man 3 bantul MAN 3 BANTUL

Novel "ALTEZZA" (part 3)

Konspirasi dalam HELIOS

 

Sementara itu, di sudut gelap kota, seseorang dari HELIOS bertemu diam-diam dengan dua orang bertudung.

"Jangan pikir aku setia buta," suara itu berkata pelan.

"Altezza bukan dewa. Dia manusia biasa. Dan manusia bisa dihancurkan."

 

"Très bien," sahut salah satu bertudung itu. (Sangat baik.)

"Kau tahu tugasmu. Buat Altezza jatuh. Biar kami yang bereskan sisanya."

 

Perjanjian kotor itu terjadi tanpa saksi.

Darah, penghianatan, dan rencana kejatuhan — semua mulai berputar seperti roda takdir.

 

Hari-Hari yang Gelap

 

Hari-hari berikutnya, HELIOS tetap menjalani rutinitas di ALASKA SCHOOL. Tapi mereka tahu, kapan saja, badai akan datang.

Di lorong sekolah, pandangan orang-orang mengarah pada mereka.

Ada yang takut, ada yang mengagumi, tapi lebih banyak yang ingin melihat mereka jatuh. "Mereka bukan siswa... mereka monster," bisik seorang murid, cukup keras untuk didengar Altezza. Tapi Altezza hanya berjalan lurus, tanpa memedulikan apa pun.

Karena dalam dirinya, hanya ada satu misi sekarang: bertahan hidup dan melindungi orang-orang yang masih tersisa.

Markas HELIOS: Malam yang Membeku

 

Di dalam ruangan markas itu, lampu-lampu sengaja diredupkan, hanya ada cahaya samar dari lampu meja yang berkedip.

Asap rokok memenuhi udara, menciptakan kabut tipis yang membalut setiap sudut ruangan.

 

Rafka, yang biasanya paling tenang, kini berdiri sambil berjalan mondar-mandir. Pikirannya kusut.

"Dev, kita yakin mereka nggak curiga kita?" tanyanya pelan, hampir seperti bisikan. Devano mengangguk pendek.

"Kalau pun ada, mereka belum bergerak. Tapi ini bukan waktunya buat santai. Kita harus siap 24

jam."

 

Alan, yang duduk di sudut ruangan, mengetukkan jarinya di meja.

 

"Kita nggak bisa terus bertahan kayak gini, Zezz," suaranya berat, menahan kemarahan.

"Kita... kita seperti tikus yang dikejar bayangan kita sendiri."

 

Altezza, duduk dengan tenang, memandangi cangkir kopinya yang kosong.

Ada tatapan kosong di matanya, tapi ada bara yang perlahan membakar dari dalam.

 

"Mereka pikir kita lemah."

Suaranya terdengar dalam dan berat.

"Mereka pikir, setelah CRONOS jatuh, kita akan ikut hancur."

 

Dia berdiri, membalikkan kursi dengan satu gerakan cepat.

 

"Aku akan pastikan, setiap orang yang berani mengkhianati HELIOS..." dia berhenti, menatap mereka semua, matanya dingin seperti es,

"akan melihat dunia mereka hancur sebelum mereka sempat menyentuh kita."

 

"Compris?"

(Mengerti?)

 

"Compris." serempak mereka membalas, meskipun dalam hati, ada keraguan kecil yang mulai tumbuh dalam beberapa dari mereka.

Pertemuan Rahasia

 

Sementara itu, jauh dari markas HELIOS, di sudut kota yang remang, pengkhianatan mulai menemukan jalannya.

Seorang anggota HELIOS — wajahnya tersembunyi di balik hoodie hitam — duduk di sebuah cafe tua.

Dua sosok bertudung duduk di depannya.

 

"Vous savez ce que vous devez faire."

(Kau tahu apa yang harus kau lakukan.)

 

"Renversez Altezza. Détruisez HELIOS de l'intérieur."

(Jatuhkan Altezza. Hancurkan HELIOS dari dalam.)

 

Orang itu mengangguk perlahan, rasa bersalah menggelayut di dadanya. Tapi harga yang ditawarkan terlalu besar, terlalu menggoda.

"Kalau Altezza jatuh, HELIOS nggak akan bertahan seminggu," katanya dengan suara parau.

 

"Très bien. Vous recevrez votre paiement après."

(Sangat baik. Kau akan menerima bayaranmu setelah itu.) Perjanjian darah itu pun ditandatangani tanpa kata-kata.

Sebuah keputusan kecil...

yang akan membawa kehancuran besar.

 

Alletha: Sisi Gelap yang Tersembunyi

 

Di sisi lain kota, Alletha berdiri di ruang latihan BLACK VEROS, memandang cermin besar di hadapannya.

Berkali-kali, dia meninju bayangannya sendiri, berusaha mengusir rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Vyora, sahabat sekaligus tangan kanannya, mendekat.

"Lo yakin masih mau berdiri sama Altezza?" tanyanya ragu. Alletha berhenti memukul, napasnya berat.

Dia menatap Vyora melalui pantulan cermin.

 

"Aku nggak tahu ini tentang dia atau tentang aku," gumam Alletha.

"Tapi sesuatu dalam diriku... bilang aku nggak bisa mundur."

 

"Même si ça signifie mourir?"

(Bahkan jika itu berarti mati?) Alletha tersenyum miring.

"S'il le faut."

(Jika perlu.)

 

Malam Penuh Rencana

 

Malam semakin larut, namun markas HELIOS justru makin sibuk.

 

Askara dan Afka sibuk menyusun peta kota, menandai titik-titik strategis yang harus mereka awasi.

 

Arzan memperbaiki senjata mereka — bukan senjata api, tapi rantai besi, pisau lipat, tongkat — barang-barang sederhana, tapi mematikan di tangan orang-orang seperti mereka.

"Kita perlu rencana cadangan," kata Askara.

"Kalau serangan besar terjadi, kita harus punya jalur kabur."

 

Devano mengangguk, lalu berbalik ke Altezza.

 

"Lo mau kita tetap main bertahan atau lo mau kita serang duluan?" Altezza menatap peta itu lama sekali, sebelum akhirnya berkata pelan: "Kita serang duluan."

"On détruit avant d'être détruit."

(Kita hancurkan sebelum dihancurkan

 

Gerimis, Peluru, dan Pengkhianatan

 

Hujan semakin deras membasahi kota malam itu.

Gemuruh petir seakan menjadi soundtrack yang mengiringi langkah-langkah berat di dalam kegelapan.

Altezza berdiri di depan pintu markas, jas hitamnya basah sebagian. Tapi ia tidak peduli.

Kepalanya penuh rencana — penuh nama-nama yang harus diawasi.

 

"Faites attention, Altezza," gumam Askara yang baru saja datang membawa kabar buruk. (Hati-hati, Altezza.)

"Ada gerakan aneh di distrik timur. Geng baru muncul. Mereka ngaku-ngaku sisa CRONOS."

 

Altezza menghela napas panjang.

Helaan napas seorang raja muda yang harus melindungi kerajaannya dari dalam dan luar.

 

"Kirim Davi, Arza, Alan, dan Afka. Suruh mereka cek. Jangan berisik. Kalau perlu, bersihkan."

Suaranya serak, namun berwibawa.

 

Devano menatap Altezza lama.

Ada kekhawatiran di balik tatapan dinginnya.

 

"Zezz... Lo yakin? Kita bawa nama HELIOS makin dalam kegelapan kalau lo jalanin ini."

Devano memperingatkan.

 

Altezza menoleh pelan, menatap sahabatnya itu dalam-dalam.

