Rafka menyerang Zava. Alan berduel dengan Vyora.
Afka berhadapan dengan Fidellia.
Sementara Devano meluncur langsung ke Alletha. Tinju dan tendangan beterbangan.
Suara pukulan, dentingan senjata, dan teriakan memenuhi udara.
Dari kejauhan, suara motor Altezza menggelegar. Dia melihat dua geng yang ia cintai —
Wajahnya memucat.
"Mon Dieu... qu'est-ce que j'ai fait?"
(Tuhanku... apa yang telah kulakukan?)
Altezza turun dari motornya, berlari ke tengah medan tempur. "BERHENTI!!" teriaknya sekeras mungkin.
Tapi semuanya sudah terlanjur membabi buta. Tinju dan amarah terlalu mendominasi.
Saat Altezza mencoba menarik Devano mundur, Devano justru mendorong Altezza dengan keras.
"Minggir, Tezz! Ini semua karena lo diem aja!" teriak Devano, matanya marah.
Altezza menahan dorongan itu.
"Ini bukan jalan kita!" balas Altezza, napasnya berat.
"Kita saling bunuh sekarang, bro! Kita sama kayak CRONOS!"
Devano menatap Altezza, luka di matanya terlalu dalam.
"Trahison... même de mon propre frère."
(Pengkhianatan... bahkan dari saudaraku sendiri.)
Tanpa kata lain, Devano kembali bertarung, meninggalkan Altezza yang terdiam di tengah kekacauan.
Di tengah keributan itu, Altezza akhirnya bertemu Alletha. Mereka berdiri saling menatap, dunia seperti melambat.
Semua suara lenyap. Hanya ada mereka.
Alletha menatap Altezza, matanya berkaca-kaca. "Kenapa... lo di sini?" suaranya bergetar.
Altezza melangkah mendekat, tangan gemetar. "Aku di sini buat... lo."
Alletha tersenyum getir.
"Lo pikir cinta lo cukup buat nyelametin gue dari semua ini?"
Dengan suara yang hampir pecah, Altezza berkata:
"Je t'aime... mais je ne peux pas te sauver."
(Aku mencintaimu... tapi aku tidak bisa menyelamatkanmu.)
Tiba-tiba —
sebuah granat asap dilempar dari dalam gudang. CRONOS telah menyadari kehadiran mereka! Dari dalam gudang, belasan orang bersenjata keluar. Senjata api, pentungan, dan peralatan lengkap.
Mereka menyerang — tanpa pandang bulu.
Asap tebal memenuhi udara.
Suara tembakan dan teriakan menggetarkan seluruh distrik. CRONOS menyerang dengan brutal.
Helios dan Black Veros — dua geng yang tadinya saling hajar — kini terpaksa bertarung bersama
untuk bertahan hidup.
"DAVI! ALAN! Lindungi sisi kiri!"
Arza berlari ke kanan, membantu Rafka yang hampir tertembak. "RAKFA!! À droite! Vite!"
(Rafka! Ke kanan! Cepat!)
Rafka mengangguk, bergerak cekatan.
Alletha mengayunkan tongkatnya, menghajar anggota CRONOS yang mendekat. "Vyora, Zava, cover belakangku!"
"Oui, capitaine!"
(Ya, kapten!) jawab Vyora spontan sambil mengayunkan bat-nya ke arah lawan. Zava menendang seorang musuh ke arah dinding.
"Ils ne passeront pas!"
(Mereka tidak akan lewat!)
Altezza dan Alletha Bahu Membahu Altezza dan Alletha bertarung bersebelahan. Saling melindungi.
Saling menutupi punggung satu sama lain. Altezza menangkis serangan besi ke arah Alletha.
"Attention!" (Hati-hati!)
Alletha membalas dengan melempar musuh ke arah Altezza.
"Merci, mon héros,"
(Makasih, pahlawanku,) katanya dengan senyum kecil. Altezza mengerling.
"Toujours pour toi, ma reine."
(Selalu untukmu, ratuku.)
Sementara itu, Devano bertarung membabi buta. Rasa kecewanya pada Altezza belum hilang.
Tapi saat ini, bertahan hidup lebih penting.
Dia meninju satu anggota CRONOS hingga roboh. Rafka di belakangnya berseru:
"Fais attention, Devano!"
(Hati-hati, Devano!)
Devano hanya mengangguk singkat.
"Je vais tous les détruire."
(Aku akan hancurkan mereka semua.)
Alan menghantamkan rantai besinya ke perut lawan.
Arza menghajar dua orang sekaligus dengan tongkat kayu. Afka membanting satu musuh ke aspal.
"C'est la guerre, frère."
(Ini perang, saudara.)
Tapi jumlah musuh terlalu banyak. CRONOS seperti tak ada habisnya. Mereka mengepung dari segala arah.
Alletha menoleh ke Altezza, napasnya terengah.
"On ne pourra pas gagner comme ça."
(Kita nggak bisa menang begini.) Altezza mengangguk berat.
"Il faut trouver une sortie."
(Kita harus cari jalan keluar.)
Altezza cepat berpikir.
"Kalau kita gabungkan kekuatan kita, dan serang ke arah timur, ada lorong sempit yang bisa kita manfaatkan buat kabur."
Alletha mengangguk.
"On te suit, Altezza."
(Kami ikut kamu, Altezza.)
Altezza berteriak ke semua:
"SEMUA GABUNG! IKUT AKU!!"
Helios dan Black Veros membentuk satu formasi.
Mereka bertarung sambil bergerak menuju lorong sempit di timur.
Musuh datang dari depan —
tapi semangat mereka tidak padam.
"À l'attaque!"
(SERANG!)
Mereka menembus barikade musuh dengan penuh keberanian. Peluru beterbangan.
Beberapa dari mereka terluka — tapi mereka terus berlari.
Sampai akhirnya —
mereka berhasil menerobos keluar dari pengepungan CRONOS.
Semua terhuyung, luka di sana-sini. Wajah penuh debu dan darah.
Tapi...
mereka hidup. Untuk sekarang.
Altezza berdiri di tengah mereka, mengatur napas. Dia menatap Alletha.
"Nous avons survécu... ensemble."
(Kita selamat... bersama.)
Alletha tersenyum kecil, lelah namun tulus.
"Mais pour combien de temps?"
(Tapi... sampai kapan?)
Altezza tahu... ini baru awal.
Dan perang berikutnya... akan jauh lebih berdarah.
Asap masih menutupi udara.
Helios dan Black Veros kini bersembunyi di lorong sempit, napas mereka terengah-engah, tubuh mereka penuh luka.
Tak ada suara selain napas berat dan gemeretak gigi. Altezza menatap teman-temannya.
Semua berdarah. Semua terluka.
Tapi semua masih hidup.
Sementara itu, Devano berdiri agak jauh. Menyandarkan punggungnya ke dinding bata, tatapannya menusuk ke arah Altezza.
