"ALTEZZA"
"The King of Darkness, The Slave of Love"
By: SITI AULIA CHAIRUNISSA
"Kemenangan bukan tentang siapa yang paling kuat. Tapi tentang siapa yang rela kehilangan paling banyak."
Langit malam menumpahkan hitam pekat tanpa bintang.
Di atas aspal yang dingin, suara deru mesin motor berbaur dengan aroma bensin yang membakar udara. Di sinilah mereka hidup. Di antara debu jalanan, darah yang mengalir di sudut kota, dan janji-janji yang dilanggar.
Altezza Daffa Nalendra — namanya disebut dengan rasa takut dan hormat.
Ketua HELIOS, geng motor paling ditakuti di Alaska School. Bukan karena kekuatannya. Bukan karena kekejamannya. Tapi karena dia tak punya apa-apa untuk hilang.
Hidup baginya hanya satu: bertahan. Bertarung.
Atau mati.
Dari balik helm hitam polos, matanya dingin menatap dunia. Dunia yang sudah lebih dulu mengkhianatinya.
Setiap ketukan detak jantungnya adalah perang. Setiap langkahnya adalah pernyataan bahwa ia tidak akan tunduk — bahkan pada takdir.
Sampai suatu malam, segalanya berubah. Saat dia bertemu dengan gadis itu.
Ketua BLACK VEROS, geng rival yang hanya tahu satu hal: jangan pernah menyentuh dunia Altezza. Tapi gadis itu melangkah terlalu dekat, menembus dinding yang sudah Altezza bangun selama bertahun-tahun.
Cinta di dunia mereka adalah racun.
Dan Altezza tahu... racun ini akan membunuhnya perlahan.
Bersama teman-temannya — Devano, Rafka, Davi, Arzan, Alan, Afka, dan Askara — Altezza membangun kerajaan jalanan. Mereka menaklukkan jalan, satu balapan demi satu, satu pertempuran demi satu. Tapi di dunia yang dipenuhi darah dan pengkhianatan, tidak ada raja yang bertahan selamanya.
Akan tiba waktunya ketika bahkan sang raja pun harus tunduk. Bukan pada peluru. Bukan pada pisau.
Tapi pada cinta yang tak bisa dimiliki.
Pada akhirnya, ini bukan kisah tentang kemenangan. Ini kisah tentang kehilangan.
Tentang jalanan yang menelan segalanya.
Tentang Altezza — The King of Darkness, The Slave of Love.
🌑
— Altezza Daffa Nalendra
Langit malam di Alaska City selalu penuh cerita.
Deru mesin, cahaya lampu jalan yang temaram, dan suara tawa sinis para pembalap jalanan mewarnai udara.
Di antara ratusan motor yang memenuhi jalanan itu, hanya ada satu nama yang menggetarkan semua:
Dan di puncaknya berdiri seorang lelaki muda dingin, penuh luka, dan tak tersentuh:
Suara knalpot motor Altezza membelah malam, disusul iring-iringan motor anggota Helios. Malam ini bukan balapan biasa.
Malam ini malam penentuan.
Siapa yang pantas menguasai jalanan. Dan siapa yang harus tumbang.
“Lu yakin, Tez?” suara Devano Malik Nalendra terdengar di alat komunikasi kecil di helm mereka. “Kayak ada bau masalah...”
Altezza hanya menanggapi dengan tawa kecil, sarkastik.
“Terlalu banyak mikir, Van. Kita di jalanan, bukan seminar motivasi.”
Di belakang mereka, Rafka Batara, si sekretaris setia Helios, memantau jalur lewat peta digital. “Jalur bersih. Tapi... ada yang aneh. Sepertinya kita diincar.”
"Biarkan saja," gumam Altezza.
"Kita kasih mereka pelajaran... siapa penguasa jalanan sebenarnya."
Mereka berbelok cepat, masuk ke daerah pelabuhan —
tempat kotor penuh kontainer dan sisa-sisa pengkhianatan masa lalu. Di sanalah malam itu berubah.
Sebuah suara ledakan kecil terdengar.
Motor-motor dari geng lain bermunculan dari balik bayangan, menutup jalan keluar.
Dari kejauhan, seorang gadis berdiri di atas kontainer, rambutnya tertiup angin malam, jaket hitamnya berkibar.
Mata elangnya mengunci Altezza dari kejauhan. Ketua BLACK VEROS.
Musuh alami Helios. Musuh alami Altezza.
Tapi malam ini, takdir bermain dengan cara lain. Mereka seharusnya bertarung.
Mereka seharusnya saling menjatuhkan.
Tapi justru malam itu, dalam sepersekian detik ketika mata Altezza dan Alletha bertemu di antara gemuruh mesin dan darah yang berceceran...
Sesuatu yang lebih berbahaya lahir.
Sesuatu yang tak bisa dihentikan dengan kekerasan. Sesuatu yang akan menghancurkan mereka berdua.
Tapi kenapa aku tak bisa mengalihkan pandanganku darimu?"
— Altezza
Langkah pertama telah diambil.
Dan dunia mereka tidak akan pernah sama lagi.
Suara ledakan kecil bergema lagi.
Dari balik bayangan, motor-motor lain bermunculan — lambang Black Veros tergambar jelas di jaket kulit mereka.
Satu per satu menutup semua jalan keluar. Jebakan.
"Rafka, berapa banyak?" tanya Altezza, suaranya tetap tenang meski bahaya sudah di depan mata. "Minimal dua puluh motor, dari dua sisi," jawab Rafka cepat sambil memindai area.
Davi, Arza, Alan, dan Afka sudah menyiapkan posisi masing-masing, siap bertarung kapan saja. Sementara di belakang Altezza, Devano mengangkat helmnya sedikit, memperlihatkan smirk khasnya.
"Permainan dimulai," gumam Devano sambil menarik napas panjang.
Alletha berdiri di atas salah satu kontainer, helmnya sudah dibuka. Rambut hitam pekatnya menari-nari ditiup angin malam.