 

"Nous sommes déjà dans l'obscurité, Devano."

(Kita sudah berada di dalam kegelapan, Devano.)

 

"Maintenant, nous devons survivre."

(Sekarang, kita harus bertahan hidup.)

 

 
   
 

 

 

Alletha: Luka yang Tak Terlihat

 

Sementara itu, Alletha berada di kamar kecil di markas BLACK VEROS.

Tangannya gemetar saat dia membuka surat tanpa nama yang baru dikirim seseorang. Isinya hanya satu kalimat:

"Hati-hati dengan HELIOS. Tidak semua sahabatmu adalah teman."

 

Alletha meremas kertas itu, matanya merah.

Dalam-dalam, dia tahu — bahkan di dalam lingkaran Altezza, ada racun yang mulai merayap.

"Kalau sampai Altezza kenapa-kenapa... gue nggak akan diam," bisiknya penuh dendam. Vyora masuk tanpa mengetuk.

"Semua baik?" tanyanya, meski jelas jawabannya tidak.

 

Alletha hanya tersenyum tipis.

Senyuman seorang pejuang yang tahu: perang belum dimulai, tapi luka sudah ada di mana-mana.

 

 
   
 

 

 

Operasi di Distrik Timur

 

Davi, Arzan, Alan, dan Afka melaju dengan motor mereka di tengah hujan. Lampu jalan yang redup menciptakan bayangan panjang di belakang mereka.

"Gila, tempat ini sepi banget," komentar Afka sambil melirik kanan-kiri.

"Kayak kuburan."

 

"Diam," Arzan menggeram.

"Kita bukan di sini buat jalan-jalan."

 

Mereka berhenti di sebuah gudang tua. Pintu berderit pelan saat dibuka.

Dan saat mereka melangkah masuk...

 

"Bienvenue, Helios."

(Selamat datang, Helios.)

Sebuah suara asing menggema di kegelapan. Tiba-tiba, lampu-lampu menyala.

Puluhan orang bersenjata sederhana — kayu, rantai, besi — mengelilingi mereka.

 

Satu orang maju.

Dia mengenakan hoodie, wajahnya tersembunyi. Tapi suaranya jelas.

"Kalian pikir kalian masih berkuasa? Ini giliran kami."

 

Davi menyeringai kecil, darahnya mendidih.

 

"Lo pikir lo bisa ngalahin kita? Avec des bâtons?"

(Dengan tongkat?)

 

"Kita lihat saja," kata orang itu, mengangkat tangan. Dalam sekejap, semua menyerbu.

 

 
   
 

 

 

Pertarungan Pertama: Awal dari Bencana

 

Suasana menjadi kacau.

Suara benturan logam, teriakan, dan ringkikan motor memenuhi udara.

 

Alan melompat menghindari serangan, lalu membalas dengan pukulan ke rahang lawannya. Davi menggunakan rantai besi, melilit kaki salah satu musuh lalu menariknya keras.

Afka dan Arzan bertarung punggung ke punggung, menjaga satu sama lain.

 

Tapi jumlah mereka terlalu banyak.

Sedikit demi sedikit, kelelahan mulai terasa.

 

"Merde!" teriak Arzan ketika sebuah pukulan menghantam perutnya. (Sialan!)

"Kita harus mundur!" teriak Alan.

 

Namun, sebelum mereka bisa bergerak, seseorang memukul Davi dari belakang dengan batang besi.

 

Brakkk!

 

Davi jatuh, darah mengucur dari pelipisnya.

 

"DAVI!" jerit Alan, tapi mereka tidak sempat menolong. Mereka dikeroyok tanpa ampun.

 

 
   
 

 

 

Altezza: Amarah Membara

 

Satu jam kemudian, motor Devano melaju kencang menuju distrik timur. Di boncengan, Altezza diam membatu.

Ketika mereka sampai di tempat pertempuran, yang mereka lihat hanya kehancuran:

motor-motor yang rusak, noda darah di tanah, dan tanda-tanda bahwa orang-orang mereka kalah. Di ujung jalan, Davi terduduk lemas, wajahnya babak belur.

Altezza turun dari motor, menghampiri perlahan.

 

Tanpa berkata apa-apa, dia berlutut di depan Davi, menatapnya.

 

"Qui a fait ça?"

(Siapa yang melakukan ini?)

 

Davi, dengan susah payah, mengangkat tangannya menunjuk ke arah gang sempit.

 

"Mereka... mereka tahu kita datang... seolah-olah... ada yang bocorin rencana kita..."

Bisik Davi sebelum pingsan.

 

Altezza menggenggam erat tangan Davi. Satu nama melintas di pikirannya.

 

Satu pengkhianatan.

 

Satu kemarahan yang perlahan-lahan membakar setiap inci hatinya.

 

"Je vais tous les détruire."

(Aku akan menghancurkan mereka semua.

 

Kamar Sakit: Janji dalam Sunyi

 

Markas HELIOS malam itu berubah seperti ruang duka.

Semua anggota yang tersisa berkumpul, mengelilingi Davi yang terbaring di ranjang sederhana, dengan perban membalut kepalanya.

Afka duduk bersandar di dinding, tangan berlumur darah sendiri, tapi tak peduli. Arzan mengatupkan rahangnya kuat-kuat, menahan emosi.

Alan menatap kosong lantai, seolah mencari jawaban yang tidak pernah datang.

 

Sementara itu, Altezza berdiri membelakangi mereka semua, matanya tajam menembus kegelapan di luar jendela.

"Mereka pikir ini sudah berakhir," suaranya hampir seperti geraman. Devano berjalan mendekat, melaporkan dengan pelan.

"Tempat itu kosong sekarang. Mereka kabur. Mereka siap buat serangan kedua."

 

Altezza tidak menoleh.

Tangannya terkepal kuat sampai buku-buku jarinya memutih.

 

"Tutup semua akses jalan dari distrik timur," perintahnya pelan tapi mematikan.

"Suruh orang kita berjaga. Mulai malam ini, siapa pun yang bukan HELIOS, kita anggap musuh." "Compris?"

"Compris," jawab mereka serempak.

Tiba-tiba, suara serak Davi memecah keheningan. "Zez... hati-hati... pengkhianat... orang dalam..." Altezza menoleh perlahan.

Matanya bertemu mata Davi yang penuh ketakutan dan luka. Dan saat itu juga, Altezza sadar.

Pertarungan ini... bukan lagi tentang geng lain. Bukan tentang distrik timur.

Ini tentang daging dan darah mereka sendiri.

 

"Trah de sang," bisiknya.

 

(Pengkhianatan darah.)

 

Alletha: Ketegangan Tak Terelakkan

 

Di markas BLACK VEROS, Alletha melemparkan helmnya ke lantai dengan keras.

 

"Mereka nyerang HELIOS!" Vyora berteriak panik sambil membaca pesan anonim yang masuk ke ponselnya.

"Quel bordel!"

(Brengsek ini!)

 

"Kalau mereka bisa tembus ke HELIOS, BLACK VEROS pasti target selanjutnya!" tambah Zava cemas.

Alletha menutup matanya sebentar, berusaha berpikir jernih.

 

Dalam pikirannya, wajah Altezza muncul — ekspresi lelah namun keras kepala, mata penuh luka dan janji.

"On doit choisir un camp," kata Alletha akhirnya, suaranya dingin. (Kita harus memilih pihak.)

"Kalau kita diem aja... kita mati. Kalau kita bantu HELIOS... kita mungkin masih bisa hidup." "Tapi kita taruh nyawa kita di tangan mereka!" bantah Fidellia.

