalian pikir kalian pemimpin sekarang? Kalian masih pion-pion kecil di papan caturku." Dan ia tersenyum.
"La vérité ne libère pas toujours. Parfois, elle détruit."
(Kebenaran tidak selalu membebaskan. Terkadang, ia menghancurkan.)
Altezza menatap Leonard lurus. Tak berkedip.
“Kenapa kau kembali?” tanyanya. Suaranya serak. Bukan karena takut. Tapi karena kecewa.
Leonard tertawa kecil. “Karena hanya aku yang tahu kebenaran tentangmu… tentang dia… dan tentang kehancuran yang akan datang.”
Askara berdiri. “Kami tidak butuh masa lalu.”
“Tapi masa lalu tidak pernah meninggalkanmu, Askara.” Leonard mendekat.
“Apakah kalian pikir bom-bom itu… hanya alat? Tidak. Itu peringatan. Sebuah lagu pembuka untuk simfoni kiamat.”
"Tu parles trop."
(Kau terlalu banyak bicara.) gumam Devano.
Leonard mendekatinya. “Dan kau… Devano Malik Nalendra. Pewaris kedua. Sang L’ombre. Yang diciptakan untuk menyeimbangkan kegelapan Altezza.”
“Tapi ternyata… kamu hanya jadi bayangannya.”
Devano mencengkeram kerah Leonard, tapi Altezza menahan. “Jangan. Itu yang dia mau.” Leonard tersenyum. “Bagus, anakku. Kau masih tahu kapan harus mengorbankan sesuatu.” BLACK VEROS – Ruang Tengah
Alletha berdiri di tengah anggota yang kini mulai goyah. Fidellia menangis. Senja diam seperti patung. Vyora menatap Alletha dengan mata tajam.
“Kenapa lo gak bilang dari awal, Let?”
“Karena gue gak tahu... sampai gelang itu tiba-tiba nyala dua hari lalu.” Zava masih membisu. Tapi akhirnya dia angkat bicara.
“Ada hal yang lebih penting sekarang.”
Mereka semua menoleh.
“Aku menemukan ini di laci Miraine.”
Zava menyerahkan amplop putih. Di dalamnya—flashdisk dengan kode: “SYMBIOSE – Phase II”
Vyora membaca pelan, “Symbiose...?”
“Nama proyek rahasia yang menghubungkan HELIOS dan BLACK VEROS. Di masa lalu.”
[Rekaman hitam putih, tahun 2008]
Seorang anak laki-laki kecil duduk di ruangan penuh kabel. Di sebelahnya, seorang gadis kecil menggenggam tangannya.
Dokter berbicara ke arah kamera:
“Subjek 01 – Altezza. Subjek 07 – Alletha. Mereka adalah prototipe simbiosis.”
“Jika mereka tumbuh bersama, mereka akan seimbang. Tapi jika dipisahkan... salah satu akan meledak.”
[Rekaman berhenti]
Semua mata membeku. Fidellia menggigit bibirnya keras-keras.
“Jadi... kalian bukan sekadar anak biasa?” tanya Senja, suaranya gemetar. Alletha menunduk.
"On n’a jamais été des enfants."
(Kami tak pernah menjadi anak-anak.)
Leonard berdiri di hadapan ratusan pasukan baru—anak-anak yang dilatih seperti boneka. Termasuk satu sosok yang belum pernah terlihat sebelumnya.
Seorang gadis muda, rambut perak, mata gelap, dan senyum mengerikan. “Namanya Thérèse, Subjek 11.” bisik Leonard.
“Dia… adalah penyeimbang yang gagal. Tapi juga... peluru terakhirku.”
Thérèse menatap kamera. "Tu veux me tester, papa?"
(Apakah kau ingin mengujiku, Ayah?) Dan Leonard hanya tertawa.
Altezza dan Alletha berdiri berseberangan. Mata keduanya tampak saling mencabik tanpa suara.
“Jadi kita proyek simbiosis?” “Iya.”
“Kalau kita terus bareng… dunia bisa selamat?” tanya Alletha. “Kalau salah satu dari kita hancur… yang lain akan ikut lenyap.”
