man 3 bantul MAN 3 BANTUL

Novel "ALTEZZA" (part 5)

BAB 9 – Le Pacte du Silence

"Les mensonges détruisent. Mais le silence... il tue lentement."

(Kebohongan menghancurkan. Tapi diam... membunuh perlahan.)

 

Hening.

Itulah satu-satunya suara yang bergema di koridor beton tua yang dipenuhi aroma besi dan oli bekas. Seperti lorong dalam mimpi buruk, tempat di mana kenangan bukan lagi hal yang kau pegang, tapi belati yang menusuk punggungmu.

Langkah Altezza bergema dalam kegelapan. Sepatu boot-nya menghantam lantai basah, menciptakan suara yang ritmis, seolah-olah jantung dari HELIOS sendiri sedang berdetak… pelan dan penuh ancaman.

Di tangannya tergenggam sebuah surat. Tertulis tangan dengan tinta merah darah—surat dari Afka. Isinya sederhana:

“Gue gak bisa kembali. Tapi bukan berarti gue sepenuhnya pergi. Jangan cari gue, Tez. Karena yang lo temuin... mungkin bukan gue lagi.”

–A

 

Altezza menghela napas panjang. Bukan karena dia kaget. Tapi karena dia tahu. Afka… satu dari tujuh sayap HELIOS. Sekarang? Sayap itu patah.

"Tu ne reviendras plus, hein?"

(Kau benar-benar takkan kembali, ya?)

 

Sementara itu, di sisi lain kota, Alletha menatap dinding penuh foto dan peta dengan tatapan kosong. Tangan mungilnya memegang gagang pisau taktis, tapi jemarinya gemetar.

“Gue udah nyangka bakal gini,” katanya pada Vyora, yang duduk di lantai. “Fidellia udah ngaku?”

“Dia nggak harus ngaku. Gue tahu dari caranya nggak berani mandang mata gue.”

 

Zava masuk dengan cepat. Nafasnya memburu. “Kita dapet pesan suara… dari mereka.” “VULTURE?” tanya Vyora.

Zava mengangguk, dan memutar pesan itu. Suara Leonard memenuhi ruangan:

 

“Malam ini… akan jadi sejarah. Tapi bukan karena darah yang tumpah, melainkan karena siapa yang menahan diri untuk tidak membalas. Kami akan ambil satu dari kalian. Kalau kalian melawan... kami akan ambil semuanya.”

Alletha menggenggam pisau lebih erat. “Mereka main psikologis sekarang.”

“Lo mau lawan?” tanya Zava.

 

“Non,” jawab Alletha perlahan. “Gue mau perang.”

Markas HELIOS berubah seperti zona karantina. Semua anggota memakai baju tempur, komunikasi diacak, ruang sidang diaktifkan kembali setelah dua tahun tidak digunakan.

Di ruang rapat utama, Devan berdiri memimpin rapat karena Altezza masih belum muncul. Wajahnya dingin, penuh tekanan.

“Kita kehilangan kontak sama Rafka, Arza, dan Davi sejak 34 jam lalu,” ujarnya. “Lokasi terakhir yang bisa kita tracking... udah hancur total. Mereka nyisain emblem HELIOS di sana. Berdarah.”

Alan mengepal tangan. “Berarti VULTURE udah mulai jalanin misi eksekusi mereka?” “Bukan sekadar eksekusi. Ini pesan. Mereka ngasih tahu kita... siapa pun bisa jadi target.” Askara bersandar di kursi, kepalanya menunduk.

“Mereka terlalu diam untuk ukuran organisasi pembunuh. Gue rasa... mereka lagi nunggu kita panik.”

 

“Panique silencieuse,” bisik Devan.

“Kepanikan diam. Itu senjata paling berbahaya.”

 

Di tempat tersembunyi, VULTURE tengah melakukan negosiasi terakhir mereka.

 

Leonard berdiri di hadapan seseorang yang mengenakan penutup wajah. Di balik topeng itu, tak ada ekspresi. Hanya suara berat:

“Kalau kita gagal, apa kau siap jadi pengorbanan terakhir?” Leonard mengangguk.

Le chaos... mérite un prix.” (Kekacauan pantas dibayar mahal.)

Dari kegelapan, langkah kaki terdengar mendekat. Afka muncul, mengenakan jaket gelap VULTURE. Tapi matanya... kosong.

“Apa perintah gue?” tanyanya.

 

Leonard mendekat dan menaruh tangan di bahunya.

 

“Bunuh salah satu dari mereka malam ini. Tapi bukan yang utama. Kirim pesan. Dan pastikan... Altezza tahu.”

Afka menunduk. “Je comprends.” (Aku mengerti.)

Sementara itu, Alletha menulis sebuah surat. Bukan untuk BLACK VEROS. Bukan juga untuk dirinya.

Untuk Altezza.

 

“Tez,

Gue nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi kalau lo baca ini, artinya salah satu dari kita bakal benar-benar terluka. Mungkin bukan secara fisik. Tapi lebih dari itu.

Lo tahu kenapa dulu gue nyimpen liontin kecil itu? Karena gue nggak bisa buang sesuatu yang punya kenangan lo.