Dari tempatnya berdiri, dia menatap tepat ke arah Altezza. Tatapan dingin, tapi dalam.
Seperti samudra yang menyimpan badai di bawah permukaannya.
Bahkan saat semua anak buahnya sudah bersiap mengunci Helios, dia hanya diam, mengamati. Ada sesuatu di matanya.
Bukan benci. Bukan amarah. Lebih gelap dari itu
Altezza menghidupkan kembali mesinnya.
Raungan motor Ducati hitamnya menggema, memecah malam.
"Kalau mereka pikir kita bakal mundur," katanya pelan lewat radio, "mereka salah besar." "Perintah, Tez?" tanya Alan dari posisi kanan.
Altezza tersenyum kecil, hampir seperti iblis yang baru saja menemukan mainan baru. "Serang."
Dalam hitungan detik, Helios menerjang ke depan. Baku hantam terjadi.
Motor melayang.
Orang-orang terhempas.
Asap dan percikan api membanjiri jalanan gelap.
Devano bertarung seolah nyawanya tak berharga.
Arza dan Alan membentuk benteng, melindungi Rafka dan Davi yang mengatur jalur kabur. Afka — si tukang ribut — sudah menjatuhkan dua motor Black Veros dengan satu rantai besi di tangannya.
Tapi di tengah kekacauan itu,
mata Altezza tetap terkunci pada satu sosok: Alletha.
Dia belum bergerak. Hanya diam.
Menatap Altezza seolah menantang: "Kejar aku kalau kau berani."
Altezza mendorong gasnya, mengarahkan motornya ke sisi pelabuhan. Alletha tersenyum kecil, lalu menghilang di balik tumpukan kontainer.
Tanpa ragu, Altezza mengejarnya. Suasana berubah.
Tidak ada lagi kerumunan motor. Tidak ada lagi suara perkelahian.
Hanya dua orang — dua raja jalanan — saling memburu di antara lorong-lorong sempit pelabuhan.
Terlalu cepat untuk gadis seusianya.
Motor custom kecil yang ia kendarai meliuk-liuk tajam, nyaris mustahil dikejar.
Tapi Altezza lebih dari sekadar cepat.
Dia berburu seperti binatang lapar — tanpa rasa takut, tanpa keraguan.
Di sebuah lorong sempit, Alletha berhenti mendadak. Altezza hampir saja menabraknya, tapi refleksnya luar biasa.
Dia menghentikan motornya hanya beberapa inci dari punggung Alletha. "Kenapa berhenti?" suara Altezza berat, bercampur napasnya yang memburu. Alletha menoleh perlahan.
Untuk pertama kalinya, mata mereka bertemu tanpa jarak. Tanpa gangguan.
Tanpa bising dunia.
Mata cokelat gelap itu menatap Altezza lurus-lurus, menembus helm dan dinding hatinya. "Aku ingin melihat langsung," bisik Alletha.
"Seperti apa wajah musuhku."
Altezza membuka helmnya perlahan.
Rambutnya berantakan, keringat menetes dari pelipis, tatapannya... kosong, gelap.
"Puaskan rasa ingin tahumu, Princess," katanya sinis. "Lalu keluar dari jalanku."
Alletha tersenyum — senyum tipis penuh makna. "Kalau aku tidak mau?"
"Kalau kau tidak mau," Altezza mendekat, suaranya hampir seperti bisikan beracun, "aku akan membuatmu menyesal pernah lahir ke dunia ini."
Itu bohong.
Mereka berdua merasakannya. Getaran aneh di udara.
Ketertarikan yang tak seharusnya ada.
Mereka bukan hanya musuh.
Mereka adalah dua kutub yang ditarik oleh takdir untuk saling menghancurkan... atau saling menyelamatkan.
Karena di matamu, aku melihat cermin jiwaku sendiri."
— Altezza
Suara langkah kaki lain mendekat.
Helios dan Black Veros mengejar, membawa kenyataan keras bahwa malam ini belum berakhir.
Alletha menarik napas panjang, lalu mengenakan helmnya lagi. Tanpa berkata apa-apa, dia menyalakan motornya dan melesat pergi.
Meninggalkan Altezza di tengah lorong,
dengan jantung berdebar kencang untuk alasan yang bahkan dia sendiri tidak mau akui.
Suasana pelabuhan masih berantakan. Motor-motor berserakan.
Bau oli bercampur darah tipis menguar di udara malam.
Altezza memandangi tempat di mana Alletha menghilang.
Ada sesuatu yang mengganggu di dadanya — sesuatu yang asing. Bukan rasa takut. Bukan rasa marah.
Lebih mirip...
Langkah kaki cepat terdengar dari belakang.
Devano muncul sambil melempar helmnya ke tanah, wajahnya kotor dengan bercak debu dan darah.
"TEZ!!" teriak Devano, napasnya memburu.
"Lu kenapa diem di sini?! Kita masih dalam bahaya!"
Altezza menoleh perlahan. Pandangan matanya kosong, dingin.
Devano mendekat, menarik lengan jaket Altezza kasar.
"Apa lu sadar, tadi hampir semua anggota Helios diserang abis-abisan?! Apa yang lu pikirin?!"
Altezza hanya diam.
Terlalu banyak suara di kepalanya.
Semua bercampur — suara mesin, ledakan, tatapan mata Alletha.
Tatapan yang membuat pertahanan Altezza runtuh sedikit demi sedikit.
Rafka, Davi, Alan, Arzan, Afka, dan Askara akhirnya tiba juga, semua dalam kondisi memar dan lecet.
"Tez, kita harus cabut. Polisi udah bergerak," kata Rafka cepat. Altezza mengangguk sekali.
Dia memakai kembali helmnya, lalu menyalakan motor.
"Retreat," katanya singkat lewat radio geng mereka.
Dalam formasi rapi, sisa anggota Helios menyelinap keluar dari pelabuhan, menghilang dalam gelapnya malam.