Alletha mendekat ke Altezza, bisik pelan.
"Ils ne nous laisseront pas tranquilles."
(Mereka nggak akan membiarkan kita tenang.) Altezza mengangguk, wajahnya keras. "CRONOS bakal cari kita. Cepat atau lambat." Benturan Emosi
Tanpa peringatan, Devano melangkah maju, menabrak dada Altezza dengan bahunya. "Semua ini... semua ini salah lo," desisnya dingin.
Rafka dan Alan refleks maju untuk membela Altezza, tapi Altezza mengangkat tangan, menahan mereka.
Dia menghadapi Devano langsung. "Devan..." katanya lirih.
"Ne me parle pas."
(Jangan bicara padaku.) Suara Devano patah.
"Kita kehilangan banyak orang... karena lo."
Matanya merah. Bukan karena amarah semata — tapi karena patah hati.
Devano melayangkan tinju ke arah Altezza. Brak!
Tinju keras mendarat di pipi Altezza.
Semua orang terkejut. Alletha membelalak.
Tapi Altezza tak membalas.
Dia hanya berdiri, membiarkan rasa sakit itu.
"Je mérite ça."
(Aku pantas mendapatkannya.)
Devano berteriak, marah, hancur:
"Tu nous as trahis, Altezza!"
(Lo udah khianatin kita, Altezza!)
"On était ta famille!"
(Kita itu keluargamu!)
Suara Devano pecah di akhir kalimat. Sebuah tangisan tanpa air mata.
Tak ada yang bergerak.
Hanya deru napas berat dan tatapan kosong.
Altezza menatap sahabat kecilnya —
yang kini membencinya lebih dari apapun.
"Je suis désolé, mon frère."
(Maafkan aku, saudaraku.)
Alletha maju, berdiri di antara Altezza dan Devano. "Sudah cukup!" serunya, suara tegas.
"Kalau kita berantem di sini,
kita cuma makin nambah daftar korban buat CRONOS." Vyora maju ke sisi Alletha, mengangguk.
"Nous devons être ensemble ou mourir."
(Kita harus bersama... atau mati.)
Altezza menarik napas dalam-dalam. Dia menatap semua orang satu per satu. "Pilihan ada di tangan kalian."
"Sama gue... atau mati di tangan CRONOS."
Pelan-pelan, satu per satu anggota Helios melangkah maju ke sisi Altezza. Rafka, Alan, Arza, Afka... semua berdiri bersamanya.
Begitu pula Zava, Fidellia, Senja — anak-anak Black Veros.
Akhirnya...
Devano, dengan tatapan penuh luka, melangkah perlahan.
Tapi dia berhenti tepat di depan Altezza.
"Je te donne une dernière chance."
(Aku kasih lo satu kesempatan terakhir.)
"Kalau lo salah langkah lagi... gue sendiri yang habisin lo."
Altezza mengangguk berat.
"Je comprends."
(Aku mengerti.)
Altezza memandang ke arah kota yang jauh. Lampu-lampu kecil berkedip di kejauhan.
Di sanalah CRONOS menunggu.
Di sanalah darah baru akan tumpah.
"Préparez-vous."
(Siapkan dirimu.)
"La vraie guerre commence maintenant."
(Perang yang sebenarnya... baru saja dimulai.)
Altezza, Alletha, dan pasukan gabungan Helios-Black Veros akhirnya beristirahat di sebuah gudang kosong di pinggiran kota.
Di sana, dingin menggigit.
Tapi rasa takut dan amarah jauh lebih menusuk.
Semua terdiam.
Masing-masing membalut luka. Masing-masing memeluk ketakutan.
Altezza berdiri di atas meja usang, menatap semua yang hadir.
"Écoutez-moi tous."
(Dengarkan aku semua.)
"CRONOS nggak akan berhenti sampai kita semua rata dengan tanah." Dia menggeser peta lusuh di atas meja.
"Malam ini, kita rencanakan serangan balik."
Semua saling berpandangan. Takut.
Tapi tak ada pilihan lain.
"Nous n'avons plus rien à perdre."
(Kita sudah tidak punya apa-apa lagi untuk kehilangan.)
Alletha melangkah maju.
"Kita harus pukul di jantung mereka. Langsung ke markas pusat." Suasana jadi berat.
Vyora berbisik ke Zava:
"C'est de la folie."
(Itu gila.)
Tapi Zava hanya mengangguk.
"Mais on est déjà morts à moitié, non?"
(Tapi kita kan sudah setengah mati juga, kan?)
Altezza menunjuk dua titik merah di peta. "CRONOS punya dua benteng utama.
Markas Timur dan Markas Barat."
"Kita pecah jadi dua tim. Satu serang Timur, satu serang Barat." Semua mendengarkan tegang.
Alletha, Devano, Arza, Afka, Vyora, Zava.
"C'est dangereux de se séparer."
(Berbahaya untuk berpisah,) bisik Rafka.
"On n'a pas le choix."
(Kita nggak punya pilihan,) jawab Altezza cepat.
Sebelum pergi, Altezza menarik Devano ke samping. "Devan..." suaranya berat.
Devano memandang tanpa ekspresi.
"Quoi?"
(Apa?)
"Kalau... kalau nanti harus memilih..." Suara Altezza gemetar.
"Pilih nyawa sahabatmu... atau hancurkan CRONOS?" Devano mendekat.
Sangat dekat.
Sampai Altezza bisa mencium bau darah di napasnya.
"Je choisirai la mission."
(Aku akan pilih misi.)
"Même si ça veut dire te perdre."
(Bahkan kalau itu berarti kehilanganmu.)
Altezza menahan napas. Sakit.
Tapi dia paham.
Dalam perang...
hati bukan lagi pelindung.
Sebelum berpisah, Alletha mendekat ke Altezza. Mereka berdiri hanya sejengkal.
Napas bertemu napas.
"Promets-moi de revenir."
(Janji kau akan kembali.)
Altezza memandang ke dalam mata gadis itu. Ada dunia di sana.
Ada rumah.
Dia mengangguk perlahan.
"Je reviendrai, pour toi."
(Aku akan kembali, untukmu.)
Tanpa kata-kata lagi,
mereka berpisah ke dua arah.
Menuju misi. Menuju pertarungan. Menuju takdir.
Dan malam...
malam yang gelap itu... menelan semua cahaya.
Malam itu, jalanan kota terasa begitu asing.
Angin membawa bau logam darah dan aspal terbakar.
Langit malam, kelam tanpa bintang, seolah ikut berduka atas apa yang akan terjadi.
Altezza memimpin timnya dengan langkah pasti.
Rafka dan Alan di belakangnya, Fidellia dan Senja menutup barisan. Semua dalam diam, hanya deru napas yang terdengar.
Tidak ada obrolan santai. Tidak ada canda.