Gue benci lo... tapi gue juga nyari lo di setiap ruang sunyi.

 

Dan kalau dunia ini harus terbakar... gue harap lo bukan jadi api pertamanya. –Leth.”

[ Menuju Titik Perang]

 

Malam turun dengan cepat di ALASKA SCHOOL. Tapi suasana tak lagi seperti sekolah biasa. Karena malam itu… darah akan berbicara lebih nyaring dari suara amarah.

Devan menatap senjata di tangannya. “Gue harap kita gak sampai titik ini.” Altezza berdiri di belakangnya. Diam. Tenang. Tapi matanya—terbakar. “Dev…”

 

“Ya?”

 

“Kalau lo harus milih... antara nyelamatin semua orang, atau nyelamatin satu orang yang paling berarti... lo bakal pilih siapa?”

Devan terdiam sejenak.

“Gue bakal pilih yang paling bikin hati gue nyesel kalau gue tinggalin.” Altezza menatap langit.

“Gue juga.”

 

BAB 10 — Cendres et Couronnes

"L’amour qui brûle… laisse des cendres royales."

(Cinta yang membakar… meninggalkan abu yang megah.)

 

Langit malam di atas ALASKA SCHOOL tak lagi memancarkan bintang. Hanya awan gelap yang menggantung seperti tirai kematian, siap menutup babak baru yang akan mengukir luka pada semua yang bernapas malam itu.

Altezza berdiri sendirian di rooftop gedung tua yang pernah jadi tempat tawa mereka dulu—waktu geng HELIOS belum penuh darah, waktu cinta masih terasa mungkin. Angin malam meniup rambut hitamnya, dingin menusuk tulang.

Di tangannya, terselip liontin perak. Liontin kecil berbentuk mahkota, benda yang pernah diberi oleh Alletha saat ulang tahun Altezza ke-18, diselipkan diam-diam ke dalam saku jaketnya.

“Tu te souviens de ça, Alletha?” gumamnya. (Kau masih ingat ini, Alletha?)

Langkah berat mendekat dari belakang. Askara. Tanpa suara. Tapi Altezza tahu itu dia.

 

“Lo harus turun,” kata Askara pelan. “Udah waktunya. VULTURE nyerang dari sisi timur. Devan dan Alan udah jaga gerbang barat. Gue sama Arza ke arah stadion.”

“Dan Rafka?”

 

Askara terdiam sejenak. “Dia… belum balik.”

 

Altezza mengepalkan tangan. Mata yang biasanya dingin itu kini menyala.

“Kalau VULTURE sentuh satu dari mereka... gue yang bakar markas mereka sendiri.”

 

Di sisi lain kota, tempat yang penuh puing dan sisa ledakan semalam, Alletha berdiri di depan Vyora, Zava, Senja, dan Fidellia. Semuanya mengenakan seragam BLACK VEROS lengkap—hitam total, tanpa logo. Identitas bukan lagi kemewahan; itu jadi kelemahan.

“Lo yakin mau nyerang duluan?” tanya Vyora.

 

Alletha menatap langit yang sama kelamnya dengan hatinya.

“Bukan nyerang. Ini peringatan. Kalau mereka ambil satu dari kita... kita ambil dua dari mereka.”

 

“Et si Altezza est là-bas?” bisik Fidellia. (Dan kalau Altezza ada di sana?)

Alletha menarik napas panjang, mencoba menahan gemetar di jari-jarinya. “Alors, je viserai son cœur.”

(Kalau begitu, aku akan bidik jantungnya.)

 

Pukul 01.45 dini hari.

Ledakan pertama mengguncang sisi selatan kampus. Dinding laboratorium kimia runtuh bersamaan dengan alarm darurat yang meraung tak karuan. HELIOS langsung bergerak. Devan memimpin barisan barat, Alan dan Arza menutup sayap kiri.

Sementara itu, Altezza… tak bergerak dari atap.

 

Dia menatap langit. Membayangkan kembali malam itu. Malam saat Alletha tersenyum padanya di tengah pesta topeng yang dipenuhi cahaya.

Dia masih bisa dengar suara tawa Alletha.

Dan sekarang… dia hanya dengar dentuman senjata.

 

“Tu m’as appris à aimer... mais tu m’as aussi appris à tuer.” (Kau ajari aku mencintai… tapi juga membunuh.)

Di lapangan basket yang kini jadi puing, Askara dan Radian Afkar (Afka) akhirnya bertemu lagi. Tapi kali ini… bukan sebagai saudara. Tapi sebagai musuh.

“Lo beneran milih mereka?” tanya Askara, suara bergetar.

 

Afka tak menjawab. Hanya menatap lurus dengan mata kosong. “Jawab gue, Afka! Lo pilih VULTURE atas kita? Atas Altezza?!” Afka perlahan membuka mulut.

“Karena gue muak jadi bayangan dia. Gue muak jadi figuran di hidup yang ditulis buat dia. Di HELIOS, kita semua cuma pelengkap Altezza. Tapi di VULTURE… gue yang jadi tokoh utamanya.”

Askara menggeleng. “Lo pikir Altezza gak sayang lo?”