"Kalau harus mati, gue lebih pilih mati berdiri daripada hidup merangkak," jawab Alletha datar.

 

Konfrontasi Rahasia

 

Malam itu, di sebuah jembatan tua yang hanya diterangi satu lampu jalan berkedip, Altezza bertemu Alletha.

Tak ada sapaan, tak ada senyum.

 

Hanya dua jiwa keras kepala, bertemu di tengah badai.

 

"Lo terluka," kata Alletha pelan, menatap perban di tangan Altezza.

 

"Bukan cuma di tangan," jawab Altezza, senyum tipis di bibirnya penuh getir. Mereka berdiri dalam diam, hanya suara gerimis menghiasi malam.

Akhirnya, Alletha membuka suara.

 

"Gue mau bantu."

 

Altezza menatapnya tajam.

"Gue nggak minta lo ikut neraka ini, Alletha."

 

"Gue udah ada di dalam neraka bahkan sebelum lo muncul, Altezza." jawabnya dingin.

 

Altezza terdiam.

Dia tahu. Dia sangat tahu.

 

Dia tidak pernah bisa melindungi semua orang yang dia cintai. Tapi jika Alletha memilih bertarung bersamanya...

"Alors, nous brûlerons ensemble," kata Altezza lirih. (Kalau begitu, kita akan terbakar bersama.)

Alletha tersenyum kecil.

"Avec plaisir,"

(Dengan senang hati.)

 

Deklarasi Perang

 

Kembali di markas HELIOS, Altezza berdiri di tengah ruangan, dikelilingi Devano, Rafka, Askara, Afka, Arzan, Alan, dan sisa-sisa pasukan yang setia.

Di tangannya, sebuah kertas bertuliskan daftar nama. Daftar mereka yang harus dihabisi.

Daftar pengkhianat.

 

"Mulai malam ini," katanya, suaranya berat dan bergetar,

"kita tidak kenal belas kasihan. Tidak ada ampun. Tidak ada kompromi."

 

"On devient des monstres s'ils le faut."

(Kita menjadi monster kalau perlu.)

 

"Karena dunia ini sudah memilih sisi. Dan mereka bukan di pihak kita."

 

Suasana di dalam ruangan mendadak berubah. Lebih dingin.

Lebih berbahaya.

 

Semua orang tahu —

Malam ini, HELIOS berubah.

 

Mereka bukan lagi sekadar geng motor.

 

Mereka adalah hantu-hantu haus darah, yang akan menuntut balas sampai dunia ini hancur. Dan Altezza, pemimpin mereka, sudah melepaskan semua kemanusiaan yang tersisa dalam dirinya. Penutup BAB 2:

Angin malam membawa suara gerimis dan jeritan samar dari kejauhan. Langit seperti ikut berduka, menangisi perubahan yang tak bisa dihentikan.

 

Di dalam markas, Altezza memandang ke arah foto lama HELIOS — saat semua masih polos, masih bermimpi.

Dia mengepalkan tangan.

Foto itu hancur dalam genggamannya. "Adieu, innocence," bisiknya. (Selamat tinggal, kepolosan.)

📖 BAB 3 — Trah de Sang (Darah Pengkhianatan)

 

 
   
 

 

 

Helios: Api dalam Bayang-Bayang

 

Markas HELIOS kini berubah.

Tak ada lagi tawa riuh atau obrolan santai.

Hanya suara langkah berat, dentingan senjata dibersihkan, dan bisikan strategi dibisikkan di sudut-sudut gelap ruangan.

Altezza duduk di ruangannya.

Lampu remang, rokok di antara jarinya mengeluarkan asap tipis.

 

Di depannya, selembar kertas penuh nama-nama anggota HELIOS. Tiap nama diikuti tanda merah atau hijau.

Merah untuk yang dicurigai.

Hijau untuk yang masih dipercaya.

 

"On va commencer par là," gumamnya. (Kita mulai dari sini.)

Pintu diketuk tiga kali.

 

"Masuk," sahut Altezza tanpa mengalihkan pandangannya dari daftar. Devano masuk, diikuti Rafka dan Askara.

"Kita udah periksa sebagian orang, Zezz," kata Devano, suaranya rendah.

"Tapi ada satu yang aneh... Arka."

 

Altezza mengangkat alis.

"Arka?"

 

"Iya... dia tiba-tiba hilang pas kita lagi diserang di distrik timur. Padahal, dia yang pegang jalur informasi kita," jelas Askara, matanya gelap.

 

Altezza mendengus pelan.

 

"Merde..."

(Sialan...)

 

"Temukan dia," perintahnya dingin.

"Kalau dia bersih, dia kembali. Kalau dia kotor... bersihkan."

 

Alletha: Ketegangan Membunuh

 

Di sisi lain kota, Alletha mengadakan pertemuan rahasia dengan BLACK VEROS.

 

Malam itu, di sebuah rooftop gedung terbengkalai, angin menerpa wajah-wajah muda penuh luka.

 

"Kalian yakin kita mau bantu HELIOS?" tanya Senja dengan suara gemetar.

 

"Gue yakin," jawab Alletha mantap.

"Karena kalau mereka jatuh, kita berikutnya. Dan... karena ini juga soal harga diri."

 

"Et nous ne sommes pas des lâches," tambah Vyora, matanya membara. (Dan kita bukan pengecut.)

Semua terdiam.

 

Akhirnya, satu per satu mereka mengangguk.

 

Sebuah sumpah diam lahir malam itu, di bawah bintang-bintang yang hampir tenggelam dalam kelam.

 

Pencarian Arka

 

Malam itu, Altezza dan pasukannya memburu Arka.

 

Mereka menyusuri lorong-lorong gelap, gang sempit, hingga akhirnya menemukan jejaknya di sebuah gudang tua.

Ketika mereka masuk, bau apek dan besi karatan langsung menyambut. Arka berdiri di tengah ruangan, wajahnya penuh luka, tapi matanya...

Mata seorang pria yang sudah kehilangan segalanya.

"Zez... gue nggak bermaksud," katanya terbata. Altezza mendekat pelan.

Sepasang mata dingin menatap Arka seperti predator memandang mangsanya.

 

"Kenapa?" tanya Altezza datar. Arka tertawa miris.

"Karena lo... lo pikir lo bisa lindungin semua orang?! Hah? Lo pikir lo raja?!" teriaknya putus asa.

"Gue cuma mau selamat, Zezz! Gue cuma mau hidup!"

 

Altezza mendekat, sedetik kemudian tangannya menghantam wajah Arka keras.

"Dan karena lo pengen selamat, lo jual saudara lo sendiri?" suaranya rendah, berbahaya. Arka terisak.

"Mereka ancam gue... keluarga gue..." air matanya bercucuran.

Altezza terdiam sejenak. Lalu dia berbisik:

"Dans ce monde, il n'y a pas de place pour les faibles."

(Di dunia ini, tidak ada tempat untuk yang lemah.)

 

Dor!

 

Sebuah tembakan menggema.

Arka terjatuh, darah mengalir membasahi lantai berdebu. Semua orang membeku.

Altezza memasukkan pistolnya kembali ke sarung.

 

"Beri dia pemakaman yang layak," katanya dingin.

"Dia tetap saudara kita... walau dia mengkhianat."

 

Titik Balik

Malam itu, Altezza berdiri di atap markas. Hujan turun lagi, membasahi seluruh tubuhnya.

Tapi dia berdiri tegak, menatap kota penuh dosa di bawah sana. Devano mendekat, diam di sisinya.