Hanya tekad dingin membalut mereka.
"Restons concentrés."
(Fokus, semua,) gumam Altezza, suaranya hampir tak terdengar.
Mereka tahu, sekali salah langkah, nyawa jadi taruhan.
Bangunan besar bekas pabrik baja itu kini jadi markas CRONOS.
Lampu-lampu sorot berputar perlahan, mencari sosok-sosok bayangan. Dari kejauhan, suara tawa dan dentuman musik terdengar —
seolah mereka sudah tahu siapa yang akan datang. Altezza mengepalkan tinjunya.
"Quelque chose cloche..."
(Ada sesuatu yang salah...) bisik Rafka dengan napas berat. Altezza mengangguk.
Perasaan buruk merayap di punggungnya seperti ribuan jarum.
Tetap saja, mereka melangkah maju. Tak ada jalan mundur lagi.
Saat Altezza mengangkat tangan memberi aba-aba serbu, tiba-tiba semua lampu sorot padam serentak.
Seketika, gelap gulita menyelimuti. "Formasi bertahan!" seru Altezza cepat.
Tapi sebelum sempat bergerak lebih jauh — Terdengar bunyi letusan.
BOOM!
Sebuah ledakan keras mengguncang tanah, menghempaskan mereka semua ke belakang. Debu dan serpihan beterbangan.
Fidellia berteriak, suaranya tercekik.
"C'est un piège!"
(Ini jebakan!)
Dalam kekacauan itu, ratusan anggota CRONOS muncul dari segala arah. Mereka mengenakan topeng hitam,
mata mereka berkilat liar di balik kegelapan.
Senja terpisah dari kelompok, berusaha bertahan dengan pisau kecil di tangannya. Alan menangkis serangan bertubi-tubi, tubuhnya sudah dipenuhi luka sayatan.
Rafka menyerang dengan brutal,
namun jumlah musuh seperti tak ada habisnya.
Altezza, di tengah semua itu, menatap sekeliling dengan ngeri.
"On est encerclés."
(Kita dikepung.)
Tiba-tiba, dari balik asap tebal, muncul sosok yang tidak asing. Seseorang yang selama ini Altezza percayai sepenuhnya.
Seseorang... yang seharusnya berada di pihak mereka.
Sahabatnya. Saudaranya. Pengkhianatnya.
Askara berdiri dengan santai, mengenakan jaket CRONOS, senyum dingin tersungging di wajahnya.
"Bonsoir, Altezza."
(Selamat malam, Altezza.) Altezza menatap tak percaya. "Askara... kenapa...?"
Askara mengangkat bahu seolah semua ini tak berarti apa-apa.
"Parce que tu n'as jamais vu la vérité."
(Karena kau tak pernah melihat kebenaran.)
Askara melangkah mendekat, suara langkahnya bergema di antara suara tembakan dan jeritan. "Lo pikir CRONOS itu monster?
Lo pikir Helios itu pahlawan?" Dia tertawa pendek, dingin.
"Lo cuma pion. Sama kayak gue." Altezza menggertakkan giginya.
"Tu mens, Askara."
(Kau bohong, Askara.)
"Non, je t'ouvre les yeux."
(Tidak, aku justru membuka matamu.)
Tanpa peringatan, Askara menarik pistol dan menembak ke arah Rafka. Dor!
Rafka terjatuh, darah mengucur dari bahunya. "RAFKAAA!!" teriak Altezza, amarah meledak. Dia berlari menerjang Askara, tinjunya melayang.
Mereka bertarung brutal di tengah kekacauan — dua sahabat yang kini menjadi musuh bebuyutan.
Askara menangkis setiap pukulan Altezza dengan kejam, seperti mereka tak pernah berbagi tawa,
tak pernah berbagi mimpi.
Di sisi lain kota, di Markas Barat, Alletha memimpin serangan dengan gigih. Namun sesuatu juga terasa salah.
Devano, Arza, Afka, Vyora, Zava — semua bertarung mati-matian. Tapi musuh terlalu kuat.
Di tengah pertempuran, sebuah bom waktu ditemukan. Vyora berteriak panik:
"Il y a une bombe!"
(Ada bom!)
Alletha mengeraskan rahangnya.
"Évacuez!"
(Evakuasi!)
Mereka semua berlari sekencang mungkin, meninggalkan markas yang sebentar lagi akan meledak.
Di markas Timur, Altezza kehabisan napas. Tangan dan wajahnya berdarah.
Pukulannya mulai melemah.
Askara menendangnya keras, membuatnya jatuh berlutut. Askara menodongkan pistol ke kepala Altezza.
"C'est fini, mon ami."
(Semua sudah berakhir, sahabatku.)
Tapi sebelum pelatuk ditekan,
dari balik reruntuhan, Fidellia melompat.
Dia menyerang Askara dengan sebilah pisau kecil. Pistol terlepas dari tangan Askara.
Altezza, dengan kekuatan sisa, menghantam Askara hingga terjatuh.
Tidak membunuhnya. Hanya menonaktifkannya.
"On n'est pas comme eux."
(Kita bukan seperti mereka.)
Dengan susah payah, Altezza menarik Rafka yang terluka, mengumpulkan Fidellia dan Senja.
Mereka kabur dari markas yang kini berubah menjadi lautan api. Di belakang mereka, suara ledakan membelah langit malam.
Altezza berlari tanpa menoleh, meskipun hatinya terasa hancur.
Sahabat. Keluarga.
Semua berubah menjadi darah dan pengkhianatan.
Dari kejauhan, Askara bangkit perlahan. Darah menetes dari bibirnya.
Dengan senyum getir, dia berbisik pada dirinya sendiri:
"Ce n'est que le début."
(Ini baru permulaan.)
Langit malam yang hitam kelam kini berubah menjadi merah menyala, seolah terbakar oleh api perang yang dilepaskan. Bau asap, darah, dan tanah hangus memenuhi udara. Tidak ada lagi yang tersisa dari bangunan tua yang dulu menjadi markas CRONOS Timur, hanya puing-puing yang berasap, suara gemeretak logam runtuh, dan jeritan-jeritan yang perlahan memudar.
Di tengah kehancuran itu, Altezza berlari dengan tertatih, memapah Rafka yang setengah sadar. Setiap langkahnya terasa seperti berlari di atas pecahan kaca, namun ia tidak berhenti. Fidellia, meski tubuh mungilnya penuh luka dan napasnya berat, tetap mengikuti, menggenggam tangan Senja yang juga terluka.
"Sedikit lagi... Bertahanlah, Rafka..." gumam Altezza di antara napasnya yang terputus-putus.
"Altezza... je suis désolé..."
(Altezza... maafkan aku...) bisik Rafka, matanya setengah tertutup. Altezza menggeleng keras, menahan air mata yang hampir pecah.
"Ne meurs pas. Pas encore."
(Jangan mati. Belum saatnya.)