Pintu besi besar berderit saat Altezza mendorongnya.
Motor-motor mereka parkir berderet, sebagian dalam kondisi rusak berat. Devano masih uring-uringan, membanting sarung tangan ke lantai.
"Lu makin aneh, Tez," gumamnya.
"Bukan gaya lu nahan serangan. Biasanya lu yang paling brutal di antara kita."
Rafka mendekat, memandang Altezza dengan tatapan tajam. "Siapa dia?"
Altezza mengangkat satu alis. "Apa?"
"Siapa cewek itu?" ulang Rafka.
Semua mata menatap Altezza, menunggu jawaban.
Aku bahkan tidak tahu siapa dia. Hanya nama... Alletha.
Dan tatapan mata itu.
Tatapan yang bilang kalau dia juga... sama rusaknya denganku.
"Aku gak kenal dia," jawab Altezza akhirnya. "Bukan urusan kita."
Devano masih memelototi Altezza, seakan bisa membaca pikiran sahabatnya itu. "Lu bohong," gumam Devano pelan.
"Tapi oke... kita lihat aja seberapa dalam lu bakal jatuh."
Malam itu, semua orang di Helios tahu sesuatu berubah. Dan perubahan itu...
berawal dari sepasang mata yang bertemu di bawah cahaya bulan. Mata seorang raja jalanan,
dan mata seorang ratu yang terlahir untuk menghancurkannya.
Sementara itu, di markas Black Veros, Alletha duduk di atas tangga baja, memandang malam. Vyora, wakil ketua Black Veros, duduk di sampingnya.
"Lo kenapa, Thea?" tanya Vyora sambil menggulung rambutnya.
Alletha tidak menjawab langsung.
Dia hanya menghela napas, menatap kosong ke langit.
"Aku bertemu seseorang malam ini," akhirnya Alletha berbisik. Vyora menaikkan alis, penasaran.
"Siapa?"
Alletha tersenyum kecil, getir. "Musuh."
— Alletha Aurellia Arabelle
Dari luar, ALASKA SCHOOL terlihat seperti sekolah elite biasa — gedung megah, taman hijau terawat, mural-mural keren di dinding. Tapi semua orang tahu, Alaska bukan sekadar sekolah.
Tempat di mana geng motor menguasai dunia bawah tanah remaja. Dan hari ini, atmosfer sekolah lebih panas dari biasanya.
Siswa-siswa bergerombol, berbisik-bisik.
Tatapan mereka mengarah ke dua kelompok yang berhadapan.
Di satu sisi, anak-anak Helios.
Di sisi lain, anak-anak Black Veros. Udara penuh ketegangan.
Altezza berjalan santai di depan anak-anak Helios,
rambutnya sedikit berantakan, mata tajamnya mengamati setiap detail.
Di seberangnya,
Alletha berdiri angkuh, mengenakan jaket hitam ketat, tangan menyilang di dada.
Di belakangnya, Vyora, Zava, Fidellia, dan Senja sudah bersiap, wajah mereka serius. Devano mendekat ke Altezza.
"Kayaknya mereka nyari ribut, Tez," bisiknya.
Altezza hanya mendengus.
"Biarin. Kita lihat siapa yang pertama pecah."
Vyora melangkah maju, senyumnya tajam.
"Berani banget ya, nongkrong di halaman kayak gini. Gak takut malu?" katanya lantang.
Alan mengepalkan tangan, siap maju,
tapi Altezza mengangkat tangan, menahannya.
Dari balik kacamata hitamnya, Altezza menatap langsung ke mata Alletha. Tak ada kata-kata.
Tak ada ancaman.
Hanya tatapan... yang berbicara lebih keras dari apapun.
Aku tahu kau sama rusaknya denganku.
Alletha mengangkat dagunya sedikit, menantang.
Suasana makin panas.
Siswa-siswa mulai bersorak pelan, menunggu siapa yang pertama menyerang. Rafka, dari sisi Helios, mendekati Altezza sambil berbisik cepat.
"Kalau mau ribut, sekarang waktunya. Gua udah siap."
Altezza tetap tenang.
Dia melirik jam tangannya, lalu tersenyum miring. "Belum saatnya," bisiknya.
Dia melangkah maju — hanya satu langkah — mendekati Alletha. Hanya satu meter memisahkan mereka sekarang.
Semua siswa menahan napas.
Altezza menundukkan badan sedikit, suaranya berat, dalam, hanya untuk Alletha. "Kau mau perang di sini?"
"Nanti aja malam," bisiknya, senyuman licik mengembang di bibirnya. Alletha balas tersenyum tipis, manis tapi beracun.
"Jangan nyesel, Altezza," katanya pelan.
Lalu dia mundur selangkah, membalik badan, dan pergi dengan kepala tegak, diikuti oleh semua anggota Black Veros.
Sorakan kecewa terdengar dari siswa-siswa lain. Mereka berharap terjadi perkelahian.
Tapi bagi Altezza dan Alletha, ini lebih dari sekadar adu fisik.
Ini permainan.
Permainan yang jauh lebih berbahaya.
Di Atas Atap Sekolah
Sementara itu, Askara — sahabat Altezza yang pendiam — memandang kejadian itu dari kejauhan. Dia mencatat sesuatu di notes kecilnya.
"Altezza berubah."
"Permainan ini... bisa menghancurkannya."
Helios berkumpul di ruang utama — gudang tua yang dipenuhi motor dan peta jalanan kota. "Tez, gua serius," kata Devano dengan nada tinggi.
"Lu harus fokus. Black Veros makin berani. Kalau lu goyah, kita kalah." Altezza duduk di kursi reyot, menatap kosong ke depan.
"Bukan gua yang goyah," jawabnya dingin. "Mereka yang mulai bermain api."
Devano menggeleng keras.
"Lu mikir kayak gitu karena cewek itu! Dia ngacauin pikiran lu!" Semua orang terdiam.
Rafka melirik Devano tajam, memperingatkan supaya dia hati-hati bicara. Tapi Altezza hanya tersenyum tipis.