 

“Kalau sayang… dia harusnya nyari gue. Bukan nyelametin cewek itu.”

 

Dan dengan itu, Afka mengangkat pistolnya. Membidik langsung ke dada Askara. Tapi sebelum pelatuk ditarik, suara ledakan lain menghantam gedung dekat mereka. Debu dan serpihan beton beterbangan, membuat pandangan kabur.

Askara berteriak, “Gue gak bakal lawan lo, Ka. Tapi kalau lo tembak gue malam ini... itu artinya kita udah gak punya darah yang sama.”

 

Afka terdiam. Tangan gemetar. Tapi tak menembak.

 

Di pusat medan, Alletha dan Altezza akhirnya bertemu. Seperti kutukan yang tak bisa ditunda lagi, dua raja dari dunia yang berbeda, saling menatap di tengah kobaran api.

“Kenapa lo di sini?” tanya Alletha dingin, dengan pistol masih di tangan. “Gue harus tahu... lo masih punya hati atau enggak,” jawab Altezza. “Gue datang buat ngebakar semua yang lo bangun.”

Altezza melangkah maju. “Termasuk kenangan lo sama gue?”

 

Alletha tertawa getir. “Kenangan itu udah mati waktu lo milih diem pas VULTURE culik adik gue.” Altezza terdiam.

“Tu ne m’as jamais protégée.” (Kau tak pernah lindungi aku.)

“Aku coba…” bisiknya. “Tapi waktu itu, aku terlalu takut kehilangan lo. Jadi gue diem.”

Alletha menangis. Tapi air mata itu bukan kelemahan. Itu adalah api yang menyala di balik matanya. “Alors maintenant, je vais te perdre… mais à ma façon.”

(Kalau begitu, sekarang aku akan kehilanganmu… tapi dengan caraku sendiri.)

 

Dia menembak.

 

Tapi bukan ke arah Altezza.

Ke arah belakangnya—ke arah salah satu anggota VULTURE yang hendak menusuk dari belakang. Altezza berbalik, terkejut.

“Lo masih lindungin gue?” tanya Altezza.

 

Alletha menarik napas, darah menetes dari lengannya akibat serpihan peluru. “Gue benci lo, Tez. Tapi gue gak bisa liat lo mati bukan di tangan gue.”

[ Cendres et Couronnes]

 

Pagi datang. Tapi bukan dengan damai.

 

Markas HELIOS sebagian terbakar. Tiga anggota terluka parah. Dua anggota VULTURE ditangkap. BLACK VEROS… kembali tanpa Zava.

Zava menghilang.

 

Di atas puing dan debu, Altezza berdiri. Di tangannya, liontin mahkota yang hancur. Di benaknya, satu suara bergema:

 

“Kalau cinta bisa jadi mahkota... maka kehilangan akan jadi abunya.”

 

BAB 11 — L'Éden Déchiré

"Même le paradis peut saigner…"

(Bahkan surga pun bisa berdarah…)

 

Mereka bilang cinta bisa menyelamatkan siapa saja. Tapi tidak pernah disebutkan bahwa cinta juga bisa membunuh perlahan-lahan, seperti racun yang mengalir manis di awal dan membakar di akhir.

Setelah malam kelam di mana darah bercampur dengan abu, dua jiwa yang paling hancur di antara semuanya—Altezza Daffa Nalendra dan Alletha Aurellia Arabelle—akhirnya menemukan keheningan yang tak lagi berbau mesiu.

Langit pagi ALASKA SCHOOL masih muram. Dan di salah satu lorong tersembunyi di balik gedung observatorium, di sana mereka berdiri. Tak ada senjata. Tak ada geng. Tak ada kemarahan.

Hanya dua manusia… yang akhirnya tak bisa lagi menyangkal perasaan yang dikubur terlalu lama. “Tu saignes,” bisik Altezza, menunjuk bekas luka di bahu Alletha.

(Kau berdarah.)

 

Alletha menatapnya dengan mata yang lelah tapi jujur. “Gak cuma di sini,” katanya lirih, menyentuh dadanya. “Tapi gue rasa lo juga sama.”

Altezza tertawa kecil, suara yang jarang keluar sejak ayahnya mati tiga tahun lalu.

 

“Lucu ya,” gumamnya. “Kita ketemu di medan perang. Tapi jatuh cinta di reruntuhannya.”

 

Hari itu, tak ada deklarasi resmi. Tak ada “lo jadi pacar gue” atau “aku milik kamu”. Hanya satu genggaman tangan pelan—bergetar tapi tulus—yang mengikat lebih kuat daripada janji formal.

Mereka duduk di atas tangga gedung kosong, kaki menjuntai, kepala Alletha bersandar di bahu Altezza. Sepi, tapi nyaman. Patah, tapi lengkap.

“Lo gak takut?” tanya Alletha. “Semua orang gak bakal terima ini. Bahkan Askara.”

 

Altezza menghela napas. “Semua orang udah terlalu lama ngatur hidup gue. Gimana jadi ketua geng. Gimana jadi CEO. Gimana jadi kakak. Gimana jadi musuh lo. Tapi sekarang… gue cuma pengen jadi Altezza yang lo butuhin.”