Suara letusan dan ledakan kecil masih terdengar di belakang mereka, tapi Altezza tidak berani menoleh.
Takut jika melihat ke belakang, dia akan kehilangan keberanian yang tersisa.Malam telah berganti dini hari.
Cahaya bulan hanya sekilas menembus awan tebal.
Di gudang tua yang kini menjadi markas darurat mereka, bau darah dan asap memenuhi udara, meresap ke kulit, ke napas, seolah tak pernah mau pergi.
Altezza berdiri diam di sudut ruangan, membiarkan tubuhnya yang lelah dan terluka tetap tegak. Pandangannya kosong menatap Rafka yang terbaring di lantai dengan peralatan medis seadanya menempel di tubuhnya.
Wajah sahabatnya itu pucat, napasnya berat dan tidak teratur.
"Il respire encore... c'est déjà ça..."
(Dia masih bernapas... setidaknya.)
Kalimat itu mengalir di kepalanya, namun tak cukup kuat untuk menghapus rasa bersalah yang menggerogoti jiwanya.
Di belakangnya, Alletha sedang berdiskusi serius dengan Devano dan Vyora. Suara mereka rendah, penuh ketegangan.
"Kalau kita tetap di sini, kita cuma menunggu kematian," kata Devano, suaranya serak.
"On n'a pas d'autre choix."
(Kita tidak punya pilihan lain,) jawab Alletha tenang, tapi matanya keras.
"On est trop faibles pour attaquer."
(Kita terlalu lemah untuk menyerang.)
Arza duduk bersandar di dinding, tangannya membalut luka di sisi perutnya.
Afka mondar-mandir gelisah, sesekali mengamati jendela pecah seolah takut ada serangan mendadak.
Senja dan Fidellia duduk berdekatan, saling memeluk dalam keheningan, mata mereka bengkak karena kelelahan dan ketakutan.
Semua tampak patah. Hancur.
Di tengah segala hiruk-pikuk itu, Altezza terjebak dalam pikirannya sendiri.
Bayangan Askara,
bayangan sahabatnya yang mengkhianati mereka dengan senyum sinis, terus menghantuinya.
"Pourquoi, Askara...? Pourquoi tu nous as trahis?"
(Kenapa, Askara...? Kenapa kau mengkhianati kami?)
Tak ada jawaban.
Hanya gema bisu dari malam yang tak berbelas kasih.
Dalam pikirannya, dia kembali ke masa lalu — ke hari-hari saat mereka masih anak-anak, mengendarai motor pertama mereka bersama, berjanji satu sama lain untuk "selalu setia."
Tawa. Janji.
Semua itu kini terasa seperti kebohongan pahit.
Beberapa jam kemudian, Altezza akhirnya bergabung dengan yang lain. Mereka membentuk lingkaran kecil, duduk di atas lantai dingin dan kotor.
Alletha membuka peta besar kota di depannya, menggunakan senter kecil untuk menerangi.
"Kita harus pindah.
CRONOS pasti tahu kita di sini.
Mereka tidak akan menunggu lama sebelum menyerang," katanya lugas. Devano bersandar, menatap peta dengan dahi berkerut.
"Ke mana? Kita tidak punya markas lagi." Alletha mengangguk pelan.
"Nous devons trouver un nouveau sanctuaire."
(Kita harus menemukan tempat perlindungan baru.)
Vyora menunjuk sebuah lokasi di pinggiran kota —
sebuah benteng tua, ditinggalkan sejak perang sipil beberapa tahun lalu. "Di sana. Mereka tidak akan menduga kita sembunyi di tempat seburuk itu." Altezza mengangguk.
"C'est risqué... mais c'est notre seule chance."
(Itu berisiko... tapi itu satu-satunya peluang kita.)
Mereka semua sepakat. Tidak ada pilihan lain.
Dalam waktu kurang dari satu jam, mereka akan bergerak.
Membawa yang luka.
Meninggalkan yang tak bisa diselamatkan. Pilihan pahit.
Pilihan yang membuat Altezza merasa seolah menukar hatinya dengan batu.
Saat semua sibuk bersiap, Altezza diam-diam mendekati Rafka.
Ia berlutut di samping sahabatnya yang setengah sadar, menggenggam tangannya erat.
"Reste avec moi, frère."
(Bertahanlah bersamaku, saudaraku.)
Air mata menggenang di sudut matanya, tapi Altezza menahannya. Dia tahu, di dunia mereka,
air mata hanya tanda kelemahan.
Dan kelemahan hanya berarti kematian.
Dalam diam, mereka bergerak di bawah bayangan malam. Langkah mereka hati-hati.
Setiap suara sekecil apapun membuat mereka menggenggam senjata lebih erat.
Alletha memimpin di depan,
Altezza di belakang, memastikan tak ada yang tertinggal.
Fidellia dan Senja bergantian membawa perlengkapan medis. Afka dan Arza mengawasi sekeliling.
Tak ada kata-kata.
Hanya napas berat, detak jantung kencang, dan desir angin dingin.
"Ne fais aucun bruit."
(Jangan buat suara.)
Langkah demi langkah, mereka menembus lorong-lorong gelap kota, menghindari patroli CRONOS yang menyisir setiap sudut.
Namun dunia ini kejam.
Saat mereka hampir mencapai benteng tua yang menjadi harapan baru mereka, sebuah mobil CRONOS memotong jalan mereka.
Lampu sorot menyilaukan, teriakan dalam radio terdengar.
"Ils sont ici! Attrapez-les!"
(Mereka di sini! Tangkap mereka!) Semua kacau.
Altezza langsung berteriak:
"Éparpillez-vous! Courez!"
(Bubar! Lari!)
Suara tembakan meledak di udara.
Malam itu berubah menjadi medan pembantaian. Vyora menarik Zava yang hampir tertembak.
Devano dan Arza bertempur mati-matian dengan tangan kosong. Altezza menarik Alletha ke balik reruntuhan.
Namun saat ia berbalik,
ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Di sisi lain jalan, Afka berdiri diam,
tanpa melakukan apa-apa.
Di tangan kanannya — sebuah radio CRONOS. Di wajahnya — senyum getir.
"Désolé, Altezza..."
(Maafkan aku, Altezza...)
Pengkhianatan kedua.
Dari orang yang mereka percaya. Dari keluarga sendiri.
Mereka akhirnya menemukan sebuah gudang tua, beberapa kilometer dari tempat ledakan. Dindingnya hampir roboh, namun cukup aman untuk bersembunyi sementara.
Dengan hati-hati, Altezza membaringkan Rafka di lantai dingin. Darah mengalir deras dari luka di bahunya, membuat baju putihnya berubah menjadi merah gelap.
Fidellia segera mengambil tas medis kecil dari pinggangnya, tangannya gemetar saat mencoba menekan luka Rafka.
"Reste avec moi, Rafka... S'il te plaît..."