"Aku tetap Altezza," katanya dingin.
"Kalau mereka mau main, kita kasih permainan yang nggak bakal mereka lupa."
Alletha menatap peta kota yang penuh coretan rute. Dia menunjuk satu titik di peta.
"Malam ini, kita serang tempat ini." Vyora mengangkat alis.
"Itu wilayah Helios."
Alletha tersenyum kecil. "Justru itu."
Zava bersorak pelan, semangat. "Let’s crash their pride!"
Malam Akan Tiba.
Perang kecil akan dimulai.
Dan hati yang belum selesai memilih...
akan terseret lebih jauh ke dalam kehancuran.
"Kau dan aku.
Takdir kita sudah tertulis dalam darah dan kehancuran."
— Altezza & Alletha
Angin malam bertiup dingin.
Lampu-lampu jalan berkelap-kelip seperti bintang yang kelelahan.
Di kejauhan, suara deru mesin motor menggema...
...semakin dekat, semakin keras.
Black Veros datang.
Dan mereka tidak datang untuk berdamai.
Alletha memimpin di depan, mengenakan jaket kulit hitam dengan emblem Black Veros di punggung. Di belakangnya, Vyora, Zava, Fidellia, dan Senja membawa rantai, tongkat, dan semangat perang di mata mereka.
Mereka tidak peduli risiko malam ini.
Yang penting satu: menunjukkan bahwa Black Veros bukan untuk diremehkan.
Askara, yang lagi patroli di atap gudang, mendengar suara mesin itu lebih dulu. Dia langsung mengaktifkan radio geng.
"Kode hitam. Ada pergerakan. Banyak," katanya cepat.
Di dalam gudang, Altezza membuka matanya.
Duduk dari kursinya, dia melempar jaket ke bahu, lalu mengenakan helm. "Semua posisi tempur," perintah Altezza dingin.
Anak-anak Helios langsung bergerak cepat.
Suara sepatu menghentak lantai, suara rantai dikencangkan, senjata-senjata kecil disiapkan.
Malam ini...
Pintu Markas Helios
Suara motor berhenti. Sunyi sejenak.
Lalu...
Pintu markas digedor keras.
"HELIOS! Keluar kalian, pengecut!" suara Vyora menggema di malam. Rafka, yang berdiri di belakang Altezza, mendesis.
"Mereka cari mati."
Altezza hanya tersenyum miring di balik helmnya. "Kasih apa yang mereka mau," katanya.
Lalu dia mendorong pintu besi dengan keras —
dan malam itu, kedua geng motor terbesar kota bertabrakan di tengah jalanan kosong.
Suara rantai beradu, tongkat menghantam logam. Teriakan, umpatan, deru adrenalin memenuhi udara.
Alletha langsung mencari Altezza di tengah kekacauan itu. Mata mereka bertemu lagi.
Sama seperti takdir yang menarik mereka satu sama lain tanpa bisa dilawan.
Alletha mengayunkan tongkatnya ke arah Altezza.
Altezza menghindar gesit, lalu menangkap pergelangan tangannya.
Keduanya berhadapan, napas berat, wajah berjarak hanya beberapa centimeter. "Duluan," bisik Altezza tajam.
Alletha menatapnya dengan mata berkilat. "Aku tidak butuh izinmu," balas Alletha dingin.
Lalu dia menendang lutut Altezza, memaksa pemuda itu mundur selangkah. Altezza tertawa kecil.
Dia suka ini.
Dia suka tantangan ini. Dia suka... Alletha.
Pertarungan Mereka
Pertarungan mereka lebih mirip tarian daripada perkelahian. Langkah-langkah cepat, serangan balasan, kejaran, dan perlawanan.
Seakan-akan, dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada Altezza dan Alletha.
Musuh yang terlalu mirip untuk saling menghancurkan... Tapi juga terlalu cocok untuk saling melepaskan.
Devano bertarung sengit dengan Vyora. Alan berhadapan dengan Fidellia.
Arzan, Afka, Davi, dan Rafka bertempur dengan anggota Black Veros lainnya.
Sementara itu, Askara...
Askara mengamati semua ini dari kejauhan, hatinya penuh kekhawatiran.
Dia tahu...
kalau Altezza terus-terusan mendekati Alletha,
maka kehancuran sudah menunggu di ujung jalan ini.
Klimaks
Altezza berhasil memojokkan Alletha di tembok beton.
Dia mencengkeram kerah jaket Alletha, wajah mereka hanya sejengkal. Alletha menatapnya, penuh tantangan.
"Kau kalah," bisik Altezza.
Alletha tersenyum kecil, bibirnya berlumuran darah. "Bukankah... kita berdua... sudah kalah sejak pertama bertemu?"
Kata-kata itu menghantam Altezza lebih keras daripada pukulan manapun.
Dia mengendurkan cengkeramannya.
Sekilas, ada rasa bersalah melintas di matanya. Seketika itu juga, Alletha menggunakan kesempatan —
mendorong Altezza kuat-kuat, lalu kabur bersama Black Veros yang mundur cepat.
Ini bukan kemenangan.
Ini awal dari sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
"Kau bukan musuhku. Kau adalah takdirku.
Dan takdir itu akan menghancurkan kita berdua."
Langit masih kelabu sisa semalaman hujan.
Di koridor sekolah, suasana terasa lebih berat dari biasanya. Semua siswa, seakan tahu,
Ruang Kelas 12 — Altezza
Altezza duduk di kursinya dekat jendela, tatapannya kosong menatap luar. Tangan kanannya memutar-mutar bolpoin tanpa sadar.
Pikirannya tak bisa lepas dari semalam.
Senyumnya saat berdarah. Kalimat terakhirnya.
"Bukankah... kita berdua... sudah kalah sejak pertama bertemu?"
Kata-kata itu menghantam ke dalam dirinya, lebih dari seribu pukulan sekalipun.
Devano datang, melemparkan sebuah file tebal ke meja Altezza.