Alletha menutup matanya. “Dan gue cuma mau jadi satu-satunya tempat lo pulang.”

 

Di belakang semua itu, bayangan konflik masih menari. Devan mulai mencurigai perubahan Altezza. Rafka, yang selama ini setia sebagai sekretaris, mulai diam lebih sering. Alan dan Arzan? Mereka mulai bertanya-tanya kenapa ketua sering menghilang saat rapat.

Sementara di pihak BLACK VEROS, Vyora marah besar.

 

“Lo pikir cinta bisa netralin perang yang udah kita bangun selama dua tahun?” bentaknya pada Alletha. “Lo pikir Altezza bisa bawa lo keluar dari semuanya?”

Alletha tidak menjawab.

 

“Tu rêves, Alletha. Et les rêves, ça tue.”

(Kau bermimpi, Alletha. Dan mimpi itu membunuh.)

 

Malamnya, Altezza menyelinap masuk ke ruang latihan BLACK VEROS, tempat Alletha diam-diam menunggu. Mereka duduk berdampingan di lantai kayu dingin, hanya ditemani suara detak jam tua.

“Lo pernah mikir,” kata Altezza tiba-tiba, “kita ini kayak dua kutub magnet. Semakin deket… makin sakit.”

Alletha tersenyum pahit. “Tapi kita juga kayak luka. Makin disembunyiin, makin infeksi.” Mereka tertawa.

Lalu diam.

 

Lalu saling menatap.

 

Dan untuk pertama kalinya sejak tragedi itu—untuk pertama kalinya sejak dunia mereka runtuh—Altezza mencium Alletha. Pelan, dalam, dan penuh rasa bersalah yang tak bisa ditebus.

“Tu es mon chaos… et ma paix.”

(Kau adalah kekacauanku… dan kedamaianku.) Pagi setelahnya, segalanya mulai berubah.

Altezza mulai absen dari rapat CEO. Geng HELIOS kehilangan fokus. BLACK VEROS kehilangan arah. Tapi tak ada yang tahu: dua pemimpinnya sedang membangun dunia kecil di balik dunia yang sedang terbakar.

Sebuah eden… yang retak sejak awal.

 

Dan meski bahagia mulai tumbuh, bayangan darah belum benar-benar hilang.

 

Karena di lorong belakang sekolah, di bawah CCTV yang rusak, seseorang menyaksikan mereka diam-diam.

Seseorang dari VULTURE.

 

Seseorang yang akan memastikan… cinta mereka tak pernah bertahan.

 

"On peut aimer au bord du gouffre, mais jamais sans tomber."

(Kita bisa mencintai di tepi jurang, tapi tak pernah tanpa jatuh.)

 

Hari-hari yang menyusul terasa seperti mimpi yang berjalan terlalu pelan dan terlalu berisiko. Altezza dan Alletha bukan pasangan remaja biasa—mereka adalah dua pemimpin dari dunia yang saling ingin

 

menghancurkan. Tapi di antara konflik yang mengelilingi mereka, mereka menciptakan ruang sempit yang penuh kelembutan.

Ruang itu tidak megah. Bukan hotel, bukan café. Tapi ruang bawah tanah yang pernah jadi markas lama HELIOS sebelum dibakar VULTURE. Dindingnya hangus, bau debu masih lekat. Tapi di sinilah, cinta mereka tumbuh diam-diam.

“Lo tau gak kenapa gue suka bau luka bakar?” tanya Altezza saat mereka duduk di bawah satu-satunya lampu neon yang masih hidup.

Alletha mengangkat alis, sedikit heran.

 

“Karena baunya mirip kayak waktu pertama kali kita ketemu. Waktu lo lempar rantai ke arah motor gue di depan aula sekolah,” lanjutnya sambil tertawa kecil.

“Lo romantis atau psycho sih?” Alletha memukul pelan lengannya. Tapi wajahnya menyembunyikan senyum malu.

“Deux âmes endommagées. Une guerre. Un baiser.” (Dua jiwa yang rusak. Satu perang. Satu ciuman.)

Tapi semakin sering mereka bersama, semakin cepat dunia mulai bergetar. Devan mendiamkan Altezza selama dua hari penuh. Askara mencurigai gerakan aneh di antara HELIOS. Bahkan Rafka—yang paling dingin di antara mereka—akhirnya angkat bicara.

“Lo gak hadir tiga rapat berturut-turut. Lo bahkan ninggalin rapat investor jam 9 buat ‘minum kopi’. Gue gak buta, Tezza.”

Altezza hanya menatapnya sejenak.

 

“Gue masih pegang semua ini,” katanya dingin. “Pertanyaannya… sampai kapan?” Rafka membalas.

Sementara itu, Vyora akhirnya menyeret Alletha ke ruang senjata bawah tanah BLACK VEROS. Dia melemparkan jaket Alletha ke lantai.

“Kalau lo gak bisa milih antara jadi ketua atau jadi pacarnya musuh, gue yang bakal milih buat lo.” Alletha tidak menjawab. Dia hanya berdiri diam.

“Lo lemah karena cinta. Dan kelemahan itu nular.”

“Kita bukan pasangan Romeo-Juliet, Alletha. Ini bukan drama. Ini perang.”