(Bertahanlah, Rafka... Kumohon...)
Senja, yang biasanya ceria dan penuh tawa, kini membisu. Matanya kosong, wajahnya pucat pasi.
Altezza mengusap wajahnya sendiri, mencoba mengusir rasa lelah dan ketakutan yang hampir melumpuhkannya.
Dia tahu, ini belum berakhir. Ini baru permulaan.
Beberapa jam kemudian, suara langkah kaki mendekat. Altezza berdiri cepat, bersiap dengan pisau di tangan.
Namun yang muncul bukanlah musuh.
Melainkan Alletha, bersama Devano, Arza, Afka, Vyora, dan Zava.
Wajah mereka penuh luka, pakaian mereka compang-camping, namun mata mereka... mata mereka tetap menyala dengan api yang sama.
Saat Altezza dan Alletha bertatapan, sejenak dunia seolah berhenti berputar. Tanpa berkata apa-apa, Alletha melangkah maju, memeluk Altezza erat. "Tu es vivant... Dieu merci..."
(Kau masih hidup... syukurlah...)
Altezza mengubur wajahnya di bahu gadis itu, membiarkan ketakutan, rasa sakit, dan lega bercampur dalam diam.
Namun kebersamaan itu tidak bertahan lama. Suara berat Devano memecah keheningan:
"Jangan senang dulu. Kita baru saja kehilangan setengah pasukan."
Semua menoleh.
Suasana menjadi tegang dalam sekejap.
Devano berdiri dengan tangan terkepal, rahangnya mengeras. Dia menatap Altezza dengan mata penuh kemarahan.
"Kalau saja lo lebih hati-hati, kalau saja lo nggak percaya buta sama siapa pun—" Suara Devano bergetar menahan emosi.
"Devano, arrête..."
(Devano, berhenti...) kata Vyora dengan pelan, mencoba menenangkannya. Tapi Devano mengabaikannya.
Dia melangkah maju, mendekati Altezza.
"Apa lo sadar, Altezza? Karena keputusan lo, Askara—sahabat lo sendiri—berkhianat. Karena keputusan lo, banyak dari kita mati sia-sia malam ini."
Altezza berdiri diam, menerima setiap kata seperti pukulan ke dadanya.
"Je sais..."
(Aku tahu...)
"Je sais que tout est de ma faute."
(Aku tahu semua ini salahku.) Suaranya nyaris tak terdengar. Kebenaran Kelam
Alletha akhirnya angkat suara.
"Yang penting sekarang, kita tahu siapa musuh kita sebenarnya."
Dia menatap semua orang satu per satu, memastikan tidak ada yang berpaling. "CRONOS bukan sekadar geng. Mereka adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar." Semua menahan napas.
"Mafia. Perdagangan manusia. Senjata ilegal.
Dan Askara... dia bukan satu-satunya pengkhianat." Altezza mengerutkan alis.
"Qu'est-ce que tu dis, Alletha?"
(Apa maksudmu, Alletha?) Alletha menghela napas berat.
"Di dalam HELIOS dan BLACK VEROS... mungkin ada lebih banyak mata-mata CRONOS daripada yang kita kira."
Kata-katanya menggantung berat di udara, seperti pisau tak kasat mata yang menusuk hati semua orang.
Malam itu, mereka membuat keputusan yang akan mengubah segalanya. Mereka tidak bisa lagi percaya pada siapa pun di luar lingkaran ini.
Bahkan mungkin, mereka pun harus mulai meragukan satu sama lain.
"À partir de maintenant, nous sommes seuls."
(Mulai sekarang, kita sendirian.) Dan Altezza tahu...
Mulai sekarang, satu-satunya jalan adalah maju,
meskipun itu berarti kehilangan lebih banyak lagi yang ia cintai. Bahkan, mungkin... kehilangan jiwanya sendiri.
Suara peluru yang memecah malam terdengar seperti dentuman-dentuman kematian. Setiap tembakan seolah mencabik-cabik udara, merobek keheningan yang baru saja mereka rajut dalam pelarian.
Altezza berdiri terpaku. Tubuhnya kaku.
Pandangannya tak lepas dari sosok Afka, yang kini berdiri di tengah jalan dengan wajah datar, radio milik CRONOS di tangannya.
Dalam sekejap, semua kenangan tentang kebersamaan mereka, tawa, pertarungan, luka yang mereka bagi bersama, hancur seketika.
"Pourquoi, Afka...? Pourquoi?"
(Kenapa, Afka...? Kenapa?)
Suara Altezza parau, hampir patah, seolah seluruh dunia runtuh di bawah kakinya.
Afka menunduk, wajahnya seperti menahan sesuatu — rasa bersalah? atau mungkin... rasa lega?
"Je n'avais pas le choix, Altezza..."
(Aku tidak punya pilihan, Altezza...)
Suara itu nyaris hanya bisikan, namun cukup untuk merobek hati Altezza. Sebelum Altezza bisa bereaksi, suara tembakan kembali meledak.
Bukan dari CRONOS.
Melainkan dari Vyora —
peluru melesat, menghantam bahu Afka, membuat tubuhnya terpental ke belakang, terjatuh keras di aspal dingin.
"ALLEZ! NE LE REGARDE PAS!"
(Ayo! Jangan lihat ke belakang!) teriak Alletha, matanya berkaca-kaca tapi wajahnya tegas.
Semua orang berlari.
Tak ada waktu untuk menangisi pengkhianatan. Tak ada waktu untuk menyesali luka.
Hanya satu pilihan: bertahan hidup.
Mereka berhasil mencapai benteng tua itu —
sebuah bangunan beton raksasa, dikelilingi oleh ilalang liar dan puing-puing.
Benteng itu lebih mirip reruntuhan daripada perlindungan, namun saat ini, itu adalah satu-satunya harapan mereka.
Begitu pintu besi besar itu ditutup di belakang mereka, semua orang ambruk ke tanah, tubuh mereka bergetar karena kelelahan, ketakutan, dan luka.
Fidellia segera memeriksa Rafka yang kini tak sadarkan diri sepenuhnya.
"Il est si faible... très faible..."
(Dia sangat lemah...)
Suara Fidellia bergetar saat dia memeriksa denyut nadi Rafka.
Altezza berlutut di sampingnya, wajahnya lebih pucat daripada siapa pun.
Tangannya menggenggam tangan Rafka yang dingin, seolah dengan sentuhan itu, ia bisa membagi sebagian nyawanya untuk sahabatnya.
"Ne meurs pas... pas maintenant..."
(Jangan mati... bukan sekarang...) Tapi keajaiban tidak datang.
Napas Rafka mulai tersendat. Detaknya melambat.
"No, no, no...!" Altezza bergumam panik, sambil menepuk-nepuk wajah Rafka. Semua orang mengelilingi mereka dalam diam yang mengerikan.