"Data tentang Black Veros yang lu minta," katanya, menghela napas berat. Altezza hanya melirik sekilas.
Tanpa banyak kata, dia membuka file itu.
Foto-foto, data pribadi, riwayat anggota Black Veros, termasuk... Alletha. Nama lengkap: Alletha Aurellia Arabelle.
Umur: 17 tahun.
Status: Ketua Black Veros. Asal keluarga: tidak diketahui.
Catatan: ahli strategi, ahli bela diri, terlibat dalam lebih dari 15 bentrokan jalanan.
Satu baris di bawah fotonya menarik perhatian Altezza: "Target lama dari organisasi underworld 'CRONOS'." Dahi Altezza berkerut.
CRONOS?
Organisasi kejahatan yang bahkan HELIOS enggan berurusan? Apa urusan Alletha dengan CRONOS?
Sementara itu, di sisi lain sekolah, Alletha berjalan santai bersama Vyora.
"Helios bakal nyelidikin kita," kata Vyora setengah berbisik. Alletha tersenyum kecil.
"Biarkan.
Aku juga mau tahu lebih banyak tentang Altezza."
Senyuman Alletha hari itu berbeda.
Biasanya, dia tersenyum untuk menantang. Hari ini... senyumnya penuh rasa ingin tahu.
Altezza.
Siapa sebenarnya kau?
Kenapa... setiap kali aku melihatmu,
rasanya aku seperti melihat bagian dari diriku sendiri?
Flashback Altezza — 6 Tahun Lalu
Seorang bocah lelaki kecil berdiri di tengah jalanan basah. Tubuhnya penuh luka, bajunya compang-camping.
Di sekitarnya, suara sirine polisi bergema,
lampu-lampu merah-biru berputar di antara hujan deras.
Bocah itu — Altezza kecil — baru saja kehilangan semua yang dia punya. Keluarganya.
Rumahnya. Masa kecilnya.
Hanya karena satu hal:
Seorang pria berjubah hitam mendekat, jongkok di depan Altezza kecil. "Namamu sekarang... Altezza," katanya.
"Dan kau akan menjadi Raja Jalanan."
Bocah itu mengangguk perlahan, tanpa rasa takut.
Tapi sebagai monster kecil yang haus kekuasaan. Kembali ke Masa Kini
Altezza memejamkan mata sejenak, mengenyahkan kenangan itu.
Dia kini CEO muda dari Helios, ketua geng motor terkuat di kota ini, dan...
seorang lelaki yang hatinya perlahan-lahan dipecahkan oleh seorang gadis musuh.
"Aku dibentuk untuk menghancurkan. Tapi kenapa...
saat melihatmu,
aku justru ingin melindungimu?"
Askara berdiri di pinggir atap, melihat ke bawah.
Dia menggenggam notes kecilnya erat-erat, membaca kalimat yang dia tulis malam tadi:
"Kalau Altezza jatuh cinta... berarti Helios dalam bahaya."
Matahari mulai naik,
mewarnai langit kelabu dengan oranye yang sendu.
Sementara itu,
dua hati yang seharusnya bermusuhan perlahan-lahan saling mendekat...
Pagi itu, udara terasa lebih tebal, seolah seluruh sekolah menahan napas.
Desas-desus tentang pertarungan liar dua geng motor besar menyebar seperti virus. Semua siswa membicarakannya...
...semua siswa tahu,
Mereka tahu:
Altezza duduk dengan tenang di kursinya, tangan terlipat di dada. Tapi pikirannya jauh dari pelajaran.
Matanya melirik ke pintu, seolah menunggu sesuatu. Atau...
seseorang.
Siluet seorang gadis berdiri di ambang pintu. Semua kepala otomatis menoleh.
Itu... Alletha.
Alletha tersenyum santai, matanya menatap langsung ke arah Altezza. Senyumannya... tajam.
Menggoda. Memanggil.
"Permisi, saya disuruh guru untuk mengantar tugas," katanya. Padahal, semua tahu itu bohong.
Tapi siapa yang berani membantah?
Alletha berjalan perlahan ke arah Altezza.
Setiap langkahnya terasa seperti dentuman di kepala Altezza.
Saat Alletha tiba di sampingnya, dia meletakkan setumpuk kertas di meja Altezza — sengaja menunduk lebih dekat.
Bisikan kecil meluncur ke telinga Altezza:
"Main mata di medan perang berbahaya, Tuan Ketua."
Lalu Alletha berdiri tegak lagi, tersenyum nakal, dan berjalan keluar.
Ruang kelas terasa hening.
Semua mata memandang Altezza, menunggu reaksinya.
Tapi Altezza hanya menghela napas dalam-dalam, menyembunyikan senyuman kecil yang entah kenapa, tidak bisa dia tahan.
Vyora mengejar Alletha begitu gadis itu keluar dari kelas. "Lo ngapain sih?!" desis Vyora, setengah panik.
Alletha hanya tertawa pelan. "Memancing."
Vyora memandang Alletha dengan cemas.
"Kalau lo kebablasan, kita bisa ketiban masalah gede." Alletha berhenti berjalan, wajahnya tiba-tiba serius.
"Kalau kita nggak mendekati dia duluan, dia yang bakal menghancurkan kita, Vyo." Vyora terdiam.
Alletha menarik napas panjang.
"Aku harus tahu... kenapa Altezza begitu... berbeda."
Sementara itu, Askara, yang menyelinap ke kantor guru untuk cari data tambahan tentang Alletha, menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Dia menemukan file lama —
dengan logo CRONOS di pojok kanan atas.
Dan di dalam file itu, ada foto... Alletha kecil.
Sedang menangis. Dengan luka di pipinya.
Dan di belakangnya...
seorang pria berseragam hitam berdiri, memegang borgol berdarah.
Askara buru-buru mencatat di buku kecilnya:
"Alletha bukan sekedar ketua geng.
Dia punya masa lalu yang bisa membunuh kita semua."