"Semua sudah berubah, Zezz," katanya perlahan.

"Kita... sudah terlalu dalam."

 

Altezza menoleh sedikit.

 

"Lo masih bisa mundur, Devano," katanya, suara serak. Devano tersenyum tipis.

"Non, mon frère,"

(Tidak, saudaraku.)

 

"Sampai akhir."

 

Altezza mengangguk kecil.

 

Mereka tahu. Mereka semua tahu.

Mereka bukan lagi anak-anak remaja bermimpi besar. Mereka adalah monster.

Dibentuk oleh darah, dikhianati oleh dunia, dan diikat satu sama lain oleh kesetiaan yang tidak bisa

dijelaskan.

 

Dan ini... baru permulaan.

 

Kegelapan Membelah Persaudaraan

 

Angin malam berembus kencang, menampar wajah Altezza yang berdiri diam di atas atap markas, membiarkan hujan menusuk kulitnya seperti ribuan jarum kecil. Seakan-akan dunia sendiri ingin menegaskan betapa sepinya peperangan ini.

Di belakangnya, suara langkah kaki berat terdengar mendekat, membelah riuh rendah hujan.

Devano muncul dari balik pintu atap, napasnya berat, wajahnya setegas batu, tapi matanya... matanya menyimpan luka yang tidak akan pernah tersembuhkan.

"Zez... lo yakin ini jalan satu-satunya?" tanya Devano, suaranya hampir tenggelam dalam deras hujan. Altezza tidak menjawab seketika.

Dia memejamkan mata sesaat, seolah mencari kekuatan dari dalam dirinya yang nyaris habis terkikis

oleh pengkhianatan dan rasa bersalah.

 

"Lo pikir gue pengen ini, Devano?" sahutnya akhirnya, suaranya serak seperti batu yang digerus waktu.

"Gue juga manusia. Gue juga capek. Tapi kalau kita nggak jadi monster, kita dimakan monster lain."

 

Diam sejenak.

Hujan semakin deras.

 

"Dans cette guerre, l'humanité est un fardeau," lanjut Altezza dalam bisikan. (Dalam perang ini, kemanusiaan adalah beban.)

Devano mengangguk kecil, memahami maksudnya lebih dari siapa pun.

 

"Gue di sini, Zez... Bukan karena gue gak takut. Tapi karena... lo keluarga gue," katanya, setia, tegas, tapi getir.

Altezza membuka mata perlahan, menatap ke arah gemerlap kota yang tampak seperti luka terbuka yang belum mengering.

"Kalau gitu... kita lawan dunia bareng-bareng," ucap Altezza, setengah perintah, setengah doa.

 

Rencana Balas Dendam

 

Malam itu, di dalam ruang rapat darurat HELIOS, para anggota senior berkumpul.

 

Suasana tegang menggantung di udara seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

 

Rafka duduk di pojokan, matanya terus bergerak gelisah.

Arzan dan Alan bersandar di dinding, tangan mereka sesekali mengelus gagang senjata di pinggang, siap untuk apapun.

Afka mondar-mandir tanpa henti, gelisah.

 

Askara menatap Altezza dengan pandangan penuh pertanyaan.

 

"Target kita siapa, Zez?" tanya Askara akhirnya, suara seraknya memecah keheningan.

 

Altezza mengambil selembar foto usang dari dalam jaket kulitnya dan melemparkannya ke atas meja. Semua mata mengikuti gerakan itu.

Dalam foto tersebut, tampak seorang pria muda dengan tato ular membelit lehernya — simbol CRONOS.

"Dia. Jericho. Dia yang menarik benang dari belakang. Dia yang mempermainkan kita, menjual informasi, dan memicu semua ini," kata Altezza, nadanya penuh racun.

"Comment allons-nous l'atteindre?" tanya Rafka perlahan, nyaris berbisik. (Bagaimana kita akan mencapainya?)

Altezza mengangkat kepalanya, tatapannya membunuh.

 

"Dengan membuat neraka turun ke bumi."

Suara Altezza terdengar seperti lonceng kematian.

 

Alletha Bergerak

 

Di markas BLACK VEROS, Alletha juga bergerak.

 

Dia memanggil Vyora, Zava, Fidellia, dan Senja ke ruang tengah.

Wajah-wajah muda itu tampak tegang, tapi juga membara dengan semangat yang tidak akan pernah dipadamkan.

"HELIOS butuh kita," kata Alletha tegas, matanya menyapu satu per satu wajah sahabatnya.

"Dan kita nggak akan nunggu sampai mereka lenyap baru kita menyesal."

 

Vyora mengangguk.

 

"On est ensemble," katanya mantap. (Kita bersama.)

"Sampai akhir," sambung Zava.

 

"Pour l'honneur," tambah Fidellia lirih, menggenggam tangan Senja erat. (Untuk kehormatan.)

Mereka bergerak secepat badai.

 

Malam itu, dua geng yang dulunya berdiri di sisi berlawanan dari medan perang, kini bersatu dalam satu sumpah — darah akan dibalas dengan darah.

Malam Penuh Darah

 

Saat jarum jam menunjuk angka satu dini hari, HELIOS dan BLACK VEROS bergerak serentak.

 

Di sepanjang jalan sempit distrik utara, suara knalpot motor menderu bagaikan auman naga kuno, mengguncang malam yang sunyi.

Mereka menemukan markas CRONOS yang tersembunyi di balik facade bangunan tua. Tanpa aba-aba panjang, Altezza memberi isyarat tangan.

"Pas de pitié," katanya datar. (Tidak ada belas kasihan.)

Dan dalam sekejap, neraka pun pecah. Tembakan meledak.

Teriakan kemarahan menggema.

Darah membasahi aspal hitam.

 

Alletha bertarung berdampingan dengan Altezza, tubuh mungilnya lincah menghindari serangan, matanya penuh determinasi membara.

"À gauche, Alletha!" teriak Altezza mengingatkan saat seorang anggota CRONOS menyerang dari kiri.

(Ke kiri, Alletha!)

 

Alletha memutar badan dengan cepat, menghantam lawannya dengan siku ke tenggorokan, membuat pria itu tumbang tanpa sempat berteriak.

"Bagus!" seru Altezza, sebelum kembali menembakkan pelurunya ke arah lain. Pertempuran itu brutal, tanpa aturan, tanpa ampun.

Hanya insting bertahan hidup yang bicara.

 

Pertemuan dengan Jericho

 

Akhirnya, Altezza menemukan Jericho di lantai dua bangunan tua itu.

 

Pria bertato ular itu menatap Altezza dengan senyum miring penuh penghinaan.

 

"Akhirnya kau datang sendiri, raja kecil," kata Jericho dengan suara mengejek.

 

"Je suis venu pour ton âme," sahut Altezza pelan, matanya dingin bagaikan kematian itu sendiri. (Aku datang untuk jiwamu.)

Tanpa kata lagi, mereka saling menyerang.

 

Pukulan. Tendangan. Hantaman keras.

Dua monster bertarung demi harga diri dan hidup mereka.

 

Pada akhirnya, Altezza menghantam Jericho ke dinding, menodongkan pistol ke dahinya.

 

"Lo ngira dunia ini adil? Dunia ini neraka, Zezza kecil," Jericho tertawa pelan, darah menetes dari bibirnya.

"Kalau gitu... biar gue jadi iblisnya," jawab Altezza.

 

Dor!

 

Jericho jatuh, matanya kosong, senyum kecil beku di wajahnya.

 

Akhir Malam, Awal Neraka Baru

 

Di luar, hujan masih belum berhenti.