Tak ada yang berani bicara.
Tak ada yang berani berharap.
Di dalam hatinya, Altezza berteriak. Mengutuk dirinya sendiri.
Mengutuk kepercayaannya yang buta pada orang-orang yang kini mengkhianatinya.
"Je suis un idiot..."
(Aku bodoh...)
"Je n'ai protégé personne..."
(Aku tidak melindungi siapa pun...)
Saat itu, sesuatu dalam diri Altezza retak. Bukan hanya kesedihan.
Bukan hanya rasa bersalah.
Tapi sesuatu yang lebih dalam. Sesuatu yang gelap.
Sesuatu yang mengubah caranya melihat dunia. Dia menyadari satu kebenaran mengerikan:
Di dunia ini, tidak ada ruang untuk kelembutan. Tidak ada tempat untuk belas kasihan.
Hanya kekuatan, kejamnya pengkhianatan, dan darah.
Rafka tiba-tiba tersentak, tubuhnya melengkung kesakitan. Semua mendekat, berharap ada keajaiban.
Namun dalam sekejap... tubuh itu terkulai lemah. Denyut nadi — berhenti.
Napas — tiada.
"Non... non... Rafka..."
(Tidak... tidak... Rafka...)
Altezza mengguncang tubuh sahabatnya, menolak menerima kenyataan itu. Namun tak ada jawaban.
Tak ada gerakan. Tak ada kehidupan.
Hening.
Sangat hening, hingga suara isak tangis kecil Fidellia terdengar seperti teriakan. Senja berbalik, menutup wajahnya dengan tangan.
Vyora memeluk Zava erat.
Alletha berdiri terpaku, air matanya mengalir tanpa suara. Dan Altezza...
dia hanya berlutut di sana, di samping jasad sahabatnya, matanya menatap kosong ke depan.
Di dalam dirinya, sesuatu mati bersama Rafka.
Malam itu, Altezza membuat sumpah. Di hadapan tubuh Rafka,
di hadapan semua sahabat yang tersisa, di hadapan dirinya sendiri.
"Je jure sur ma vie, je vais tous les écraser."
(Aku bersumpah atas hidupku, aku akan menghancurkan mereka semua.)
"Je ne pardonnerai jamais."
(Aku tidak akan pernah memaafkan.)
"Même si je dois vendre mon âme au diable."
(Sekalipun aku harus menjual jiwaku kepada iblis.)
Mata Altezza, yang dulu penuh semangat hidup, kini hanya menyisakan kegelapan. Semua yang dia cintai —
semua yang dia perjuangkan — sudah direnggut.
Dan dia...
dia akan menjadi monster untuk membalas semuanya.
Mulai dari CRONOS. Mulai dari Askara.
Bahkan dari pengkhianat di antara mereka sendiri.
Malam itu, di benteng terlupakan, di bawah cahaya rembulan yang muram, lahirlah sosok baru dalam diri Altezza Daffa Nalendra.
Bukan lagi sekadar ketua HELIOS. Bukan lagi sekadar CEO muda.
Tetapi makhluk haus balas dendam,
makhluk yang siap menghancurkan dunia yang telah menghancurkannya.
"Vous avez réveillé le démon. Maintenant, payez le prix."
(Kalian telah membangunkan iblis. Sekarang, bayar harganya.)
Dengan tangan yang berlumuran darah sahabatnya sendiri, Altezza bersumpah —
ini baru permulaan.
Dunia belum pernah melihat murka Altezza Daffa Nalendra.
Tapi mereka akan. Segera.
Malam itu, setelah janji berdarah yang Altezza ucapkan di atas jasad Rafka, dunia mereka berubah tanpa bisa kembali.
Tak ada lagi tawa yang biasa bergema di antara mereka, tak ada lagi cengiran sok cool yang biasa Arzan lemparkan, tak ada lagi komentar sarkas Alan atau ejekan receh Davi.
Hanya ada keheningan. Kehampaan.
Dan luka menganga yang terus meneteskan darah di dalam dada masing-masing.
Benteng tua itu, yang dulunya hanya reruntuhan tanpa arti, kini menjadi saksi lahirnya keputusan paling kelam dalam hidup Altezza.
Dia berdiri di tengah aula retak itu, sorot matanya tajam menembus kegelapan, wajahnya berlumuran debu, darah, dan sesuatu yang lebih menyeramkan: dendam murni.
"Devano," suara Altezza memecah keheningan, rendah dan berat seperti guntur di kejauhan.
"Rassemble les membres. Maintenant."
(Kumpulkan semua anggota. Sekarang.)
Tanpa banyak bicara, Devano mengangguk. Ia tahu, dari getaran suaranya saja, bahwa Altezza tidak lagi sama.
Satu per satu, anggota HELIOS yang masih setia—Davi, Arzan, Alan, bahkan Askara—berkumpul dalam lingkaran tak sempurna di depan Altezza.
Mereka semua berdiri kaku, sebagian menahan tangis, sebagian menggertakkan gigi, menahan rasa bersalah dan takut.
Altezza memandangi mereka satu per satu, seolah menilai kesetiaan mereka hanya dari tatapan mata.
"Vous avez vu ce qu'ils nous ont fait," gumam Altezza, suaranya menggema di dinding beton usang itu.
(Kalian sudah lihat apa yang mereka lakukan pada kita.)
"Ils ont pris notre frère... notre sang... notre vie."
(Mereka telah mengambil saudara kita... darah kita... hidup kita.) Dia mengepalkan tangan, begitu erat hingga buku-bukunya memutih.
"Et maintenant... nous allons les faire saigner."
(Dan sekarang... kita akan membuat mereka berdarah.)
Tidak ada yang berani membantah. Tidak ada yang mengangguk pun.
Karena semua tahu, ini bukan lagi perintah seorang teman — ini perintah seorang raja yang sudah membakar hatinya sendiri.
Alletha, yang sedari tadi hanya berdiri diam di sudut ruangan, memperhatikan perubahan Altezza dengan mata yang mulai memburam.
Dia mengenal Altezza sebagai sosok yang keras, penuh ambisi, tetapi juga punya sisi manusiawi yang begitu dalam.
Sisi yang mencintai sahabatnya lebih dari apa pun.
Sisi yang selalu mengutamakan tawa dan rasa kebersamaan di atas segalanya. Tapi malam ini...
"C'est un démon... pas l'Altezza que je connais," bisik Alletha pada dirinya sendiri. (Dia iblis... bukan Altezza yang aku kenal.)
Namun, bahkan rasa takut itu tidak menghalangi getaran lain dalam hatinya — sebuah getaran gelap dan berbahaya: kekaguman.
Ada sesuatu dalam kegelapan Altezza yang membuat dada Alletha sesak, membuat napasnya berat. Kebengisan itu, tekad membunuh itu, menghadirkan aura tak tertahankan yang membuatnya ingin mendekat... atau justru lari sejauh mungkin.