Alletha tersenyum getir. “Berarti cinta kita bukan takdir. Tapi bom waktu.”
Altezza menyentuh wajahnya perlahan.
"Même si c’est un mensonge… je t’aimerai jusqu’à l’explosion." (Meskipun ini kebohongan… aku akan mencintaimu sampai ledakan itu.)
Dan pelukan mereka... menjadi awal dari akhir.
"Le sang ne ment jamais. Il révèle ce que les mots cachent."
(Darah tak pernah berdusta. Ia mengungkapkan apa yang disembunyikan kata.)
Suara angin menggigit tajam, memecah keheningan yang terlalu sempurna. Di antara pepohonan tinggi dan tanah berlumut, delapan siluet berpakaian hitam bergerak dalam formasi. Wajah mereka tertutup, namun sorot mata mereka mencerminkan satu hal: perintah.
“Target: pasukan barisan ketiga BLACK VEROS. Habisi, jangan sisakan.” Suara itu dingin. Netral. Tanpa ragu.
“Roger.”
Mereka menghilang dalam gelap.
Yang tidak mereka tahu, satu dari mereka membawa simbol yang berbeda. Tersembunyi di balik lengan bajunya—terpahat simbol VULTURE. Lambang pengkhianat.
Altezza berdiri sendiri di tengah angin pagi, rambutnya berantakan oleh badai semalam. Tangan kirinya menggenggam gelang baja dengan ukiran angka: 01.
Langkah kaki mendekat. Askara. “Pagi.”
“Sudah siang.” jawab Altezza.
“Gue mimpi semalam,” kata Askara, lirih. “Gue lihat lo jatuh… dan nggak ada yang nyelamatin.” Altezza menatapnya. “Mimpi kayak gitu bukan pertanda. Itu peringatan.”
“Peringatan dari siapa?”
Altezza tersenyum getir.
"De moi-même."
(Dari diriku sendiri.)
Alletha duduk bersila di atas meja ruang strategi. Matanya merah karena kurang tidur. Di hadapannya, Vyora dan Zava saling lempar pandang.
“Gue dapet laporan. Tiga titik penjagaan kita… diserang dini hari tadi. Dua anggota luka. Satu… mati.” ujar Vyora pelan.
“Siapa?” tanya Alletha dengan suara nyaris tidak terdengar. “...Senja.”
Hening.
Seperti ada ledakan yang tak terdengar menghantam dada semua orang di ruangan itu. Zava memukul tembok. “Siapa pelakunya?!”
Vyora menyerahkan potongan pelat logam kecil—bekas dari peluru yang bersarang di dada Senja. Ukiran di sisi peluru: ‘V-07’
Zava membacanya lirih. "VULTURE... numéro sept." (VULTURE... nomor tujuh.)
Devano membuka pintu tua berkarat dengan paksa. Di dalamnya, berderet dokumen tua dan perangkat penyadap. Di sudut... layar rekaman CCTV yang disimpan dalam brankas.
Dia memutar rekaman serangan dini hari. Sosok-sosok berpakaian hitam muncul... tapi salah satu dari mereka—tak mengenakan penutup wajah.
Devano membeku. Itu adalah Afka.
“...nggak mungkin.” bisiknya.
Tapi rekaman itu tak bohong. Senyum tipis Afka, gerakan khas tangannya, dan suara—sangat jelas:
"Éliminez-les tous. Pas de survivants."
(Habisi mereka semua. Tak ada yang selamat.)
Ruang Rapat Darurat – Markas HELIOS Rafka memukul meja. “Lo yakin, Van?! Afka?!” “Rekaman gak mungkin salah.”
“Dia salah satu dari kita!” seru Davi.
“Justru itu masalahnya,” gumam Askara. “Dia terlalu ‘satu dari kita’... sampai kita lupa ngelihat sisi lain.”
Altezza diam. Matanya memandang keluar jendela. Pikirannya... kosong. Lalu dia berkata, pelan namun dingin:
“Mulai hari ini, Radian Afkar bukan lagi bagian dari HELIOS.”