 

Altezza berdiri di tengah jalan, hujan membasahi rambutnya, jaket kulitnya menempel ke tubuhnya.

 

Di sekelilingnya, tubuh-tubuh tak bernyawa berserakan, dan HELIOS serta BLACK VEROS berdiri, kelelahan tapi hidup.

"C'est seulement le début," bisik Altezza. (Ini baru permulaan.)

Alletha mendekat, diam-diam menggenggam tangannya. Mereka tidak berkata apa-apa.

Karena mereka tahu. Malam ini mereka menang.

Tapi harga yang harus dibayar untuk kemenangan ini... adalah jiwa mereka sendiri.

 

Retakan yang Meninggalkan Luka

 

Setelah penyerbuan terhadap markas CRONOS usai, markas HELIOS kembali sunyi. Bukan sunyi dalam arti tidak bersuara, tetapi sunyi seperti malam setelah badai: penuh puing, penuh luka, penuh kelelahan yang tidak bisa ditidurkan.

Altezza duduk di kursinya, menatap kosong pada segelas kopi dingin yang bahkan belum sempat disentuhnya. Di dinding ruangan, foto Arka masih tergantung — belum dicopot, belum juga bisa dilupakan. Meskipun sudah terkubur, nama Arka belum mati dalam hati orang-orang yang pernah menganggapnya saudara.

"Kalau semua orang bisa dipercaya, mungkin dunia nggak akan segelap ini," gumamnya lirih, seakan berbicara dengan arwah yang masih gentayangan dalam pikirannya sendiri.

 

Pintu terbuka.

Askara masuk, membawa map tebal dan luka baru di pelipisnya yang sudah mengering.

 

"Ini data jalur baru yang mereka pakai. CRONOS masih punya sisa jaringan. Kita belum menang sepenuhnya."

Suara Askara berat, tatapannya tajam, tapi ada sesuatu dalam suaranya yang tak lagi sama—seperti seseorang yang kehilangan rasa takut karena kehilangan terlalu banyak.

Altezza mengambil map itu, membukanya pelan.

Deretan nama, lokasi, dan simbol mulai mengisi benaknya.

 

"Merci, mon frère," ucap Altezza pelan. (Terima kasih, saudaraku.)

Askara mengangguk, lalu berdiri di sisi pintu. Dia tidak pergi. Dia hanya menunggu.

"Gue denger... Alletha terluka?"

 

Altezza mendongak pelan.

 

"Bahu kirinya. Tembakan nyasar. Tapi dia kuat. Dia lebih kuat dari semua orang yang gue kenal." Nada suaranya mendadak berubah—lebih dalam, lebih berat, seolah menyimpan perasaan yang enggan diakui di depan siapa pun.

"Kau takut jatuh cinta, Zezz?" tanya Askara akhirnya. Pertanyaan itu menggantung lama, tak dijawab.

Sampai akhirnya Altezza berkata lirih,

"Karena cinta... bisa bikin kita lemah. Tapi nggak cinta... bikin kita kosong."

 

Sisi Lain Kota — BLACK VEROS

 

Di tempat berbeda, di sebuah rumah sakit kecil yang disewa untuk perawatan rahasia, Alletha terbaring lemah. Balutan putih di bahunya sedikit berlumur darah, tapi matanya tetap tajam menatap langit-langit ruangan, seolah sedang berbicara dengan takdirnya sendiri.

"Sakit?" suara Vyora masuk sambil membawa air hangat. Alletha menggeleng pelan.

"Lebih sakit waktu lihat Arka tumbang di depan kita. Dia dulu suka ngelawak... sekarang dibungkam

selamanya."

 

Vyora duduk di tepi ranjang.

"Lo tahu nggak, Thea? Kadang gue mikir... kita ini hidup di dunia yang salah. Dunia yang bikin kita harus kuat, harus dingin, harus tega... cuma buat tetap bernapas."

Alletha tersenyum tipis.

"Tapi selama kita masih bisa saling jagain... dunia ini nggak sepenuhnya gagal."

 

Vyora memeluknya pelan.

Dan dalam diam itu, air mata jatuh. Tak bersuara. Tak terlihat. Tapi terasa. Teramat terasa.

 

Langkah Menuju Perang Baru

 

Satu minggu kemudian, HELIOS dan BLACK VEROS kembali duduk bersama. Di markas rahasia yang tersembunyi di bawah tanah, mereka berkumpul dalam ruang briefing.

Peta kota terbentang lebar di tengah meja, dipenuhi pin merah dan hitam.

 

Altezza berdiri, mengenakan jaket kulit hitamnya, dengan luka lama yang belum kering.

Di sebelahnya, Alletha berdiri—bahunya masih dibalut, tapi sorot matanya tak kalah dari bara api.

 

"Kita pikir perang ini selesai," suara Altezza terdengar pelan namun jelas.

"Tapi sisa-sisa CRONOS mulai membentuk cabang baru. Mereka menyebut dirinya

'VULTURE'—bangkai yang makan dari sisa kehancuran."

 

Zava menggeram, "Pantas mereka sembunyi. Pengecut semua."

 

"Enggak, mereka bukan pengecut," sambung Alletha.

"Mereka sabar. Dan itu lebih bahaya. Karena orang sabar bisa membunuh dengan lebih terencana."

 

Altezza menatap semua orang dalam ruangan.

 

"Gue nggak maksa kalian ikut. Tapi jalan ini... penuh darah. Dan mungkin, akhir dari jalan ini... bukan kemenangan, tapi kehancuran."

Diam. Semua menunduk. Sampai Devano angkat bicara.

"Tapi selama kita masih punya satu sama lain, kita nggak benar-benar hancur."

 

"On est une famille," lanjut Alan. (Kita keluarga.)

"Et une famille ne se quitte pas," timpal Afka. (Dan keluarga tidak saling meninggalkan.)

Satu per satu, tangan-tangan terkepal di atas meja.

Sumpah lama diperbarui. Tidak dalam bentuk kata. Tapi dalam keberanian untuk tetap berdiri saat dunia mencoba menjatuhkan.

Akhir Bab

 

Saat malam kembali menyelimuti kota, Altezza berdiri di balkon markas, menatap lampu-lampu jalanan yang berkedip seperti detak jantung kota yang tak pernah benar-benar hidup.

Alletha menyusul, berdiri di sisinya. Tidak ada kata.

Sampai akhirnya, Altezza berkata lirih:

 

"Kadang gue pengen kabur, Thea. Ke tempat yang gak ada geng. Gak ada darah. Gak ada dendam."

Matanya menerawang jauh. Alletha menoleh, tersenyum tipis.

"Kalau suatu hari kita bisa, Zezza... gue akan ikut. Ke mana pun."

 

Altezza menatapnya.

Dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia mengangguk.

 

"Un jour... peut-être."

(Suatu hari... mungkin.)

 

Tapi mereka tahu—“suatu hari” itu tidak datang dengan mudah.

 

Dan sebelum hari itu tiba…

masih banyak darah yang harus mengalir.

 

📖 BAB 4 Les Vautours (Sang Burung Bangkai)

Di Balik Kabut Kota

 

Langit malam kota itu tak pernah benar-benar gelap—bukan karena bintang, tapi karena lampu jalan yang menggantung suram seperti sisa harapan yang belum padam. Di sudut kota bagian timur, tempat yang bahkan polisi pun enggan melewati tanpa senjata, sebuah gudang tua tampak biasa saja dari luar. Tapi di dalamnya, suara sepatu boot, desingan pelatihan senjata, dan peta-peta bercoret penuh darah menghiasi tiap dindingnya.