Sore itu, di atas atap sekolah,
Askara menemui Altezza yang sedang termenung. "Tezz," kata Askara serius, "kita ada masalah besar." Altezza hanya melirik, diam.
Askara menyerahkan file yang dia curi tadi. Altezza membuka file itu perlahan.
Saat matanya membaca baris demi baris, ekspresinya mengeras.
Bukan karena marah. Bukan karena takut. Tapi karena rasa sakit.
"Kau dan aku...
ternyata sama-sama hancur sebelum saling mengenal."
Altezza duduk di pagar balkon, memandangi bintang-bintang. Handphone-nya bergetar.
Pesan baru.
Dari nomor tak dikenal.
Sendirian."
Altezza menggenggam ponselnya erat.
Dia tahu ini jebakan.
Tapi dia juga tahu... dia tidak punya pilihan.
01:00 AM — Pelabuhan Tua
Udara malam menusuk dingin.
Langkah-langkah Altezza bergema di antara kontainer tua berkarat. Lampu-lampu jalanan berkedip, seakan-akan ikut memperingatkannya.
Dia tahu.
Tapi Altezza bukan tipe orang yang lari dari jebakan.
Dia tipe orang yang menghancurkan jebakan itu dari dalam. Siluet di Bayangan
Di balik salah satu kontainer, sesosok pria berjas hitam berdiri. Mukanya tertutup bayangan, hanya matanya yang terlihat berkilat.
"Sendirian, seperti yang diminta," kata pria itu. Altezza tidak menjawab.
Dia hanya berdiri diam, penuh kewaspadaan.
"Bagus," lanjut pria itu sambil menyeringai. "Kau ingin tahu tentang Alletha, kan?"
Altezza mengangguk pelan.
Pria itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah gudang tua di ujung pelabuhan. "Semua jawabanmu ada di sana."
Dengan langkah tenang, Altezza mendekati gudang itu. Pintu besi besar berderit pelan saat dia mendorongnya.
Di dalam, bau karat dan oli memenuhi udara. Dan di tengah-tengah ruangan...
...seorang pria tua terikat di kursi kayu.
Matanya lebam. Bibinya robek. Tubuhnya penuh luka.
Tapi dia masih hidup.
Dan saat melihat Altezza, pria itu tertawa kecil. "Akhirnya... kau datang."
"Apa hubunganmu dengan Alletha?" tanya Altezza dingin. Pria itu tertawa lirih, suara batuk parau mengikutinya. "Alletha... adalah eksperimen gagal kami."
Altezza mengerutkan kening. "Eksperimen?"
Pria itu mengangguk, matanya penuh kegilaan.
"CRONOS menginginkan anak-anak dengan potensi tak terbatas. Kami memilih bocah-bocah yatim piatu.
Kami latih mereka.
Kami paksa mereka membunuh...
...bahkan sebelum mereka tahu apa itu arti kemanusiaan."
Altezza mendengarkan dengan rahang mengeras.
"Alletha... adalah salah satu dari yang terbaik. Tapi dia kabur.
Dia menghancurkan markas kami. Dia membakar seluruh fasilitas, membunuh para penjaga."
Pria itu tersenyum miring.
"Dan dia... satu-satunya alasan CRONOS masih mengincar kota ini."
Tiba-tiba, suara klik terdengar di belakang Altezza. Dia berbalik cepat.
Pria berjas hitam dari tadi...
mengacungkan pistol ke arah kepala Altezza. "Kau terlalu banyak tahu, Tuan Ketua."
Dalam sepersekian detik, Altezza menjatuhkan dirinya ke lantai, menghindari tembakan yang meledak keras di ruang sempit itu.
Peluru menghantam dinding kontainer, memercikkan logam panas.
Dengan refleks cepat, Altezza mengeluarkan pisau kecil dari jaketnya, melemparkannya lurus ke arah pria itu.
Pria itu jatuh terduduk, pistol terlepas dari tangannya.
Altezza bergerak cepat, meraih pistol di tanah, lalu menodongkannya ke kedua pria itu.
"Nggak ada yang keluar dari sini hidup-hidup sebelum gue dapet semua jawaban," katanya dingin. Pria tua di kursi tertawa lagi.
"Kalau kau ingin jawaban lebih banyak... cari dia." Pria itu melemparkan selembar foto lusuh ke lantai. Altezza mengambilnya.
Foto itu...
foto seorang gadis kecil...
...dan seorang wanita muda yang memeluknya. Di belakang foto itu, tertulis satu kata:
Siapa Azalea?
Altezza mengerutkan alis. Azalea.
Nama itu terdengar asing.
Tapi hatinya berdegup lebih kencang saat membacanya.
Instingnya berteriak —
Atau...
ke kehancurannya sendiri.
"Kalau jatuh cinta adalah dosa...
maka aku sudah tenggelam dalam dosa ini jauh sebelum aku sadar."
Dari atap gudang,
sepasang mata mengawasi Altezza dengan tajam. Orang itu berbicara di radio kecil:
"Subjek 01 bergerak.
Protokol Pemusnahan aktifkan."
Malam semakin pekat. Dan jalan Altezza...
...baru saja mulai dihantui bayang-bayang lebih gelap dari yang pernah dia bayangkan.
Markas Helios dipenuhi aura tegang.
Semua anggota geng berkumpul di ruang utama, berdiri dalam barisan rapi, menunggu instruksi Altezza.
Devano berdiri di sisi kanan Altezza, ekspresi wajahnya serius. Rafka sibuk mengetik di laptop,
sementara Davi, Arza, Alan, Afka, dan Askara bersiaga penuh.
Altezza melangkah maju, matanya tajam menelusuri seluruh ruangan. "Kita punya target baru," katanya tegas.
Semua anggota memasang telinga.
"Nama: Azalea.
Informasi: Sangat terbatas.
Keterkaitan dengan CRONOS dan... Alletha."
Terdengar desahan kecil di antara para anggota, tapi tak satu pun berani berbicara.