 

Meski begitu, keduanya terus bertemu. Terkadang lewat pesan yang dikirim lewat jam tangan digital. Terkadang lewat skema meloloskan diri saat kelas olahraga. Terkadang mereka hanya saling melihat dari jauh, dari jendela ke jendela gedung.

Dan pada suatu malam, Altezza menarik Alletha ke atas atap ALASKA SCHOOL. Di sana, hanya mereka berdua, langit penuh bintang yang tak pernah memperhatikan nasib manusia.

 

“Kita gak akan pernah bisa punya dunia ini sepenuhnya, Le.”

“Cuma malam yang bisa kita curi. Cuma waktu yang bisa kita genggam, sebelum semuanya dihancurkan lagi.”

Alletha menggenggam tangannya.

 

“Gue gak butuh selamanya, Zez. Gue cuma butuh sekarang.” Dan mereka berciuman lagi, lebih dalam, lebih menyakitkan. Karena cinta ini… seperti menyayat luka yang belum sembuh. Tapi malam itu juga, sebuah pesan masuk ke ponsel Devan.

"Ketua lo udah milih musuh. Buktinya? Tunggu malam nanti di lorong utara. CCTV udah kami matiin. Lo akan liat semuanya."

Devan mematung.

 

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia mulai meragukan sahabat yang selama ini dia lindungi dengan seluruh jiwanya.

Sementara itu di ruang rahasia mereka, Alletha duduk sambil memeluk lutut. Altezza di sebelahnya, matanya menatap dinding kosong.

“Kalau semua ini ketahuan,” bisik Alletha, “apa yang akan lo lakukan?” Altezza menjawab tanpa menoleh.

“Gue bakal tetap milih lo.”

 

“Walaupun lo harus kehilangan HELIOS?”

 

“Gue udah kehilangan semuanya waktu ayah gue mati. HELIOS, perusahaan, keluarga—itu semua cuma bayangan dari apa yang seharusnya gue punya.”

Dia menoleh ke Alletha. Matanya merah. “Lo satu-satunya yang nyata.”

"Il n'y a pas de ciel pour les traîtres."

(Tak ada langit untuk para pengkhianat.)

 

Langit malam itu menggantung seperti lembaran kain sutra yang sobek, mengintipkan luka-luka rahasia yang selama ini disimpan langit di balik bintang-bintang. Hawa dingin menyusup ke tulang, namun itu bukan karena cuaca. Itu karena malam ini, ada kebenaran yang akan terbuka—dan tak akan pernah bisa ditutup kembali.

Lorong utara ALASKA SCHOOL sepi. Hanya cahaya biru dari neon rusak yang berkedip pelan. Di balik tiang beton, Devan berdiri diam. Tangan kirinya menggenggam ponsel. Video itu masih menyala.

 

Di layar: Altezza dan Alletha. Berpelukan. Di bawah cahaya yang nyaris padam. Di tempat rahasia yang hanya diketahui mereka berdua.

“Putain de merde...” bisik Devan. (Sialan...)

 

Matanya memerah. Bukan karena benci. Tapi karena kecewa.

 

“Gue pernah sumpah bakal jagain lo sampai mati, Zez,” gumam Devan. “Tapi kalau lo sendiri yang jalan ke jurang... gue harus milih siapa? Lo... atau seluruh nama yang udah kita bangun sama-sama?”

Ia mencengkeram ponsel kuat-kuat. Napasnya berat. Hati yang selama ini penuh kepercayaan, kini terasa berlubang.

Sementara itu, di sisi lain sekolah, Vyora berdiri di depan ruang bawah tanah BLACK VEROS. “Kita udah siapin segalanya,” ujarnya dingin. “Kalau malam ini gagal, artinya kita terlalu lembek.” Zava dan Fidellia menatapnya. Senja mengangguk pelan, wajahnya serius.

“Alletha harus milih. Cinta atau perang.”

 

Di markas HELIOS, Askara duduk di atas meja panjang yang biasa dipakai buat briefing. Rafka berdiri di dekat papan strategi. Alan dan Afka sudah datang, wajah mereka sama-sama gelisah.

“Gue dapet info dari Devan,” ucap Rafka, dingin. “Altezza pacaran sama Alletha. Ketua BLACK VEROS.”

Ruangan hening. Bahkan jam di dinding seolah berhenti berdetak. “Ça n’a aucun sens... C’est une folie.”

(Itu gak masuk akal... Ini kegilaan.)

 

“Gue gak percaya sebelum denger dari mulut dia sendiri,” potong Askara. Tapi nada suaranya melemah. Karena di sudut hatinya, dia tahu… itu mungkin benar.

Malam semakin dalam. Altezza berdiri di atap gedung gym. Ia menatap langit seperti menantang dewa-dewa yang selama ini diam.

“Gue tau lo bakal tau, Van...” gumamnya. “Gue siap dihakimi, asal jangan dia yang disakiti.” Di belakangnya, langkah kaki terdengar. Suara sepatu menyentuh logam.

“Lo bohong ke kita semua, Zez.”

 

Suara itu dingin. Tegas. Terlalu familiar.