Di tengah ruangan, seorang pria bertubuh kurus tinggi berdiri tegak. Wajahnya sebagian tertutup masker kulit berwarna hitam. Namanya: Léonard Voss, pendiri VULTURE.

"Le monde a besoin de chaos."

(Dunia membutuhkan kekacauan.)

 

Di hadapannya, sekelompok pemuda dengan jaket bertanda kepala burung bangkai membungkuk taat. Salah satunya melempar foto sobek—foto Altezza, dengan coretan merah di matanya.

"Tué-le. Brûlez leur empire."

(Bunuh dia. Bakar kerajaannya.)

 

Dengan isyarat tangan, mereka menghilang ke dalam bayang—menuju misi yang akan mengubah segalanya.

Markas HELIOS — Keraguan yang Mulai Tumbuh

 

Sementara itu, di markas bawah tanah HELIOS, suasana semakin berat. Altezza berdiri di depan kaca besar yang menghadap jalanan sepi, tubuhnya tegap tapi matanya menua dalam kecemasan yang tak pernah diucapkan.

 

"Zezz... kita dapet informasi baru," ujar Rafka saat memasuki ruang utama. Di tangannya ada USB dengan lambang aneh.

Altezza menoleh, kemudian menarik nafas panjang sebelum menjawab, "Tunjukkan di layar."

 

Ruang rapat langsung gelap. Proyektor menyala, dan muncul simbol VULTURE di tengah layar: kepala burung bangkai mencengkeram mahkota yang patah.

"Mereka tahu segalanya tentang kita. Rute markas, jaringan pemasok senjata, bahkan... lokasi rumah orang tua lo."

Rafka menelan ludah.

Suasana mendadak dingin. Devano mengepalkan tangan. "Gimana bisa? Gak mungkin data internal bocor kecuali..." Altezza langsung menoleh cepat.

"Kecuali ada yang bocorin dari dalam."

 

Semua mata saling bertatapan. Kepercayaan yang dulu tak pernah dipertanyakan, kini terasa seperti bom waktu.

BLACK VEROS — Luka dan Rencana

 

Di sudut kota lainnya, Alletha dan Vyora sedang memetakan ulang wilayah BLACK VEROS. Dengan tangan kirinya yang masih diperban, Alletha menandai jalur baru di peta manual mereka.

"Thea, kita nggak bisa terus begini. Kita bukan cuma diburu, tapi diawasi. Lo sadar nggak, beberapa anggota kita mulai panik?" tanya Vyora tegas.

Alletha mengangguk pelan.

"Gue tahu. Tapi kalau kita nunjukin panik, mereka semua hancur. BLACK VEROS bukan cuma geng. Ini keluarga. Dan keluarga gak lari dari perang."

Vyora diam sejenak, lalu menggeser satu peta kecil ke tengah.

 

"Kalau gitu... kita gabung. HELIOS & BLACK VEROS. Resmi." "Unification totale." (Penyatuan total.)

Alletha menatap sahabatnya lama, lalu tersenyum tipis.

"Itu artinya... gue dan Altezza harus satu tujuan. Satu medan. Dan mungkin... satu luka."

 

Langkah dalam Kegelapan

 

Malam itu, di sebuah atap gedung tua yang sudah ditinggalkan, Altezza dan Alletha bertemu. Tak ada geng, tak ada pengawal. Hanya mereka berdua dan bayang-bayang lampu kota.

"Thea..." suara Altezza pecah pelan, "Lo tahu nggak, sejak CRONOS tumbang, semua ini rasanya makin gila. VULTURE bukan geng biasa. Mereka organisasi. Terlatih. Fanatik. Kayak... monster."

 

Alletha duduk di tepi tembok beton.

"Lo takut?"

 

"Bukan takut... cuma gue ngerasa... ini bukan perang yang bisa dimenangkan dengan otot doang. Ini perang kepala. Dan hati."

"Dan gue takut kehilangan lo di tengah perang kayak gini."

 

Alletha menoleh cepat.

"Jangan gitu."

 

"Je suis sérieusement..." (Aku serius...)

"Gue nggak pernah siap kehilangan siapa pun lagi. Setelah Arka, setelah luka-luka ini. Gue... lelah."

 

Alletha meraih tangan Altezza, menggenggamnya erat.

 

"Kalau lo jatuh, gue tarik. Kalau lo mati, gue ikut. Tapi selama kita masih bernapas... kita lawan, Zezz."

"Karena di dunia yang penuh darah ini, satu-satunya yang bikin hidup berarti... adalah lo."

 

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak perang bermula, Altezza mencium gadis yang selama ini berdiri sejajar dengannya—tidak di atas, tidak di bawah—tetapi di sisi.

Markas HELIOS – Luka yang Belum Tertutup

 

Suasana ruang utama markas HELIOS tak lagi sama sejak informasi tentang kebocoran data itu terungkap. Meja kayu besar yang dulu selalu menjadi tempat diskusi, kini sepi dari canda dan tawa. Bahkan Alan, yang biasanya paling cerewet, duduk diam sambil menggulung lengan jaketnya, menatap layar besar dengan rahang mengeras.

"Kalau emang ada yang ngkhianat dari dalam, kita harus cari dia sekarang juga." ujar Devano sambil berdiri, kedua tangannya menghantam meja. Suaranya keras, tapi tak ada yang menimpali.

Rafka menunduk.

"Gue udah periksa semua jejak digital. Tapi yang masuk ke sistem kita, orang itu bukan cuma ngerti teknologi... dia ngerti pola pikir kita. Rute cadangan, sinyal komunikasi diam-diam, semuanya. Ini bukan sekadar bocoran data. Ini... sabotage."

Altezza berdiri dari kursinya. Langkahnya berat, tapi penuh amarah terkontrol.

 

"On est surveillés. Traqués comme des chiens."

(Kita sedang diawasi. Diburu seperti anjing.)

 

"Jadi sekarang lo semua harus denger gue baik-baik," katanya sambil menatap mereka satu per satu. "Mulai sekarang, nggak ada rahasia. Gak ada pergerakan tanpa konfirmasi. Dan... kalau ada yang lo rasa berubah di antara kita—sikap, kode, bahkan tatapan—laporkan. Karena pengkhianat itu... mungkin lebih dekat dari yang kita pikirkan."

Di Balik Nama "VULTURE"

 

Sementara HELIOS mulai menggencet dari dalam, VULTURE malah semakin kuat dari luar. Setiap malam, satu wilayah yang dulu milik geng kecil tiba-tiba dibakar habis, sisanya hilang tanpa jejak. Polisi? Diam. Media? Bungkam.

Di ruang pusat operasi VULTURE, Léonard duduk sambil membaca buku tebal berjudul "Guerre Psychologique: Dominer sans Armes" (Perang Psikologis: Menguasai tanpa Senjata).

"Le pouvoir ne vient pas de la force. Il vient de la peur."

(Kekuasaan tidak datang dari kekuatan. Ia datang dari ketakutan.)

 

Salah satu anak buahnya, seorang perempuan berambut perak bernama Miraine, mendekat sambil membawa tablet. Di layar, peta wilayah kota dengan titik-titik merah: markas, rute, dan tempat persembunyian HELIOS serta BLACK VEROS.

"Ils sont trop jeunes. Trop émotifs. Trop faibles."

(Mereka terlalu muda. Terlalu emosional. Terlalu lemah.)

 

Léonard tersenyum.

"Alors, faisons-les tomber. Un par un."

(Kalau begitu, mari kita jatuhkan mereka. Satu per satu.)