Dia benci perasaannya sendiri.
Benci bahwa dia bisa jatuh untuk monster yang lahir dari kehancuran ini.
Beberapa jam setelah pertemuan itu, Altezza menggelar peta besar di lantai.
Lembaran lusuh itu menunjukkan wilayah kekuasaan CRONOS, jaringan transportasi mereka, titik-titik persembunyian rahasia yang selama ini mereka abaikan.
"Nous allons frapper ici," kata Altezza, menunjuk salah satu tanda merah. (Kita akan menyerang di sini.)
"Et ici."
(Dan di sini.)
"Et nous allons les décimer sans pitié."
(Dan kita akan memusnahkan mereka tanpa belas kasihan.)
Davi bertanya dengan suara gemetar, "Apa... apa kita benar-benar mau perang terbuka, Zezz?"
Altezza menoleh perlahan, tatapannya menusuk bagai belati.
"Ce n'est pas une guerre... c'est une exécution," gumamnya dingin. (Itu bukan perang... itu eksekusi.)
Dan semua orang tahu, tidak ada jalan kembali setelah ini.
Malam itu berubah menjadi neraka kecil.
Helios mempersiapkan diri, membuat senjata dari apa pun yang mereka temukan: besi berkarat, rantai
motor, bahkan serpihan beton.
Davi mengasah pisau panjang, Arzan memeriksa amunisi, Alan memodifikasi motor tempur mereka hingga terlihat seperti mesin maut.
Sementara itu, Altezza duduk di sudut, tangan di lutut, wajahnya terbenam dalam bayangan. Dalam pikirannya, hanya ada satu bayangan:
Wajah Rafka.
Wajah penuh luka itu... mata itu...
yang meminta tolong di detik-detik terakhirnya, namun Altezza terlalu lambat untuk menyelamatkan.
"Je te le promets, Rafka," bisik Altezza, setetes air mata jatuh ke tanah berdebu. (Aku berjanji padamu, Rafka.)
"Ils vont tous mourir."
(Mereka semua akan mati.)
Di sisi lain ruangan, Alletha menggenggam pisau kecilnya erat-erat. Dia menatap Altezza lama, begitu lama hingga hatinya berteriak.
"Est-ce l'homme que j'aime... ou un monstre?"
(Apakah ini pria yang kucintai... atau monster?)
Dia tahu, jika dia tetap berada di sisi Altezza, dia pun akan ikut terseret ke dalam kubangan darah ini. Tidak ada jalan netral.
Tidak ada ruang untuk keraguan.
"Sois avec lui... ou contre lui," bisik hatinya. (Berdiri di sisinya... atau menjadi musuhnya.)
Dan Alletha, dengan seluruh luka dan cinta yang bertarung dalam dadanya, perlahan menutup matanya, mengambil keputusan yang akan mengubah seluruh jalan hidupnya.
Saat fajar pertama mengintip dari balik reruntuhan, HELIOS sudah siap.
Mereka menaiki motor mereka, wajah-wajah muda itu kini dipenuhi dengan kebencian, dengan tekad menghabisi musuh tanpa ampun.
Altezza menaiki motornya, helm hitam bertuliskan HELIOS dipasang di kepalanya. Dia menoleh ke belakang, melihat sahabat-sahabatnya yang tersisa.
"Ce soir, nous vengeons nos morts."
(Malam ini, kita balas kematian kita.)
"Pas de pitié."
(Tidak ada belas kasihan.)
"Pas de retour."
(Tidak ada jalan kembali.)
Suara raungan mesin memenuhi udara, menghancurkan keheningan benteng yang muram itu.
Dan dengan satu gerakan tangannya, Altezza memimpin pasukannya keluar, seperti badai neraka yang akan menelan dunia.
Helios, geng motor yang dulunya hanya legenda jalanan, kini menjadi legenda kelam yang akan dicatat sejarah dengan tinta darah.
Asap dari knalpot motor memenuhi udara pagi yang kelabu.
Di bawah langit yang berwarna kelam, seakan langit pun enggan menyaksikan pertumpahan darah yang akan segera terjadi, HELIOS melaju dengan kecepatan penuh menuju markas CRONOS — geng yang telah menghancurkan salah satu dari mereka.
Motor-motor itu bagai pasukan setan yang keluar dari neraka.
Alletha, dengan mata yang tak lagi berkilau seperti dulu, mengikuti dari belakang dengan motor hitamnya, BLACK VEROS.
Di dalam dadanya, ada peperangan yang jauh lebih dahsyat daripada perang yang akan mereka hadapi: perang antara cinta dan kewarasan.
"Que suis-je en train de faire?"
(Apa yang sedang aku lakukan?)
Hatinya berteriak, tapi tubuhnya terus maju, digerakkan oleh satu hal: Altezza.
Di depan, Altezza memimpin dengan keteguhan seorang jenderal yang sudah kehilangan semua rasa takutnya.
Sorot matanya keras seperti baja, rahangnya mengeras menahan amarah.
Kepalanya penuh dengan gambaran tentang bagaimana dia akan membalaskan dendam Rafka malam ini.
"Rien ne me retiendra."
(Tidak ada yang bisa menahanku.)
Mereka sampai di markas CRONOS, sebuah gudang tua yang penuh dengan graffiti dan sisa-sisa kejahatan.
Tak ada aba-aba, tak ada pembicaraan.
Hanya satu sinyal: lampu motor Altezza menyala tiga kali — tanda menyerang.
Seperti badai liar, HELIOS menghancurkan pintu depan.
Motor-motor berderu keras, senjata berkilauan di bawah cahaya lampu jalan yang temaram.
Devano melompat dari motornya, melemparkan molotov ke dalam gudang.
Ledakan kecil mengguncang tempat itu, api kecil mulai menjilat dinding-dinding kotor. Teriakan panik terdengar dari dalam.
"Ils arrivent ! Merde !"
(Mereka datang! Sialan!)
CRONOS tidak siap.
Mereka tidak pernah mengira bahwa HELIOS — yang selama ini cuma dikenal sebagai geng berandal — akan menyerang dengan strategi militer yang terencana dengan gila seperti ini.
Arzan mengayunkan rantai besi ke kepala salah satu anggota CRONOS.
Alan melemparkan paku besi ke arah ban motor mereka, membuat kendaraan-kendaraan musuh terguling di tengah jalan.
Davi, si pendiam, kini berubah menjadi pembunuh tanpa ragu.
Tangannya cekatan mengunci lawan, menghempaskan tubuh mereka ke beton keras. Dan Altezza...
Dia seperti iblis yang dikirim langsung dari lembah kematian.
Dia menghajar siapa pun yang menghalangi jalannya. Satu pukulan. Satu tendangan.
Dan semua lawan tumbang.
"Pour Rafka," gumamnya di setiap hembusan napas. (Untuk Rafka.)