 

Altezza berbalik. Devan berdiri di sana, wajahnya pucat. Tapi matanya menyala penuh luka. “Lo pikir cinta bisa nyembuhin semua ini?!” Devan mendekat, hampir mendorong Altezza. “Gue gak nyari sembuh, Van,” jawab Altezza pelan. “Gue cuma pengen ngerasain hidup.”

 

Devan mencengkeram kerahnya.

“Lo hidup di atas darah kita semua, Zez. Di atas pengorbanan anak-anak yang percaya sama lo!” “Et alors? J’suis censé vivre sans âme, juste pour eux?”

(Dan lalu? Gue harus hidup tanpa jiwa, cuma demi mereka?)

 

“Gue bukan dewa. Gue manusia, Van. Dan dia satu-satunya alasan gue gak gila.”

 

Di sisi lain sekolah, Alletha sedang diseret Vyora ke tengah aula tua yang kini dipakai BLACK VEROS buat evaluasi internal.

“Lo pacaran sama musuh. Gue punya buktinya,” ujar Vyora sambil menampilkan rekaman yang dikirim seseorang.

Zava menatap Alletha penuh luka.

 

“Kenapa lo gak cerita?” tanyanya lirih. “Lo pernah bilang kita keluarga...” Alletha tidak menjawab. Tapi matanya berkaca.

“Maaf.”

 

Itu satu-satunya kata yang keluar. Dan di saat itu, keputusan dibuat. Pukul 01.12 dini hari.

Pintu markas HELIOS terbuka keras. Altezza masuk dengan luka di pelipis. Darah menetes dari sudut bibirnya. Tapi langkahnya tetap tegap.

Semua mata menatapnya.

 

Rafka berdiri duluan. Di belakangnya ada Alan, Afka, dan Askara. Dan akhirnya, Devan. “Lo dateng juga,” kata Devan.

“Gue gak akan lari,” jawab Altezza.

 

“Lo ketua kita, Tez. Tapi kalau lo jatuh... kita gak akan ikut jatuh. Gue minta lo mundur sementara. Sampai kita selesain urusan ini.”

Altezza menatap sahabat-sahabatnya. Diam.

Lalu mengangguk.

 

“D'accord.”

(Oke.)

 

Sementara itu, di atap tertinggi ALASKA SCHOOL, Alletha duduk sendiri. Rantai BLACK VEROS di tangannya terjatuh ke lantai, menciptakan suara denting yang menyayat malam.

“Ce n’est pas une histoire d’amour... c’est une malédiction.” (Ini bukan kisah cinta... ini kutukan.)

Air mata jatuh tanpa suara. Dan untuk pertama kalinya, gadis itu merasa benar-benar sendirian.

 

BAB 13 – Les Larmes de Fer

"Même dans la guerre, il existe des moments de paix."

(Bahkan dalam perang, ada momen-momen damai.)

 

Dua minggu setelah badai pengkhianatan, dunia mulai mereda. Bukan karena luka telah sembuh, tapi karena semua orang terlalu lelah untuk marah. HELIOS kembali beroperasi seperti biasa, walau dingin terasa di antara barisan loyalitas yang dulu hangat.

Di sisi lain, BLACK VEROS tetap berdiri, tapi dengan tanya-tanya yang belum terjawab. Vyora belum sepenuhnya memaafkan. Tapi ia juga belum sepenuhnya menghakimi.

Di tengah semua itu, Altezza dan Alletha memilih satu malam. Hanya satu malam, untuk berhenti menjadi musuh, pemimpin, atau pengkhianat. Mereka memilih untuk menjadi manusia. Yang jatuh cinta. Yang rapuh. Yang hanya ingin mencinta dan dicintai.

Malam itu, mereka bertemu di tempat rahasia—sebuah rumah kayu tua di perbukitan timur, jauh dari kota, jauh dari sekolah, jauh dari semua yang bisa menghancurkan.

Altezza tiba lebih dulu. Mengenakan hoodie hitam, wajahnya teduh meski matanya masih menyimpan sisa perang. Di tangannya, sebuket mawar putih—bunga yang dulu Alletha bilang tak punya makna, tapi diam-diam selalu ia cari.

“Elle ne viendra peut-être pas,” gumamnya, menatap langit. (Mungkin dia gak akan datang.)

Tapi pintu kayu berderit, dan suara langkah kaki kecil menyusul. “Tu croyais que j’allais te laisser seul?”

(Kau kira aku akan membiarkanmu sendirian?)

 

Suara itu membuat dadanya meluruh.

 

Alletha masuk, mengenakan sweater abu-abu dan celana jeans sobek. Rambutnya tergerai, dan di matanya, tak ada amarah. Hanya rindu.

Mereka tak langsung berbicara. Hanya berdiri dalam diam. Saling menatap. Seolah semua kata telah diucapkan dalam tangisan minggu-minggu lalu.

Lalu Alletha maju, dan memeluknya.

 

Altezza membalas pelukan itu dengan pelan, seperti memeluk kaca—takut pecah, takut hilang.

 

“Je t’aime,” bisiknya. “Je suis désolé... pour tout.”

(Aku mencintaimu. Aku minta maaf... untuk segalanya.) Alletha tersenyum, lalu menatap wajahnya.