 

BLACK VEROS – Api di Ujung Senja

 

Di markas BLACK VEROS, Alletha berdiri di tengah ruang utama. Dinding belakangnya kini penuh dengan foto dan catatan: wajah anggota VULTURE, simbol, dan waktu serangan. Suara pintu terbuka terdengar cepat, Nafeeza masuk sambil membawa radio usang.

"Thea... ada gangguan sinyal. Kita kehilangan kontak sama Fidellia dan Senja. Mereka hilang dari jalur sejak tadi sore." Nafeeza berkata cepat, hampir terengah.

Wajah Alletha langsung menegang.

 

"Vyora, siapkan tim dua motor. Kita ke titik hilang kontak sekarang. Nafeeza, jaga markas. Tutup semua jalur komunikasi sampai kita kembali."

Vyora bersiap tanpa banyak tanya.

"On y va." (Ayo kita berangkat.)

 

Di Jalan Gelap – Pertemuan yang Tak Direncanakan

 

Di tengah perjalanan, Alletha dan timnya dicegat. Bukan oleh polisi. Bukan oleh geng. Tapi oleh... Askara. Sendirian, berdiri di tengah jalan dengan jaket HELIOS yang robek dan wajah penuh luka.

"Askara? Apa yang lo lakuin di sini?!" teriak Vyora. Askara terengah, darah mengalir di pelipisnya.

"Gue... mereka... VULTURE nyulik Senja sama Fidellia. Mereka mau mancing HELIOS keluar.

Mereka tahu... lo semua akan datang."

Alletha turun dari motornya dan menarik kerah Askara.

"Lo kenapa di sana? Bukannya lo sama Altezza?"

 

Askara menunduk.

"Gue disuruh jadi pengalihan. Tapi... mereka nyerang lebih dulu. Mereka udah tahu rencana kita bahkan sebelum kita ngelakuin. Ini semua... jebakan."

Seketika ledakan terdengar dari kejauhan.

 

"Markas kita?" Nafeeza bergumam lirih.

 

Alletha menatap asap di langit malam. Matanya merah, bukan karena luka, tapi karena kemarahan yang tak lagi bisa dia simpan.

"C'est la guerre, alors... on va saigner."

(Jika ini perang, maka kita akan berdarah.)

 

HELIOS — Kepercayaan yang Retak

 

Ruang latihan di markas HELIOS malam itu dipenuhi suara hantaman tinju. Altezza menghajar samsak keras, peluh mengucur deras dari pelipisnya. Tapi itu bukan latihan. Itu kemarahan.

Kemarahan yang tak bisa lagi dia tahan sejak kabar BLACK VEROS diserang dan dua anggotanya disandera. Kemarahan karena musuh tahu semua langkahnya... sebelum dia sempat berpikir.

"Tu le sens, Zezz? Lo mulai ragu sama siapa yang lo percaya."

Devano muncul dari belakang, menyandarkan diri di dinding.

 

Altezza berhenti. Mengatur napas.

"Jangan mulai, Van."

 

"Gue nggak mulai. Tapi mungkin kita udah terlambat buat nyelesaiin ini."

 

Devano melempar USB lain ke lantai.

"Gue dapet ini dari server kita. Data komunikasi palsu. Ada nama lo di situ. Seolah-olah lo yang ngasih info ke VULTURE. Tapi IP-nya dimanipulasi. Gila, mereka bukan cuma mau ngancurin kita, Zezz. Mereka mau ngancurin lo dari dalam."

Altezza memungut USB itu. Rahangnya mengeras. "Mereka main kotor. Dan... kita baru main permukaan." VULTURE — Penyesatan dan Penyamaran

Di markas rahasia VULTURE, Miraine duduk di depan komputer, mengedit rekaman suara. Beberapa klik, dan... suara Altezza muncul di speaker. Padahal itu buatan. Dimodifikasi. Diperlancar.

"Serahkan markas BLACK VEROS. Hapus Alletha. Kita bangun kekuasaan baru."

—Kalimat itu terdengar persis seperti Altezza. Tapi bukan dia.

 

"Ils vont s'entretuer."

(Mereka akan saling membunuh.)

 

Léonard tertawa kecil di balik layar, lalu menambahkan rekaman itu ke dalam pesan yang akan dikirim ke perangkat anggota BLACK VEROS yang masih aktif.

"Et maintenant... ils perdront foi en leur roi."

(Dan sekarang... mereka akan kehilangan kepercayaan pada raja mereka.)

 

BLACK VEROS — Runtuhnya Kepercayaan

 

Di markas BLACK VEROS, Vyora menatap layar ponselnya dengan mata melebar. Rekaman itu diputar dua kali, dan semua yang ada di ruangan mendengarnya.

"Nggak mungkin... Altezza... nyuruh kita dibantai?" Nafeeza terisak.

"Gue... nggak percaya..."

 

Alletha, yang baru kembali dari lokasi penyelamatan gagal, berdiri kaku. Dia mengambil ponsel itu, mendengarkan rekaman... dan diam. Tak menangis. Tak marah. Tapi diamnya lebih menakutkan.

"Le mensonge est parfois plus douloureux que la vérité."

(Kebohongan kadang lebih menyakitkan daripada kebenaran.)

 

Vyora mencoba menjelaskan,

"Thea... bisa aja ini jebakan. Lo tahu Altezza gak akan ngelakuin ini."

 

"Gue nggak tahu apa-apa lagi, Vy." jawab Alletha pelan, dingin.

"Gue cuma tahu... dua anak kita ditawan. Markas kita dibom. Dan satu-satunya orang yang tahu semua jadwal gerak kita... adalah dia."

Askara — Wajah di Dua Sisi

 

Sementara itu, di lorong markas HELIOS, Askara berjalan pelan menuju ruang data. Tidak ada siapa pun di sana. Tidak ada CCTV aktif—dia pastikan itu. Dengan cepat, dia menyelipkan USB kecil ke dalam sistem cadangan.

Wajahnya tenang. Tapi di cermin, bayangannya tersenyum... sinis.

 

"Pardon, Zezz... Tapi permainan ini gak cukup besar untuk dua raja."

(Maaf, Zezz... Tapi permainan ini tak cukup besar untuk dua raja.)

 

Markas HELIOS — Dinding yang Mendekap Rahasia

 

Lampu-lampu markas kini tak lagi terang. Seolah bangunan itu tahu bahwa yang bersemayam di dalamnya bukan lagi rasa percaya, tapi ketakutan dan keraguan. Malam ini, Altezza memanggil rapat darurat, hanya dengan Devano, Rafka, dan Afka. Tanpa Askara. Tanpa Alan. Tanpa Arza. Karena sebagian dari mereka sedang dalam misi luar. Atau... begitu katanya.

"Lo yakin cuma kita berempat malam ini?" tanya Devano, duduk di pojok dengan tangan terlipat di dada.

"Yakin." Jawab Altezza, datar.

 

Rafka menggeleng, membuka laptop, memproyeksikan sistem log keluar-masuk markas selama dua minggu terakhir.

"Ini jejak login yang gak biasa. Seseorang masuk ke sistem helix jam 3 pagi, dua malam lalu. Dan... dia berhasil duplikasi jalur komunikasi utama."

_"Kalau itu Askara, kenapa dia belum ke markas lagi?" tanya Afka.

"Dia belum lapor sejak lo suruh jadi pengalihan, Zezz."

 

Altezza menatap kosong ke layar. Matanya tampak... tidak terkejut. Seperti dia sudah tahu, atau setidaknya sudah mencurigai.