"Aku butuh semua jalur informasi dibuka. Semua koneksi gelap kita digerakkan.
Aku mau nama, alamat, dan riwayat hidupnya sebelum matahari terbenam," perintah Altezza. "Siap!" jawab para anggota serempak.
Altezza mengangguk singkat.
Devano mendekat, berbisik,
"Ini lebih dalam dari yang kita kira, bro." Altezza menatap sahabatnya dalam-dalam.
"Aku tahu, Dev.
Tapi ini... urusan pribadi."
Di markas Black Veros,
Alletha mengumpulkan Vyora, Zava, Fidellia, dan Senja. "CRONOS mulai bergerak," kata Alletha datar.
Vyora mengangguk.
"Ada laporan gerak-gerik aneh di sekitar Alaska School." Zava menggeram pelan.
"Kalau mereka berani sentuh satu rambut kita, gue yang turun tangan." Fidellia dan Senja juga mengangguk serius.
"Kita harus lebih cepat dari mereka," kata Alletha.
Dia mengeluarkan peta besar kota dari tasnya, membentangkannya di meja. "Aku mau patroli bergiliran.
Cari tanda-tanda pergerakan.
Kalau perlu, tangkap salah satu agen CRONOS hidup-hidup."
Helios dan Black Veros tanpa sadar bergerak di jalanan yang sama malam itu, menyisir kegelapan, memburu bayang-bayang.
Altezza dan Askara duduk di sudut bar, menyamar dengan jaket hitam tebal.
Seseorang dijadwalkan menemui mereka malam ini — informan gelap yang mengaku tahu tentang "Azalea."
Pintu bar berderit.
Seorang wanita muda masuk, mengenakan hoodie abu-abu.
Dia mendekat dengan cepat, tanpa basa-basi, melemparkan sebuah amplop ke atas meja Altezza. "Jawaban yang kau cari... ada di dalam sini," katanya pelan.
Lalu dia berbalik pergi begitu saja.
Altezza membuka amplop perlahan. Di dalamnya —
beberapa foto,
salinan akta kelahiran, dan sebuah surat tangan.
Surat itu bertuliskan:
"Azalea adalah kode.
Nama aslinya... Alletha Aurellia Arabelle.
Dia adalah Subjek 01, eksperimen CRONOS pertama yang berhasil. Tapi dia memilih kabur daripada menjadi senjata pembunuh.
CRONOS ingin dia kembali — hidup atau mati."
Altezza membeku. Nafasnya tercekat.
Shock Altezza
Dunia Altezza seolah runtuh perlahan.
Gadis yang membuatnya merasa hidup kembali...
adalah orang yang sejak awal ditargetkan untuk dihancurkan oleh dunia kotor tempat dia hidup.
"Apa yang harus kulakukan? Menyelamatkanmu...
atau menghancurkanmu demi melindungi dunia yang sudah aku bangun?"
Alletha berdiri sendirian, mendongak ke langit malam. Dia bisa merasakan... sesuatu berubah.
Semua anggota Helios berkumpul lagi. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Altezza datang terlambat, dengan langkah berat dan tatapan kosong. Devano memperhatikan, dahinya berkerut.
"Bro, lo kenapa?" tanya Devano pelan. Altezza hanya menggeleng pelan, tanpa kata. Rapat Geng
Di meja besar, Rafka membuka laptopnya, memproyeksikan peta besar kota.
"Beberapa titik aktivitas CRONOS terdeteksi di area pelabuhan dan distrik industri," katanya cepat. Alan bersandar santai, tapi matanya waspada.
"Kayaknya mereka nyari sesuatu... atau seseorang." Arza mengetuk meja dengan jarinya, penuh ketegangan.
Afka menambahkan, "Ada laporan satu orang menghilang semalam. Informan kecil kita."
Semua orang menunggu instruksi Altezza.
Biasanya, Altezza langsung memberi perintah keras dan cepat. Tapi kali ini...
Dia diam.
Beberapa detik sunyi. Menyiksa.
Sampai akhirnya Altezza berbicara:
"Kita...
tunda semua operasi malam ini." Semua langsung gempar.
"Lo serius, Tezz?!" Devano berdiri, suaranya meninggi.
"Ini momen penting, bro! Kita bisa gebuk CRONOS sekarang!" Altezza menatap Devano tajam,
tapi suaranya tetap tenang.
"Aku minta kalian percaya sama aku. Tunda semua operasi.
Sekarang."
Devano mengatupkan rahangnya, jelas tidak puas.
Tapi akhirnya dia mengangguk pendek, menahan emosinya. Yang lain, meski bingung dan berat hati, juga mengikuti.
Malam itu, Altezza berdiri di balkon markas sendirian. Memandangi jalanan gelap yang basah oleh hujan.
Bagaimana mungkin dia berperang melawan dunia...
kalau yang harus dia hancurkan adalah orang yang dia cintai?
Di markas Black Veros, suasana juga panas. Vyora baru saja mendapatkan kabar buruk.
"Ada pengkhianat di antara kita," katanya dingin. Zava, Fidellia, dan Senja terkejut.
"Apa maksud lo, Vyo?" tanya Fidellia. Vyora menatap tajam ke arah pintu.
"Ada yang kasih tahu lokasi patroli kita ke CRONOS."
Alletha berdiri dari kursinya. Tatapannya tajam seperti bilah pisau. "Aku mau semua orang diperiksa.
Satu per satu."
Tak ada yang berani membantah.
Malam itu, Black Veros memulai perburuan dalam tubuh mereka sendiri.
Sementara itu, di luar markas Helios, Devano menahan Altezza sebelum Altezza pergi. "Tezz, lo bisa jujur sama gue," katanya perlahan.
"Lo lagi ngumpetin sesuatu, kan?"
Altezza menatap sahabatnya itu lama.
Dia ingin jujur.
Ingin cerita segalanya.
Tapi...
bagaimana caranya menjelaskan bahwa musuh mereka sebenarnya adalah gadis yang selama ini dia jaga?