“Tu m’as manqué comme l’air.” (Aku merindukanmu seperti udara.)

Malam itu, mereka tidak membicarakan geng. Tidak tentang perang. Tidak tentang pengkhianatan.

 

Mereka menyalakan api unggun kecil di luar rumah. Duduk di atas karpet usang, bersandar satu sama lain.

“Pernah kebayang gak sih... hidup tanpa semua ini?” tanya Alletha pelan. “Tanpa HELIOS, tanpa BLACK VEROS?”

Altezza menatap bintang.

 

“Pernah. Tapi kayaknya... gue cuma bisa hidup di dunia itu kalau ada lo.” Alletha mengangguk. “Sama.”

Lalu mereka tertawa pelan. Tawa kecil, tapi jujur. Untuk pertama kalinya, mereka bahagia. Bukan karena keadaan. Tapi karena satu sama lain.

Pagi menjelang, dan dunia kembali menunggu. Tapi malam itu... adalah milik mereka. Di atas dunia yang runtuh, dua hati saling menjaga.

“Kalau nanti semua ini hancur,” bisik Alletha. “Gue rela hancur asal bareng lo.”

 

Altezza mengecup keningnya. “Pas gue lahir, gue pikir hidup gue cuma buat nyelametin nama keluarga.”

“Tapi pas ketemu lo, gue baru sadar... hidup gue baru mulai.”

 

Dan saat mereka tertidur dalam pelukan satu sama lain, langit perlahan cerah. Cahaya jingga menyusup dari sela-sela jendela tua.

Mereka tidak tahu, dunia masih menunggu untuk menghukum. Tapi untuk malam itu—dan hanya malam itu—mereka menang.

Karena cinta mereka bukan kelemahan. Tapi satu-satunya hal yang membuat mereka tetap hidup.

 

Matahari belum sepenuhnya terbit ketika Alletha terbangun dari tidur singkatnya. Dingin pagi menyusup perlahan ke celah-celah rumah kayu tua itu. Ia mengulurkan tangannya ke sisi kanannya—kosong.

“Tezza?” bisiknya. Tak ada jawaban.

 

Ia bangkit, menyisir ruangan. Tak ada suara langkah, tak ada suara motor. Hanya keheningan, dan satu suara samar dari luar. Suara angin.

Dengan jantung yang berdebar tak karuan, ia membuka pintu.

 

Di sana—di tengah embun dan rumput basah—hanya ada satu hal. Setangkai bunga mawar hitam.

Masih segar. Masih basah oleh embun. Tapi tak ada Altezza. Tak ada jejak. Tak ada suara mesin yang tertinggal.

Alletha mematung.

 

Dunia seperti berhenti berputar.

 

Tangannya gemetar saat mengambil bunga itu. Di batangnya, terikat selembar kertas kecil. Tulisan tangan Altezza—bergetar, seperti ia menuliskannya dengan luka.

"Si tu m’aimes, n’attends pas. Si je vis, je reviendrai.

Mais si je meurs, souviens-toi :

Je t’ai aimée jusqu’à la fin."

 

(Jika kau mencintaiku, jangan menunggu. Jika aku hidup, aku akan kembali.

Tapi jika aku mati, ingatlah:

Aku mencintaimu sampai akhir.)

 

Air mata Alletha jatuh sebelum sempat ia menyadarinya. Tangannya mengepal. Tubuhnya gemetar. Tapi tak ada suara yang keluar.

Hanya bunga mawar hitam yang menggenggam seluruh kehampaan di dadanya.

 

 

 

Dan malam yang indah itu menjadi akhir dari segalanya.

 

Bukan perang yang memisahkan mereka. Tapi pilihan. Sebuah pengorbanan yang tak pernah dijelaskan. Dan Alletha berdiri sendirian, dalam pagi yang dingin, dengan satu mawar hitam di tangannya—dan hati yang patah tak bersuara.

 

 

 

"C’est dans le silence que les plus grandes douleurs crient."

(Dalam diamlah, luka terdalam berteriak.)

 

BAB 14 – Souvenir d’un Cœur Brisé

"Certains amours ne meurent jamais. Ils deviennent des cicatrices."

(Beberapa cinta tak pernah mati. Mereka menjadi luka yang hidup.)

 

Langit sore memerah, seolah ikut terbakar oleh sesuatu yang tak kasat mata. Di atas bukit kecil yang sunyi, di mana angin berhembus pelan dan dedaunan berguguran tanpa suara, Alletha duduk sendirian. Rambutnya dibiarkan terbuka, diterpa angin. Di tangannya—bukan telepon genggam, bukan senjata, bukan mahkota geng—melainkan setangkai bunga mawar hitam yang kini mulai layu.

Sudah setahun sejak malam itu. Setahun sejak Altezza menghilang, meninggalkan hanya satu simbol bisu: cinta yang tak sempat kembali.

Dan sejak itu, Alletha tak pernah lagi menjadi “Ratu BLACK VEROS.” Ia hanya menjadi seseorang yang menanti... dalam diam.

"Je te vois dans mes rêves, Tezza..." bisiknya pelan, nyaris tanpa suara. (Aku melihatmu dalam mimpiku, Tezza...)