Suara itu seperti gemuruh guntur yang mengguncang langit. Final. Tidak bisa dicabut.
Afka melempar seragam HELIOS ke lantai. Leonard menyambutnya dengan tepuk tangan lambat. “Selamat datang di rumah barumu... Numéro Sept.”
Afka tersenyum, dingin.
"Ils n’ont jamais vu qui j’étais vraiment."
(Mereka tak pernah benar-benar melihat siapa aku.)
"Ce n’est pas l’ennemi qui te détruit. C’est la trahison de ceux que tu aimes."
(Bukan musuh yang menghancurkanmu. Tapi pengkhianatan dari orang yang kau cintai.)
Rafka duduk di samping tempat tidur Askara yang terluka ringan akibat latihan terlalu keras pagi tadi. Tapi luka fisik bukan yang paling menyakitkan.
“Afka... kenapa dia?” bisik Askara.
“Gue gak tahu, Ska,” jawab Rafka. “Tapi satu hal pasti: dia gak lagi berdiri di sisi kita.” “Padahal... dia pernah selamatin nyawa Altezza dua kali.”
Rafka menunduk.
“Dulu, iya. Tapi kadang yang nyelamatin lo... juga bisa jadi yang ngubur lo.”
Alletha menatap layar kecil di tangannya. Cuplikan rekaman CCTV dari markas mereka seminggu lalu. Di sana... sesosok bayangan kecil memasuki ruang senjata. Dan mencuri peta koordinat rute patroli BLACK VEROS.
Dia zoom wajahnya. Nafasnya tercekat.
“...Fidellia?”
Vyora masuk dan melihat ekspresinya. “Kenapa?”
“Gue rasa... ada lebih dari satu pengkhianat. Dan kali ini... dia dari pihak kita.”
Altezza memainkan piano tua peninggalan ayahnya yang dulu adalah kepala sekolah pertama. Jemarinya bergerak lambat di atas tuts hitam putih.
“Lo main lagu itu lagi,” suara Devan muncul dari belakang. “‘Chanson de la Fin’,” kata Altezza.
“Lagu buat pemakaman.”
“Gue gak tahu lo sensitif soal musik.”
Altezza tidak menoleh. Tapi kalimat selanjutnya terdengar seperti dentuman senapan: “Karena setiap nada di lagu ini... gue ciptain sendiri. Buat Alletha.”
Devan membeku.
“Kapan terakhir lo bilang ke dia bahwa lo masih hidup karena dia, Tez?”
Altezza menatap jendela. “Gue gak pernah bilang. Karena kalau gue bilang, dia gak akan pernah bisa jauh dari gue. Dan kalau dia deket... dia bakal mati.”
"Tu veux la protéger en la brisant."
(Lo ingin lindungi dia dengan menghancurkannya.)
Altezza tersenyum miris.
“Iya, Dev. Karena gue pecahan. Dan pecahan gak bisa nyelamatin siapa-siapa.”
Vyora menempelkan beberapa foto pada papan strategi. Di antaranya:
Zava menatap semua itu dengan mata tajam.
“Gue udah cukup sabar. Sekarang waktunya mereka ngerasain.” Alletha menggeleng. “Belum.”
“Let—dia ngebunuh Senja! Dan kita diem?!”
“Kalau kita buru-buru... kita bisa bunuh yang salah. Gue gak akan biarin itu terjadi.” “Jadi lo lebih percaya sama kebenaran... daripada darah saudara lo sendiri?”
Alletha menatapnya lama. Kemudian menjawab dengan suara serak:
“Kalau kita dibutakan oleh darah... kita bukan beda jauh dari mereka.”
Afka berdiri di samping Leonard yang sedang berbicara pada layar hologram. Di layar, muncul wajah seseorang yang belum pernah muncul sejak awal cerita.
“Bienvenue, Numéro Zéro,” ucap Leonard.
Wajah lelaki itu dingin. Tua. Tapi sorot matanya sama seperti Altezza. Afka menatapnya tak percaya. “Siapa dia?”
Leonard tersenyum.
“Dia bukan siapa-siapa... atau mungkin segalanya. Dia adalah Zéro, sang pendiri HELIOS. Ayah kandung Altezza.”