"Pour notre honneur."
(Untuk kehormatan kita.)
Darah mengalir di aspal, bercampur dengan bensin dan air hujan.
Suara dentuman, jeritan, raungan motor — semuanya bergema seperti simfoni neraka.
Di sisi lain medan perang, Alletha melihat semua itu — melihat darah, kekerasan, kebrutalan. Dia seharusnya takut.
Dia seharusnya mundur.
Tapi, entah kenapa, dia justru merasa hidup untuk pertama kalinya.
"C'est mon enfer... et je choisis d'y rester," bisiknya sambil tersenyum getir. (Ini nerakaku... dan aku memilih untuk tetap di sini.)
Dia menarik pisaunya.
Menebas salah satu anggota CRONOS yang mencoba menyerang Altezza dari belakang.
Darah muncrat ke bajunya.
Tubuhnya bergetar, tapi matanya tetap menatap Altezza — penuh tekad.
Altezza sempat menoleh, dan untuk satu detik dunia mereka bertemu. Tak ada kata yang terucap.
Tapi dalam tatapan itu, Alletha membaca segalanya:
(Terima kasih.)
Dan itu cukup.
Cukup untuk membuat Alletha melangkah lebih dalam ke dunia kelam ini, tanpa penyesalan.
Setelah satu jam yang terasa seperti seabad, pertempuran selesai. Markas CRONOS hancur.
Puluhan orang tergeletak di tanah, mengerang kesakitan atau tidak bergerak sama sekali. HELIOS berdiri di tengah reruntuhan, tubuh mereka berlumuran darah dan debu.
Tapi di mata mereka — di mata Altezza — tidak ada kepuasan. Tidak ada kemenangan.
Hanya kehampaan yang semakin menyesakkan dada.
"On l'a fait... mais à quel prix?"
(Kita berhasil... tapi dengan harga apa?) Devano mendekati Altezza, napasnya berat.
"Zezz... kita menang... kita bisa pulang..." katanya pelan.
Tapi Altezza hanya diam.
Dia memandangi tangannya — tangan yang berlumuran darah.
Tangan yang dulunya digunakan untuk merangkul sahabat, kini digunakan untuk membunuh tanpa ampun.
"Je ne pourrai jamais revenir à qui j'étais," gumamnya.
(Aku tidak akan pernah bisa kembali menjadi diriku yang dulu.)
Malam itu, HELIOS kembali ke benteng tua mereka.
Bukan sebagai anak-anak yang bermain menjadi pahlawan jalanan. Tapi sebagai monster yang terlahir dari dendam.
Di atap benteng, Altezza berdiri sendirian.
Melihat langit malam yang dipenuhi bintang — seolah dunia di luar sana masih polos, masih murni, masih bisa bermimpi.
Bertahun-tahun dari sekarang, orang-orang akan berbicara tentang malam itu. Mereka akan menceritakan bagaimana HELIOS berubah menjadi legenda gelap.
Bagaimana Altezza Daffa Nalendra, sang bintang jalanan, berubah menjadi hantu yang membayangi
kota.
Dan di antara semua cerita itu, satu kalimat akan selalu diingat:
"Tout a changé... dans une seule nuit."
(Semuanya berubah... hanya dalam satu malam.)
📖 BAB 2 — Plongée dans l'obscurité
Angin dingin berhembus melewati jendela markas tua itu, membuat tirai berkibar pelan seakan menyampaikan pesan rahasia.
Di dalam ruangan utama, suasana mencekam menyelimuti semua yang hadir. Tak ada lagi tawa, tak ada lagi obrolan santai seperti hari-hari sebelumnya.
Malam itu, setelah menghancurkan CRONOS, HELIOS bukan lagi kumpulan bocah liar. Mereka adalah syaitan yang tercipta dari amarah dan kehilangan.
Altezza duduk di kursi ketua, tubuhnya bersandar malas namun penuh aura mengintimidasi. Rokok di jarinya terbakar perlahan, mengirimkan asap yang melingkari wajahnya yang tampan namun keras itu.
Tatapannya kosong, menembus langit-langit kayu yang rapuh.
"Qu'est-ce qu'on est devenu?"
(Apa yang sudah kita jadi?)
Pikiran itu berputar-putar di kepalanya, namun Altezza tahu: tidak ada jalan kembali.
Devano duduk di sampingnya, kedua tangannya terlipat di depan dada, wajahnya tegang. Askara, Alan, Davi, Arzan, Afka — semua menunjukkan kegelisahan yang sama.
"Gue dapet info," suara Davi memecah keheningan, suaranya berat.
"Ada gerakan mencurigakan dari mantan anak-anak CRONOS. Mereka mau nyerang balik."
Altezza mengangguk kecil.
"Biarin," ucapnya datar.
"Kita tunggu mereka. Sekali mereka muncul, kita habisin. Kita buat mereka kapok muncul ke permukaan."
Nada suaranya dingin, penuh tekad membunuh.
"Tapi Zezz..." Alan bersuara ragu,
"Kalau mereka kerja sama sama geng lain, kita bisa kalah jumlah."
Altezza berdiri perlahan, mendekati meja, menatap mereka semua satu per satu.
"Alors, nous tuerons chacun d'entre eux," katanya dengan suara rendah. (Maka, kita bunuh mereka satu per satu.)
Tidak ada yang berani membantah.
Mereka tahu, begitu Altezza sudah mengambil keputusan, tidak ada ruang untuk ragu.
Di luar, di teras markas, Alletha berdiri sendirian.
Hujan tipis membasahi rambut panjangnya yang diikat seadanya.
Ketika Altezza keluar, langkahnya tanpa suara, mendekat ke arahnya. Alletha tahu dia datang, tapi tidak menoleh.
Dia hanya berkata, suaranya pelan, nyaris tenggelam dalam suara hujan:
"Apakah ini... hidup yang kau mau, Altezza?"
Laki-laki itu berdiri di sampingnya, menyalakan rokok baru, menghirup asapnya dalam-dalam.
"Aku tidak pernah mau," jawab Altezza akhirnya, nadanya getir.
"Tapi sekarang, aku tidak punya pilihan."
Alletha menoleh, menatap wajah Altezza yang diterangi lampu redup. Ada sesuatu yang berubah dalam diri lelaki itu — sesuatu yang hilang.
"Tu es perdu..."
(Kau tersesat...)
"Peut-être," Altezza membalas tanpa ekspresi. (Mungkin.)
Mereka berdiri dalam diam, hanya ditemani suara hujan dan detak jantung yang semakin liar. Tanpa sadar, Alletha meraih tangan Altezza, menggenggamnya erat.
Tangannya kecil dan dingin, tapi genggamannya kuat.
"Kalau kau jatuh, aku juga jatuh," bisiknya. Altezza tidak menjawab.
Tapi dia tidak melepaskan genggaman itu.