"Kalau gue buka suara,
dunia yang kita bangun bareng bakal runtuh."
Malam semakin larut.
Altezza mengendarai motornya ke sebuah tempat sepi — lapangan kosong di pinggir kota.
Di sana, Alletha sudah menunggu. Mereka bertemu...
...dalam diam.
"Lo berubah," kata Alletha pelan.
Altezza menghela napas, matanya menerawang. "Banyak hal yang gue temuin...
yang lo nggak tahu."
Alletha mendekat, suaranya pelan. "Kalau lo tahu semuanya...
lo bakal tetap ada di sisi gue?"
Altezza menunduk.
Tak sanggup menjawab.
Jawaban itu...
lebih berat dari sekadar iya atau tidak.
Malam itu, di bawah langit penuh bintang, dua jiwa yang hancur saling menatap.
Tidak ada kata cinta. Tidak ada janji.
Hanya...
Kegiatan Helios mulai terasa aneh.
Patroli dikurangi, operasi pengintaian dihentikan tanpa alasan jelas.
Devano, Rafka, Alan, dan yang lain mulai resah.
Terutama Devano — dia tahu ada sesuatu yang disembunyikan Altezza. Di ruang rapat, Devano menatap Altezza tajam.
"Kita diem aja? Serius?!"
Suara Devano menggema di ruangan.
Rafka, yang biasanya tenang, bahkan ikut angkat bicara.
"Bro, kita ini geng motor terbesar di kota ini. Kita bukan pengecut."
Altezza berdiri, kedua tangannya di saku jaketnya. "Aku yang ambil alih semuanya," katanya datar.
"Kalau ada yang bergerak tanpa perintahku, keluar dari Helios."
Ruangan itu membeku.
Tak ada yang berani melawan langsung.
Tapi dalam hati mereka — terutama Devano — bara kemarahan mulai menyala.
Malam itu, saat Altezza menghilang entah ke mana,
Devano mengumpulkan Rafka, Alan, Arza, Afka, dan Davi.
"Gue nggak tahu kenapa Altezza berubah," katanya tegas. "Tapi kalau dia nggak mau bertindak, kita yang bertindak."
Rafka mengangguk perlahan. "Kita bergerak di belakangnya?"
Devano menatap teman-temannya satu per satu.
"Demi Helios."
Di markas Black Veros, Vyora akhirnya menemukan bukti. Di laptop milik Senja, dia menemukan file tersembunyi —
berisi lokasi patroli rahasia Black Veros yang dikirimkan ke email tak dikenal.
Semua anggota dikumpulkan.
Alletha berdiri di tengah ruangan, matanya dingin. "Senja," katanya pelan.
"Kenapa lo lakuin ini?"
Senja menggigil. Dia jatuh berlutut.
"Aku nggak bermaksud... aku dipaksa... keluarga aku diancam CRONOS!" Zava menggeram marah, maju dua langkah.
"Betrayal is betrayal!"
Semua menunggu keputusan Alletha.
Dan dengan suara gemetar, tapi tegas, Alletha berkata: "Mulai hari ini... Senja keluar dari Black Veros." Tangisan Senja menggema saat dia dibawa keluar.
Fidellia memalingkan wajah, tidak tahan melihatnya.
Tapi ini dunia mereka —
Malam itu, tanpa ampun, CRONOS melancarkan serangan besar. Beberapa markas kecil Helios dan Black Veros dihancurkan.
Banyak anggota luka parah. Beberapa bahkan diculik.
Devano menerima laporan dengan muka tegang. "Ini yang kita dapat karena diem aja!" bentaknya.
Rafka, Alan, Arza, Davi, dan Afka semua siap dalam mode tempur. "Mau Altezza setuju atau nggak, malam ini kita balas!" seru Devano. Altezza Menyadari
Altezza kembali ke markas tepat saat Devano dan yang lain bersiap pergi. "Lo mau ke mana?!" tanya Altezza dengan suara keras.
Devano menatapnya dengan mata merah.
"Ke tempat yang harusnya dari awal kita serang, Altezza!" Altezza mengepalkan tangan.
Dia tahu —
Devano dan yang lain bergerak tanpa dia.
Monolog Altezza:
"Kalau gue biarin,
mereka bakal saling bunuh... termasuk dia."
Devano memimpin serangan ke markas persembunyian CRONOS. Tanpa tahu...
bahwa di sana juga akan ada Black Veros.
Dan takdir mulai menulis babak tergelapnya di antara darah, peluru, dan pengkhianatan.
Suara deru motor menggema di lorong gelap distrik selatan.
Devano memimpin di depan, diikuti Rafka, Alan, Arza, Davi, dan Afka.
Mereka penuh amarah. Tak ada lagi kata mundur.
Malam ini, Helios akan mengamuk.
Vyora baru saja mendapat kabar pergerakan mencurigakan di distrik selatan. "Helios gerak," katanya cepat.
Alletha berdiri, mengambil helm hitamnya. "Siapkan semua. Kita hadang."
Zava, Fidellia, dan Vyora mengangguk sigap.
Tanpa sengaja, Helios dan Black Veros bertemu di tengah jalan sempit, tepat di depan gudang tempat CRONOS bersembunyi.
Motor-motor berhenti serempak.
Mesin menggeram, seperti singa siap menerkam.
Devano turun dari motornya, menatap Alletha. "Get out of the way," katanya dingin.
Alletha membalas tatapannya tanpa gentar. "Over my dead body," balasnya tajam.
Rafka mencengkeram gagang besi di tangannya. Alan menyiapkan rantai besi.
Zava sudah menarik pisau lipat dari saku jaketnya.
Alletha berbisik ke Vyora, suara rendah:
"Restez calme, Vyora. Nous devons les arrêter."
(Tenang saja, Vyora. Kita harus menghentikan mereka.) Vyora mengangguk pelan, matanya tetap fokus.
Satu langkah kecil —
dan pertarungan brutal dimulai.