"Parce qu’il nous trahit."

(Karena dia mengkhianati kita.)

 

"Lo serius?" Devano berdiri, suaranya meledak.

"Lo... curiga sama Askara? Sahabat lo sendiri? Orang yang lo lindungin dari dulu?"

 

"Je suis sérieux, Devano. Et je suis fatigué d’être trahi."

(Aku serius, Devano. Dan aku lelah dikhianati.)

 

Rafka mengangkat satu berkas data lainnya.

"Dan bukan cuma itu. Ada file audio yang disimpan dalam server bayangan. Berisi... percakapan Askara dan seseorang dari VULTURE. Gue belum tahu siapa, tapi log-nya masuk ke jaringan yang sama kayak rekaman suara palsu lo, Zezz."

Suasana ruang rapat mendadak dingin. Sunyi. Hanya suara kipas komputer yang terdengar samar.

 

_"Kita gak bisa tunggu dia balik," ujar Altezza.

"Kita yang harus cari dia duluan."

 

Kantor Tua di Tepi Kota — Wajah Si Pengkhianat

 

Sementara itu, jauh dari markas, Askara duduk di sebuah kantor tua yang kosong. Sebagian lampunya padam, sebagian lagi berkedip. Di hadapannya berdiri Miraine, si eksekutor senyap dari VULTURE. Rambut peraknya berkilau di bawah cahaya neon mati segan hidup tak mau.

"Tu ne sembles pas hésitant, Askara."

(Kau tampaknya tak ragu, Askara.)

 

"Gue udah terlalu lama jadi bayangannya Altezza. Dia raja, gue cuma pion. Di HELIOS, lo gak bisa punya suara... kalau lo bukan Zezz."

Askara tersenyum sinis.

"Gue muak nunduk sama dia."

 

"Alors, qu’attends-tu pour l’abattre?"

(Jadi, tunggu apa lagi untuk menjatuhkannya?)

 

"Waktu yang tepat." jawab Askara.

"Biar dia ngerasain gimana rasanya dihancurkan dari dalam. Kayak yang dia lakuin ke orang lain, bahkan tanpa sadar."

BLACK VEROS — Hati yang Dilema

 

Di tempat lain, Alletha termenung di balkon markasnya. Sinar bulan jatuh tepat ke wajahnya yang suram. Dia memegang liontin kecil yang dulu diberikan Altezza secara diam-diam, malam setelah mereka berdua lolos dari pengejaran polisi setahun lalu.

"Kenapa semuanya terasa asing sekarang, Altezza?" gumamnya dalam hati.

"Apa lo bener-bener ngkhianatin kita... atau ini cuma permainan orang yang lebih busuk?"

 

Vyora mendekat, membawa secangkir teh hangat.

 

"Gue gak percaya lo bisa sedingin ini kalau lo gak sayang sama dia." katanya pelan.

"Jadi... apa langkah lo selanjutnya, Thea?"

 

Alletha menatap langit.

"La douleur rend les décisions plus nettes."

(Rasa sakit membuat keputusan jadi lebih jelas.)

 

"Kita cari Fidellia dan Senja. Setelah itu... kita hancurkan siapa pun yang mainin kita. Termasuk... dia."

Wajahnya dingin, tapi jantungnya berdetak tak teratur. Seperti sedang berperang dengan dua suara: cinta dan kemarahan.

Markas HELIOS — Malam yang Terlalu Sunyi

 

Langit malam di atas kota terasa menggantung berat. Di dalam markas HELIOS, ruangan rapat kini kosong. Altezza duduk seorang diri, di kursi pemimpinnya, memandangi berkas-berkas data hasil penyadapan yang diletakkan sembarangan di meja kayu tua. Ada coretan tinta merah di sana—bukti perlawanan. Atau mungkin... peringatan.

Matanya tidak fokus. Tangannya menggenggam liontin perak berbentuk sayap yang ia simpan selama bertahun-tahun. Bukan barang berharga, tapi satu-satunya hal yang membuatnya merasa hidup saat dunia mulai kehilangan warnanya.

"Est-ce que tu m’as vraiment trahi, Askara?"

(Apakah kau benar-benar mengkhianatiku, Askara?)

 

Bibir Altezza bergerak nyaris tak bersuara, hanya udara yang keluar, penuh luka. Ia bukan takut akan pengkhianatan—ia terbiasa dengan itu. Tapi Askara... adalah satu dari sedikit orang yang pernah ia izinkan melihat sisi rapuhnya. Satu dari sedikit yang tahu bahwa di balik jaket kulit dan sorot mata tajamnya, ada anak laki-laki yang terluka dan berjuang mati-matian melindungi semua yang ia cintai.

Devano masuk ke ruangan tanpa mengetuk. Seolah sudah tak ada waktu lagi untuk basa-basi.

 

"Rafka nemu lokasi sinyal Askara terakhir. Gudang kosong di distrik timur. Mau kita gerak sekarang?"

 

Altezza berdiri perlahan. Ia mengambil satu kotak kecil dari laci meja—kotak yang hanya Devano tahu isinya. Sebuah cincin kecil, dengan inisial A.A. di dalamnya. Devano melirik, tapi tak bertanya.

"Gue gerak sendiri." suara Altezza pelan tapi dingin.

"Zezz, jangan bodoh. Ini jebakan." "Tepat. Makanya gue yang datang."

"Gue harus tahu jawabannya, Van. Kalau benar Askara hianatin kita, gue gak akan bisa percaya siapa pun lagi."

"Même toi."

(Bahkan kamu.) Devano terdiam.

"Kalau gitu gue ikut. Kalau lo jatuh, gue jatuh bareng." "Lo bukan satu-satunya yang punya luka di sini."

Gudang Tua Distrik Timur — Kebohongan yang Terbongkar

 

Malam menyelimuti gudang tua seperti kain kafan. Cat dinding yang terkelupas, papan kayu yang reyot, dan debu yang tak tersentuh waktu menjadi saksi bisu akan sesuatu yang sebentar lagi akan pecah.

Altezza melangkah masuk pelan. Langkahnya nyaris tanpa suara. Devano mengikut dari belakang. Di dalam, suara keyboard terdengar. Askara sedang duduk membelakangi pintu, menatap layar.

"Lo telat, Zezz." katanya tanpa menoleh.

"Gue tahu lo bakal datang, tapi gue harap lo sendirian."

 

"Sayangnya gue bawa Van. Gue nggak bisa biarin diri gue mati sendirian."

 

Askara berdiri, perlahan berbalik. Tatapannya dingin. Tapi tak ada kebencian. Hanya... kepasrahan.

 

"Kenapa?" Altezza bertanya. Suaranya gemetar, tak seperti biasanya.

 

"Karena lo gak pernah lihat gue. Lo punya semuanya—kuasa, gengsi, bahkan hati dia."

"Tapi gue? Gue selalu bayangan lo. Selalu jadi ‘anggota HELIOS’, padahal gue yang backup lo dari belakang."

"Gue cuma minta satu hal. Pengakuan. Tapi lo terlalu tinggi buat lihat ke bawah." "Alors, j’ai choisi de brûler ce trône."

(Jadi, aku memilih membakar tahtamu.)

 

Devano maju selangkah. Tangannya sudah siap menggenggam gagang pistol di sabuknya.

 

"Lo kerja sama sama VULTURE demi ego?"

 

"Gak cuma ego. Ini soal harga diri. Soal siapa yang berhak pegang dunia ini."

 

Altezza mengangguk pelan.

"Kalau gitu... lo udah milih. Sekarang gue juga harus milih."