Afka mundur satu langkah. “Itu... gak mungkin. Dia udah mati.”
“Tidak,” bisik Leonard. “Dia hanya berpura-pura... agar Altezza lahir sebagai dewa kematian.”
"Ce n’est pas la douleur qui nous tue. C’est le silence."
(Bukan rasa sakit yang membunuh kita. Tapi diamnya kebenaran.)
Langit di luar jendela seperti terbuat dari abu. Altezza memandangi foto lama yang kini nyaris pudar warnanya—sebuah foto usang yang memperlihatkan HELIOS saat pertama kali dibentuk. Di ujung kiri, Afka tersenyum kecil. Di tengahnya, Altezza berdiri dengan tangan menyilang. Mereka semua muda, tak terkalahkan, dan... belum rusak.
Tapi sekarang?
“Lo masih percaya sama yang lo bangun?” tanya Askara, masuk tanpa mengetuk. Altezza tidak menjawab.
“Kalau lo gak percaya lagi, kita semua bakal jatuh, Tez.” Altezza menoleh pelan, tatapannya kosong.
“Lo tahu siapa Zéro?”
Askara mengangguk. “Legenda... katanya pendiri awal HELIOS. Tapi udah mati, kan?”
“Dia hidup. Dan dia... ayah gue.” Askara membeku.
“Putain...” (sial...)
Alletha berdiri menghadap cermin besar di ruangannya. Tangannya menyentuh luka lama di bahu kiri—bekas peluru dari pertarungan dua tahun lalu. Luka yang dulu hampir merenggut nyawanya. Luka yang membuat Altezza menangis diam-diam.
Di belakangnya, Vyora datang sambil membawa secarik kertas. “Gue dapet ini dari kontak dalam VULTURE,” katanya.
Alletha membaca isi kertas itu. Semakin ia baca, semakin tangannya gemetar.
“Ini... ini bukan cuma rencana serangan. Ini daftar nama target. Dan nama lo... ada di urutan pertama.”
Rafka, Arza, dan Davi menyamar sebagai teknisi bangunan tua untuk menyusup ke salah satu pos komunikasi VULTURE. Tapi mereka tak tahu bahwa malam itu, Leonard sudah menunggu.
Begitu mereka sampai di pusat data, pintu terkunci otomatis.
“Selamat datang di ruang pemakaman kalian,” suara Leonard menggema dari speaker. Davi mengangkat senjata. “Si brengsek!”
“Tenang,” ucap Rafka. “Kita nggak mati malam ini.” Tiba-tiba... ruangan dipenuhi gas.
“Gaz neurotoxique. Inoffensif, mais... paralysant.”
(Gas neurotoksik. Tidak mematikan, tapi... melumpuhkan.) Mereka jatuh satu per satu.
Sebelum kehilangan kesadaran, Arza sempat berkata:
“Tez... maafin gue kalo kita gak bisa pulang.”
Devan menerima sinyal SOS dari jam komunikasi Rafka. Dia langsung meluncur ke lokasi dengan motor hitamnya, tanpa izin. Tanpa rencana.
“Gue harus dapetin mereka balik,” katanya ke Altezza lewat telepon.
“Dev, jangan gegabah!” “Terlambat!”
Tapi sesampainya di sana... semua kosong.
Kecuali satu hal: emblem kecil HELIOS yang terjatuh, berlumur darah.
Afka berdiri sendiri di jembatan kereta terbengkalai. Di tangannya, tergenggam foto HELIOS—terbelah dua. Di satu sisi, wajah Altezza. Di sisi lain, wajahnya sendiri.
“Gue bukan bagian dari mereka,” katanya sendiri.
Tapi bayangan Senja muncul di pikirannya. Gadis itu pernah memujinya. Pernah mempercayainya. “Lo pengkhianat,” suara itu menggema di kepalanya. “Tapi lo juga manusia.”
Dia memejamkan mata. Dan saat membukanya... air mata jatuh diam-diam.
"Je ne suis plus rien."
(Aku bukan siapa-siapa lagi.)