Lalu ia membuka lembaran kecil dari buku harian tua yang ia simpan rapat—halaman penuh coretan nama Altezza, tanggal, dan kutipan kecil dalam bahasa Prancis yang pernah mereka saling ajarkan.

“Le monde était cruel, mais tu étais mon refuge.”

(Dunia ini kejam, tapi kau adalah tempat pulangku.)

 

Alletha mengingat semuanya dengan begitu jernih, seperti rekaman yang diputar ulang dalam benaknya setiap malam.

Cara Altezza menatapnya, dengan mata tajam tapi hangat. Cara tangannya menggenggam jemari Alletha ketika dunia terasa terlalu berat. Bahkan cara ia menyebut namanya dalam diam... Alletha, seolah itu adalah satu-satunya nama yang layak diucap dengan penuh cinta.

Hari-hari tanpanya terasa seperti labirin yang tak punya jalan keluar.

Pernah, suatu malam, Alletha berdiri di tengah jalan yang pernah mereka lewati bersama—ia berharap suara mesin motor Altezza akan terdengar lagi, bahkan jika hanya sekali.

Tapi yang datang hanya bayang-bayang. Dan rasa kehilangan.

"Lo pernah bilang mau bawa gue jauh dari semua ini," katanya pada udara yang tak menjawab. "Tapi ternyata lo malah pergi sendiri..."

Ia masih mengingat hari di mana Altezza mengecup keningnya sebelum tidur. Masih mengingat suara tawa mereka di rumah kayu tua itu.

“Kalau lo pergi duluan, gue bakal nyusul…” kata Alletha waktu itu, sambil tertawa.

 

Altezza hanya tersenyum—senyum yang sekarang jadi kutukan paling menyakitkan karena tak bisa diulang lagi.

“Pas gue lahir, gue pikir hidup gue cuma buat nyelametin nama keluarga. Tapi pas ketemu lo, hidup gue baru mulai.”

Dan ternyata… hidup itu hanya sebentar.

 

Malam turun perlahan. Langit berubah ungu tua, seolah ikut berduka.

Alletha meletakkan bunga mawar hitam di atas nisan sederhana yang terbuat dari batu kecil, tanpa nama.

Hanya sebuah inisial yang ia ukir dengan pisau: A.D.N.

 

Ia menutup matanya. Angin malam menyapu wajahnya lembut. Lalu ia bicara untuk terakhir kali.

“Merci pour tout, Altezza…”

(Terima kasih untuk segalanya, Altezza…)

 

“Je t’aimerai jusqu’à ce que mon cœur cesse de battre.”

(Aku akan mencintaimu sampai jantungku berhenti berdetak.)

 

Saat Alletha berjalan menjauh dari bukit itu, air matanya jatuh.

Bukan karena lemah. Tapi karena ia mencintai dengan seluruh jiwanya, dan harus belajar hidup dengan kehampaan.

Dan di tempat itu, hanya bunga mawar hitam yang tersisa. Tumbuh dari luka, mekar dari cinta yang tak sempat kembali.

 

 
   
 

 

 

"Il est parti, mais mon cœur bat encore pour lui."

(Dia telah pergi, tapi hatiku masih berdetak untuknya.)

 

 
   
 

 

 

Akhir Bab 14 – Akhir Novel “Altezza”

 

Beberapa kisah cinta tidak ditakdirkan untuk bertahan. Tapi mereka tetap hidup, dalam kenangan, dalam luka, dalam air mata. Seperti Altezza. Seperti Alletha. Mereka adalah perang, mereka adalah puisi.

Dan cinta mereka, meski tak bersatu, abadi dalam patah.

 

Amanat Novel Altezza

  1. Cinta sejati tidak selalu berakhir dengan kebersamaan.

Kisah Altezza dan Alletha menunjukkan bahwa cinta yang tulus tak selalu dimenangkan oleh waktu atau takdir. Namun, keindahannya tetap abadi meski berakhir dalam kehilangan.

 

  1. Pemimpin sejati bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga pengorbanan.

Altezza sebagai ketua geng dan CEO memperlihatkan bahwa di balik kekuatan dan pengaruh, ada jiwa yang rela hancur demi melindungi orang-orang yang dicintainya.

 

  1. Loyalitas dan persahabatan adalah fondasi kekuatan.

Persahabatan Altezza dengan Devan, Askara, dan para anggota HELIOS menjadi bukti bahwa kekuatan sejati muncul dari ikatan kepercayaan yang tak tergoyahkan.

 

  1. Hidup tak selamanya adil, tapi pilihan kita membentuk siapa kita.

Baik Alletha maupun Altezza adalah dua tokoh yang hidup di tengah kekacauan, namun keputusan mereka, walau berat, adalah bentuk dari kedewasaan dan tanggung jawab.

 

  1. Kenangan tidak pernah mati.

Meski Altezza telah tiada, ingatannya tetap hidup dalam hati Alletha. Melalui nostalgia, pembaca diajak memahami bahwa seseorang bisa tetap "hidup" dalam bentuk lain—yaitu dalam kenangan dan cinta yang tak terucapkan.